Selasa, 21 Februari 2012

Bisakah Allah dapat dilihat di dunia ?


Disamping adanya kelompok-kelompok yang mengingkari akan dapat dilihatnya Allah pada hari kiamat oleh penghuni surga, ada pula kelompok yang berpendapat sebaliknya. Mereka berpendapat bahwa Allah bisa dilihat di dunia ini oleh para auliya (para wali). Pendapat seperti ini diyakini oleh sebagian kaum muslimin bahwa Syaikh Abdul Qadir Jaelani telah melihat Allah di dunia ini, sebagaimana terdapat dalam buku manaqib Abdul Qadir Jaelani yang sesat dan menyesatkan.
Padahal dalil berupa ayat Al-Qur’an yang telah dibahas pada edisi yang lalu –yang dijadikan dalil oleh mu’tazilah untuk menolak hadits ru’yah—sesungguhnya merupakan dalil yang menunjukkan tidak mungkinnya Allah dilihat di dunia ini. Ayat tersebut yaitu:
ÞóÇáó ÑóÈøö ÃóÑöäöí ÃóäúÙõÑú Åöáóíúßó ÞóÇáó áóäú ÊóÑóÇäöí æóáóßöäö ÇäúÙõÑú Åöáóì ÇáúÌóÈóáö ÝóÅöäö ÇÓúÊóÞóÑøó ãóßóÇäóåõ ÝóÓóæúÝó ÊóÑóÇäöí ÝóáóãøóÇ ÊóÌóáøóì ÑóÈøõåõ áöáúÌóÈóáö ÌóÚóáóåõ ÏóßøðÇ… ]ÇáÃÚÑÇÝ: 143[
Berkata Musa: "Ya Rabb-ku, nampakkanlah (diri-Mu) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu". Allah berfirman: "Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu. Jika ia tetap berada di tempatnya (seperti sediakala) niscaya kamu dapat melihat-Ku". Tatkala Rabb-nya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh.. (al-A’raaf: 143)
Ayat ini menunjukkan bahwa gunung-pun hancur luluh ketika Allah menampakkan diri kepadanya, apalagi manusia yang sangat lemah. Dan kepada Musa Úáíå ÇáÓáÇã –hamba-Nya yang mulia dan Allah berbicara langsung kepadanya-- Allah katakan: “Engkau tidak akan sanggup melihat-Ku”, yakni di dunia ini. Apalagi orang-orang yang selain para nabi.
Berkata Ibnu Abil ‘Izzi al-Hanafi: “Telah sepakat seluruh umat bahwa tidak ada seorangpun yang dapat melihat Allah dengan mata kepalanya di dunia ini dan tidak ada perselisihan di kalangan mereka, kecuali tentang Nabi Kita Õáì Çááå Úáíå æÓáã”. (Syarh Aqidah ath-Thahawiyah: 196)
Apakah Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Allah ketika mi’raj?
Sebagian shahabat seperti Ibnu Abbas ÑÖí Çááå ÚäåãÇ, beliau berpendapat bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã telah melihat Rabb-nya dengan mata kepalanya. Namun riwayat-riwayat dari atsar ini sebagiannya dlaif (lemah), seperti riwayat yang telah dikeluarkan oleh Ibnu Huzaimah dalam Kitab Tauhid dengan lafadz yang mudtharib (goncang) secara mauquf terhadap ibnu Abbas. Pada satu riwayat disebutkan Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat dengan mata kepalanya, sedangkan pada riwayat lainnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya dengan hatinya, seperti yang diriwayatkan dari Atha’ bin Abi Rabbah. Dan banyak lagi lafadz-lafadz lainnya yang diriwayatkan dan bersumber dari Ibnu Abbas ÑÖí Çááå ÚäåãÇ.
Dalam riwayat dari Ibnu Abbas ÑÖí Çááå ÚäåãÇ di atas juga tidak disebutkan dengan tegas bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Allah dengan mata kepalanya. Sebagian riwayat itu hanya menyatakan beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã “melihat dalam hatinya”, “melihat cahaya”, “melihat dalam mimpinya” dan lain-lain.
Di samping itu, mereka yang berpendapat bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã telah melihat Allah ketika mi’raj, berhujah dengan ayat Allah dalam surat atTak-wir:
æóáóÞóÏú ÑóÂåõ ÈöÇúáÃõÝõÞö ÇáúãõÈöíäö. ]ÇáÊßæíÑ:23[
Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang. (at-Tak-wir: 23)
Dan ayat Allah:
æóáóÞóÏú ÑóÂåõ äóÒúáóÉð ÃõÎúÑóì. ÚöäúÏó ÓöÏúÑóÉö ÇáúãõäúÊóåóì. ]ÇáäÌã: 13-14[
Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha. (an-Najm: 62-63)
Bantahan bagi pendapat di atas
Sebagian para shahabat lainnya seperti Aisyah, Ibnu Mas’ud, dan Abu Hurairah; demikian pula sebagian ashhabul hadits dan para fuqaha lainnya, mereka berpendapat bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã tidak melihat Rabb-Nya ketika beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã mi’raj. Hal itu sebagaimana telah diriwayatkan dari Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ, ketika beliau ditanya oleh Masyruq: ”Apakah Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-Nya?” Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ menjawab:
ãóäú ÒóÚóãó Ãóäøó ãõÍóãøóÏðÇ Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÑóÃóì ÑóÈøóåõ ÝóÞóÏú ÃóÚúÙóãó Úóáóì Çááøóåö ÇáúÝöÑúíóÉó. ÞóÇáó æóßõäúÊõ ãõÊøóßöÆðÇ ÝóÌóáóÓúÊõ ÝóÞõáúÊõ: íóÇ Ãõãøó ÇáúãõÄúãöäöíäó ÃóäúÙöÑöíäöí æóáÇó ÊóÚúÌóáöíäöí Ãóáóãú íóÞõáö Çááøóåõ ÚóÒøó æóÌóáøó
]æóáóÞóÏú ÑóÂåõ ÈöÇúáÃõÝõÞö ÇáúãõÈöíäö[ ]æóáóÞóÏú ÑóÂåõ äóÒúáóÉð ÃõÎúÑóì[ ÝóÞóÇáóÊú: ÃóäóÇ Ãóæøóáõ åóÐöåö ÇúáÃõãøóÉö ÓóÃóáó Úóäú Ðóáößó ÑóÓõæáó Çááøóåö Õóáøóì Çááøóåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó. ÝóÞóÇáó: ÅöäøóãóÇ åõæó ÌöÈúÑöíáõ áóãú ÃóÑóåõ Úóáóì ÕõæÑóÊöåö ÇáøóÊöí ÎõáöÞó ÚóáóíúåóÇ ÛóíúÑó åóÇÊóíúäö ÇáúãóÑøóÊóíúäö ÑóÃóíúÊõåõ ãõäúåóÈöØðÇ ãöäó ÇáÓøóãóÇÁö ÓóÇÏøðÇ ÚöÙóãõ ÎóáúÞöåö ãóÇ Èóíúäó ÇáÓøóãóÇÁö Åöáóì ÇúáÃóÑúÖö. ÝóÞóÇáóÊú: Ãóæó áóãú ÊóÓúãóÚú Ãóäøó Çááøóåó íóÞõæáõ ]áÇó ÊõÏúÑößõåõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑõ æóåõæó íõÏúÑößõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑó æóåõæó ÇááøóØöíÝõ ÇáúÎóÈöíÑõ[ Ãóæó áóãú ÊóÓúãóÚú Ãóäøó Çááøóåó íóÞõæáõ ]æóãóÇ ßóÇäó áöÈóÔóÑò Ãóäú íõßóáøöãóåõ Çááøóåõ ÅöáÇøó æóÍúíðÇ Ãóæú ãöäú æóÑóÇÁö ÍöÌóÇÈò Ãóæú íõÑúÓöáó ÑóÓõæáÇð ÝóíõæÍöíó ÈöÅöÐúäöåö ãóÇ íóÔóÇÁõ Åöäøóåõ Úóáöíøñ Íóßöíãñ[(ãÊÝÞ Úáíå)
Barangsiapa yang menyangka bahwa Muhammad Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya, maka dia telah membikin kedustaan besar kepada Allah. Aku (Masyruq) yang semula berbaring, kemudian terduduk dan berkata: “Ya Umul mukminin, sebentar dulu! jangan terburu-buru! Bukankah Allah telah berfirman: “[æóáóÞóÏú ÑóÂåõ ÈöÇúáÃõÝõÞö ÇáúãõÈöíäö] [ æóáóÞóÏú ÑóÂåõ äóÒúáóÉð ÃõÎúÑóì] (“Dan sesungguhnya Muhammad itu melihatnya di ufuk yang terang”. (“Dan sesungguhnya Muhammad telah melihatnya pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratil Muntaha”. Aisyah ÑÖí Çááå ÚäåÇ menjawab: “Aku adalah orang pertama dari umat ini yang bertanya kepada Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã tentangnya. Maka beliau menjawab: “Itu adalah Jibril, aku tidak pernah melihatnya dalam bentuk aslinya, yang ia diciptakan atasnya. Aku melihatnya turun dari langit dan menutupi antara langit dan bumi karena besarnya (bentuknya)”. Kemudian Aisyah berkata: “Tidakkah engkau mendengar bahwa Allah berfirman:
[áÇó ÊõÏúÑößõåõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑõ æóåõæó íõÏúÑößõ ÇúáÃóÈúÕóÇÑó æóåõæó ÇááøóØöíÝõ ÇáúÎóÈöíÑõ]? (“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata, sedangkan Dia dapat melihat segala yang kelihatan; dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui”). Bukankah engkau pernah mendengar
æóãóÇ ßóÇäó áöÈóÔóÑò Ãóäú íõßóáøöãóåõ Çááøóåõ ÅöáÇøó æóÍúíðÇ Ãóæú ãöäú æóÑóÇÁö ÍöÌóÇÈò Ãóæú íõÑúÓöáó ÑóÓõæáÇð ÝóíõæÍöíó ÈöÅöÐúäöåö ãóÇ íóÔóÇÁõ Åöäøóåõ Úóáöíøñ Íóßöíãñ.
(“Dan tidak mungkin bagi seorang manusia bahwa Allah berkata dengannya kecuali dengan perantaraan wahyu atau di belakang tabir atau dengan mengutus seorang utusan (malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan seizinNya apa yang Dia kehendaki. Sesungguhnya Dia Maha Tinggi lagi Maha Bijaksana). (HR. Bukhari-Muslim)
Adapun riwayat yang menyatakan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat cahaya dinukil juga dalam kitab shahih muslim sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abdullah bin Syafiq dari Abu Dzar:
Ëõãøó ÞõáúÊõ öáÃóÈöí ÐóÑøò áóæú ÑóÃóíúÊõ ÑóÓõæúáó Çááåö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó áóÓóÃóáúÊõåõ. ÝóÞóÇáó: Úóäú Ãóíøö ÔóíúÁò ßõäúÊó ÊóÓúÃóáõåõ¿ ÞóÇáó: ßõäúÊõ ÃóÓúÃóáõåõ: åóáú ÑóÃóíúÊó ÑóÈøõßó¿ ÞóÇáó ÃóÈõæú ÐóÑøò ÞóÏú ÓóÃóáúÊõ ÝóÞóÇáó: ((ÑóÃóíúÊõ äõæúÑðÇ)). (ÑæÇå ãÓáã)
Dia berkata kepada Abu Dzar: “Kalau aku sempat bertemu Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã sungguh aku akan bertanya. Abu Dzar balik bertanya: “Apa yang akan kau tanyakan?”. Aku akan bertanya: “Apakah beliau melihat rabb-Nya?” Maka Abu Dzar pun berkata; “Sungguh aku telah bertanya kepada beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã. Beliau menjawab: “Aku melihat cahaya”. (HR. Muslim)
Dalam riwayat lain disebutkan dari Abu Dzar:
ÓóÃóáúÊõ ÑóÓõæúáó Çááåó åóáú ÑóÃóíúÊó ÑóÈøóßó¿ ÞóÇá: (äõæúÑñ Ãóäøóì ÃóÑóÇåõ)
Aku bertanya kepada Rasulllah Õáì Çááå Úáíå æÓáã : “Apakah engkau melihat Rabb-mu? Beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã menjawab: “Cahaya, bagaimana aku melihatnya?”. (HR. Muslim)
Disebutkan oleh para ulama bahwa yang dilihat oleh Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã adalah hijab-Nya, karena hijabnya adalah cahaya sebagaimana diriwayatkan dari dari Abu Musa al-‘Asy’ari:
ÞóÇãó ÝöíúäóÇ ÑóÓõæúáõ Çááåöö Õóáøóì Çááåõ Úóáóíúåö æóÓóáøóãó ÈöÎóãúÓö ßóáöãóÇÊò ÝóÞóÇáó: Åöäøó Çááåó ÚóÒøó æóÌóáøó áÇó íóäóÇãõ æóáÇó íóäúÈóÛöí áóåõ Ãóäú íóäóÇãó íóÎúÝóÖõ ÇáúÞöÓúØó æóíóÑúÝóÚõåõ. íóÑúÝóÚõ Åöáóíúåö Úóãóáó Çááøóíúáö ÞóÈúáó Úóãóáö ÇáäøóåóÇÑö æóÚóãóáó ÇáäøóåóÇÑö ÞóÈúáó Úóãóáö Çááøóíúáö ÍöÌóÇÈõåõ ÇáäøõæúÑõ. (ÑæÇå ãÓáã)
Berdiri Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã di depan kami dengan menyampaikan lima kalimat. Beliau berkata: “Sesungguhnya Allah tidak tidur dan tidak layak bagi-Nya tidur, menurunkan timbangan dan mengangkatnya, diangkat kepadanya amalan malam sebelum amalan siang, dan amalan siang sebelum amalan malam, dan hijab-Nya adalah cahaya. (HR. Muslim)
Ibnu Hajar al-Atsqalani dalam Fathul Bary jilid 8/708, setelah menyebutkan pendapat-pendapat yang menyatakan Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya dan pendapat yang sebaliknya, berkata: “Hadits-hadits dari Ibnu Abbas yang menyatakan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat Rabb-nya, ada yang diriwayatkan secara muqayyad (terikat), yakni melihat dengan hatinya; dan ada pula yang diriwayatkan secara mutlak. Oleh karena itu wajib bagi kita untuk membawa hadits-hadits yang mutlak tersebut kepada hadits-hadits yang muqayyad”.
Kemudian Ibnu Hajar ÑÍãå Çááå mengakurkan (menjama’) antara kedua pendapat yang kelihatannya saling bertentangan tersebut dengan menyatakan: “Dengan ini kita bisa mengumpulkan antara pendapat Ibnu Abbas yang menetapkan (melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã terhadap Allah –pent.) dengan pendapat Aisyah yang justru mengingkarinya. Yaitu dengan membawa pengingkaran Aisyah kepada penglihatan dengan mata, adapun penetapan Ibnu Abbas adalah penglihatan dengan hatinya”.
Berkata Dr. Ali bin Muhammad
bin Nashir al-Faqihi: “Jama’ dari Ibnu Hajar ini sangat bagus dan dengan ini kita dapat mengambil seluruh riwayat-riwayat tersebut”. (Al-Iman, karya Ibnu Mandah, tahqiq Dr. Ali bin Muhammad bin Nashir al-Faqihi hal. 24).
Berkata Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah ÑÍãå Çááå: “Tidaklah ucapan Ibnu Abbas tentang melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã bertentangan dengan hadits Aisyah”. Kemudian beliau ÑÍãå Çááå meriwayatkan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã per-nah malihat Rabb-nya dalam tidurnya. (Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37)
Bahkan disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Zaadul Ma’adnya bahwa Utsman bin Sa’id ad-Darimi telah menghikayatkan kesepakatan para sahabat tentang tidak melihatnya Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã terhadap Rabb-nya. (Zaadul Ma’ad, juz 3 hal. 37)
Yakni dengan mata kepala beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã dalam keadaan sadar. Adapun riwayat-riwayat yang menyatakan beliau Õáì Çááå Úáíå æÓáã melihat-Nya adalah dalam keadaan tidur atau dengan hatinya.
Dengan demikian, jika kita memperhatikan bahwa Rasulullah Õáì Çááå Úáíå æÓáã sendiri tidak melihat Rabb-nya dengan matanya secara sadar di dunia ini dalam riwayat-riwayat yang shahih, maka bagaimana mungkin bagi orang-orang selain beliau dapat melihat-Nya dengan mata kepalanya ?
Wallahu a’lam
(Dikutip dari Bulletin Dakwah Manhaj Salaf Edisi: 48/Th. II, 24 Dzulhijjah 1425 H/4 Februari 2005 M, penulis Al Ustadz Muhammad Umar As Sewed, judul asli “Tak Ada yang melihat Allah di dunia”. Risalah Dakwah MANHAJ SALAF, Insya Allah terbit setiap hari Jum’at. Infaq Rp. 100,-/exp. Pesanan min. 50 exp di bayar di muka. Diterbitkan oleh Yayasan Dhiya’us Sunnah, Jl. Dukuh Semar Gg. Putat RT 06 RW 03, Cirebon. telp. (0231) 222185. Penanggung Jawab: Ustadz Muhammad Umar As-Sewed; Redaksi: Muhammad Sholehuddin, Dedi Supriyadi, Eri Ziyad; Sekretaris: Ahmad Fauzan; Sirkulasi: Arief Subekti, Agus Rudiyanto, Zaenal Arifin; Keuangan: Kusnendi. Pemesanan hubungi: Arif Subekti telp. (0231) 481215.)
Filed in: Aqidah

Benarkah Syaikh Al-Bani Mendhaifkan Bukhari Muslim?



Diantara kaum muslimin ada yang bertanya, Benarkah Syaikh Al-Bani Mendhaifkan Bukhari Muslim?Berikut adalah jawaban yang diberikan Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.(Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)

Pertanyaan:

Assalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh
Ana mau tanya benar gak sih syaikh nashirudin al albani mendhoifkan hadist2 shohih dari bukhori dan muslim? tolong dijelaskan yang rinci agar tidak terjadi fitnah bagi ulama ahlus sunnah.

Jawaban Ustadz:

Sebenarnya kurang pas jika saya diminta menjawab pertanyaan ini, karena masih banyak yang lebih berkompeten menjawabnya. Namun barangkali karena kesibukan para ustadz, dan karena permasalahannya sudah banyak dibahas, serta mudahnya memperoleh referensi dan konsultasi dari para ustadz, saya beranikan untuk berpartisipasi menjawabnya. Wabillahittaufiq.

Kedudukan Sahih Bukhari dan Muslim

Para ulama Ahlusunnah sepakat bahwa Kitab Sahih Bukhari dan Muslim (Sahihain) adalah kitab hadits yang paling sahih. Imam Nawawi berkata, “Para ulama -rahimahumullah- sepakat bahwa kitab yang paling sahih setelah Al Quran adalah Ash Sahihain Bukhari dan Muslim, dan umat telah menerima keduanya.” (Lihat Muqaddimah Syarah Muslim 1/14).

Perlu diketahui juga bahwa hadits-hadits dalam Sahihain bukanlah sembarang hadits sahih, tapi hadits sahih pilihan yang dipilih dari ribuan hadits sahih. Dalam Sahihain, al-Bukhari dan Muslim (Syaikhain) memberlakukan syarat yang sangat ketat, yang bahkan tidak mereka syaratkan dalam kitab-kitab mereka yang lain. Hadits-hadits ini mereka pilih dari ratusan ribu hadits, diiringi isti’anah kepada Allah, kemudian konsultasi dengan para pakar sekaliber ‘Ali bin Madini dan Abu Zur’ah ar-Razi.

Namun tidak berarti bahwa Sahihain terlepas dari kekurangan sama sekali. Tidak semua hadits ini disepakati kesahihannya. Sebagian kecil haditsnya diperselisihkan kesahihannya, bahkan oleh sebagian ulama hadits pada masa Bukhari dan Muslim. Karenanya Ibnu Shalah, yang menukil ijma’ atas penerimaan dua kitab ini, tidak menggeneralisir hukum ini untuk seluruh isi kitab. Beliau mengatakan: “Kecuali beberapa tempat yang dikritik Ad Daraquthni dan yang lain.” (Lihat Fathul Bari 1/505). Ibnu Taimiyyah berkata, “Di antara hadits sahih ada yang para ulama hadits sepakat menyikapinya dengan menerima dan percaya, seperti sebagian besar hadits Bukhari dan Muslim, karena semua ulama hadits memastikan sahihnya sebagian besar hadits dua kitab ini.” (Majmu’ Fatawa 18/17).

Sejak dulu sudah ada beberapa ulama yang mengkritik sebagian hadits Sahihain, maupun kitab Sahihain secara khusus, di antaranya Imam Syafi’i, Imam Ahmad, Ad Daraquthni, Abul Walid Al Baji, Ibnu ‘Abdil Hadi, Abu Mas’ud Ad Dimasyqi, Abu ‘Ali Al Ghassani, dan Ibnu Tamiyyah. Yang paling terkenal dengan kritiknya adalah Imam Ad Daraquthni yang mengkritik 110 hadits di Sahih Bukhari dan 132 hadits di Sahih Muslim.

Banyak juga ulama hadits yang berusaha menjawab berbagai kritik tersebut. An Nawawi berkata, “Dan telah terjawab semuanya atau sebagian besarnya.” Memang tidak semua terjawab dengan baik. Ibnu Hajar berkata: “Di antara kritikan tersebut ada yang jawabannya tidak kuat.” (Fathul Bari 1/505).

Intinya, sebagian besar hadits Sahihain disepakati kesahihannya. Sebagian kecil lagi diperselisihkan, tapi minimal hadits tersebut sahih menurut Syaikhain dan sebagian ulama hadits. Mengkritik sebagian hadits ini atau menghukuminya dengan dha’if bukanlah perkara baru dan sah-sah saja dilakukan oleh pakarnya, selama didasarkan pada aturan-aturan dalam disiplin ilmu hadits, bukan dengan hawa nafsu. Hal tersebut termasuk masalah ijtihadiah yang kita boleh berbeda pendapat di dalamnya.

Sikap Imam Al Albani Terhadap Sahihain

Sebagai seorang Imam Ahlusunnah pada zaman ini, Syaikh Al Albani selalu berusaha mengikuti jejak generasi awal umat Islam. Dalam ilmu hadits pun beliau tidak datang dengan kaidah-kaidah baru. Sikap beliau terhadap Sahihain bisa kita simak langsung dari pernyataan beliau berikut, “Dan Sahihain adalah kitab paling sahih setelah Kitabullah, dengan kesepakatan para ulama muslimin, dari kalangan ahli hadits dan yang lain. Keduanya istimewa dibanding kitab sunah yang lain karena tak tersaingi dalam menghimpun hadits-hadits paling sahih dan meninggalkan hadits-hadits lemah dan matan yang munkar. Mereka telah diberikan taufik yang tidak didapatkan oleh orang-orang yang berusaha mengikuti jejak mereka dalam menghimpun hadits-hadits sahih seperti Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan sebagainya, sehingga diketahui secara umum bahwa jika suatu hadits diriwayatkan Syaikhain atau salah satunya, berarti hadits itu sahih.”

Beliau melanjutkan, “Tidak ada keraguan dalam hal ini, dan inilah kaidah asalnya menurut kami. Tapi ini tidak berarti bahwa setiap huruf atau kata dalam Sahihain memiliki kedudukan yang sama dengan huruf dan kata dalam Al Quran, dimana tidak mungkin ada kesalahan dari sebagian perawinya. Sama sekai tidak, karena kami tidak meyakini ada kitab yang ma’shum selain Kitabullah. Imam asy-Syafi’I berkata, ‘Allah enggan menyempurnakan kitab selain Kitab-Nya.’ Tidak mungkin ada seorang ulama pun yang bisa mengatakan demikian, jika ia mempelajari Sahihain dengan jeli dan teliti, tanpa fanatisme, dan dalam koridor aturan ilmiah yang baku, bukan mengikuti hawa nafsu, atau pemikiran yang jauh dari Islam dan kaidah para ulamanya.” (Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 24).

Ustadz Yusuf Abu Ubaidah dalam kitab “Syaikh al-Albani Dihujat” menyebutkan bukti-bukti penghormatan Syaikh al-Albani terhadap Sahihain, antara lain:

(1) Meringkas Sahihain.
(2) Mendahulukan Sahihain sebelum kitab yang lain dalam takhrij.
(3) Memuji syarah Sahihain.
(4) Membela hadits-hadits Sahihain yang dihujat.

Silakan merujuk kitab ini, insya Allah Anda akan semakin bersyukur dengan nikmat hidayah kepada sunah.

Apakah Syaikh Al Albani Melemahkan Sebagian Hadits Sahihain ?

Ada sebagian orang yang mengatakan bahwa Al Albani melemahkan sebagian hadits Sahihain, untuk menjelaskan bahwa beliau tidak paham kaidah ilmu hadits, membuat kaidah-kaidah baru, tidak hormat pada ulama salaf, dan sebagainya. Secara umum mereka mendasarkan tuduhan tersebut pada beberapa hal, yaitu:

Pertama, dalam mentakhrij hadits yang diriwayatkan salah satu Syaikhain atau keduanya, kadang beliau mengatakan “Sahih” atau “Sahih diriwayatkan Muslim” atau “Sahih Muttafaq ‘Alaih” dan kadang cukup mengatakan, “diriwayatkan Bukhari” atau “diriwayatkan Muslim” atau “Muttafaq ‘Alaih” tanpa mengatakan “sahih”. Menurut mereka, itu berarti bahwa jika tidak mengatakan “sahih”, seolah-olah Al Albani meragukan kesahihan hadits tersebut, dan ini tidak pernah dilakukan ulama hadits sebelumnya.

Kedua, bahwa Al Albani memang terus terang menghukumi dha’if beberapa hadits Sahihain, diantaranya:

Hadits Ibnu ‘Abbas yang diriwayatkan Bukhari dan Muslim:

أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَ مَيْمُونَةَ وَهُوَ مُحْرِمٌ

“Sesungguhnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika beliau dalam keadaan ihram.”

Al Albani mengatakan “Sungguh pasti bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam menikahi Maimunah ketika beliau tidak dalam keadaan ihram” Kemudian beliau menukil perkataan Ibnu ‘Abdil Hadi, “Dan ini terhitung di antara kesalahan-kesalahan yang ada di Sahih (Bukhari).” (Muqaddimah Syarah Ath-Thahawiyyah: 23).

Hadits Abu Hurairah riwayat Bukhari:

مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ

“Barang siapa memusuhi seorang waliku, sungguh Aku telah mengumumkan perang baginya.”

Al Albani mengatakan, “Riwayat al-Bukhari, dan dalam sanadnya ada kelemahan, tetapi ia punya beberapa jalan sanad yang barangkali menguatkannya. Dan saya belum diberi kemudahan untuk mempelajari dan meneliti masalah ini.” (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 24).

Jawabannya: Adapun sebab pertama, kita katakan bahwa setiap orang paham sedikit saja tentang ilmu hadits tentu paham bahwa jika dikatakan, “diriwayatkan Bukhari”, atau “diriwayatkan Muslim”, atau “Muttafaq ‘Alaih”, itu berarti bahwa haditsnya sahih. Adapun jika dikatakan: “sahih”, atau “sahih diriwayatkan Muslim”, atau “sahih Muttafaq ‘alaih”, itu adalah penjelasan dan penegasan kesahihan hadits. Sama sekali tidak berarti bahwa jika kata “sahih” dihilangkan berarti tidak sahih. Yang terjadi hanyalah perbedaan ungkapan untuk makna yang sama. Metode ini juga bukan metode baru made in Al Albani, tapi sudah ada ulama sebelum beliau yang melakukannya, antara lain Al Baghawi dalam kitab Syarhus Sunnah, di mana beliau kadang mengatakan: “sahih”, “sahih diriwayatkan Muhammad (Bukhari)”, “sahih diriwayatkan Muslim”, atau “sahih Muttafaq ‘ala Shihhatih”, dan semisalnya. (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 25-26).

Adapun sebab yang kedua, secara umum bisa kita jawab dengan keterangan dalam pasal A bahwa sebagian kecil hadits Sahihain diperselisihkan kesahihannya, termasuk oleh sebagian ulama hadits pada masa Bukhari dan Muslim. Mengkritik sebagian hadits ini atau menghukuminya dengan dha’if bukanlah perkara baru yang dibawa Syaikh Al Albani, dan sah-sah saja dilakukan oleh ahli hadits, selama didasarkan pada aturan-aturan dalam disiplin ilmu hadits, bukan dengan hawa nafsu.

Mengenai hadits Ibnu ‘Abbas, hadits ini sangat kuat isnadnya. Oleh karena itu Syaikhain sepakat meriwayatkannya. Tapi matannya menyelisihi matan hadits sahih lain; yaitu hadits Maimunah yang diriwayatkan Muslim:

عَنْ مَيْمُونَةُ بِنْتُ الْحَارِثِ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ تَزَوَّجَهَا وَهُوَ حَلَالٌ

“Dari Maimunah binti Harits, bahwa sesungguhnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya ketika beliau dalam keadaan halal (tidak ihram).”

Karena maknanya bertentangan dan sama-sama sahih, diperlukan penguat di luar kedua hadits ini. Para ulama lebih mengunggulkan hadits Maimunah karena beberapa hal:

Pertama, hadits Maimunah diriwayatkan dengan jalan sanad lebih banyak. Ibnu ‘Abdil Barr berkata: “Riwayat-riwayat dalam hukum ini berbeda-beda. Tapi riwayat bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menikahinya dalam keadaan halal datang dari jalan sanad yang banyak. Hadits Ibnu ‘Abbas sahih sanadnya, tapi kesalahan dari satu orang lebih mungkin dari kesalahan banyak orang.”

Kedua, hadits Maimunah diriwayatkan oleh shahibul qishah (pelaku kejadian), yaitu Maimunah sendiri dan Abu Rafi’ yang merupakan perantara pernikahan ini, sebagaimana diriwayatkan Ahmad dan at-Tirmidzi. Sa’id bin Musayyib mengatakan: “Ibnu ‘Abbas telah salah, lha wong Maimunah sendiri mengatakan: ‘Beliau menikahiku ketika dalam keadaan halal (tidak ihram).’”

Ketiga, hadits Ibnu ‘Abbas menyelisihi kaidah umum dalam hukum pernikahan, yaitu hadits Usman riwayat Muslim bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:

لاَ يَنْكِحُ الْمُحْرِمُ وَلاَ يُنْكَحُ وَلاَ يَخْطُبُ

“Orang yang ihram tidak boleh menikah, tidak boleh menikahkan, dan tidak boleh melamar.”

Dengan demikian, meskipun hadits Ibnu ‘Abbas sahih sanadnya, kita perhatikan dari zhahir perkataan beberapa ulama di atas bahwa mereka menilainya syadz (menyelisihi yang lebih kuat). Sebagian ulama lagi berusaha memadukan makna dua hadits sahih yang tampak bertentangan ini. (Lihat Fathul Bari 9/207-208).

Adapun hadits Abu Hurairah, banyak ulama besar sebelum Al Albani yang menghukumi dha’if sanadnya, antara lain Adz Dzahabi, Ibnu Rajab dan Ibnu Hajar. Bahkan Adz Dzahabi mengatakan: “Hadits ini aneh sekali. Kalau bukan karena wibawa Sahih (Bukhari), tentu orang akan menganggapnya termasuk munkaratnya Khalid bin Mikhlad, karena matan ini tidak diriwayatkan kecuali dengan sanad ini, dan tidak diriwayatkan oleh selain Bukhari.” Tapi yang benar, hadits ini memliliki jalan sanad yang lain, sebagaimana disebutkan Ibnu Hajar. (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 37-38).

Kemudian saksikanlah tawadhu’ dan objektivitas Imam Al Albani, di mana beliau mengatakan: “Karena itu saya sempat tidak bisa menghukumi sahih hadits ini dengan tegas, sampai saya dimudahkan untuk meneliti jalan sanadnya. Kemudian Allah memudahkannya untuk saya sejak beberapa tahun, maka jelaslah bagi saya bahwa hadits ini sahih dengan kumpulan jalan sanadnya.” (Lihat Muqaddimah Syarah ath-Thahawiyyah: 37-38).

Ironisnya, ternyata orang-orang yang membesar-besarkan masalah ini; yaitu bahwa Al Albani melemahkan hadits-hadits Sahihain dan membuat kaidah-kaidah baru, seperti Hasan As Saqqaf (Assegaf), Abdullah Al Ghumari, Abdul Fattah Abu Ghuddah, dan di Indonesia Ali Mustofa Yakub, ternyata melakukan hal yang sama, yang karena sebabnya, dengan zhalim mereka mencela Imam al-Albani. Hanya sayangnya mereka tidak melakukannya dengan ilmiah. Wallahul Musta’an. (Lihat Syaikh al-Albani Dihujat: 72-75, 158).

Kenapa Syaikh Al Albani ?

Di atas telah kita jelaskan bahwa celaan terhadap Syaikh Al Albani tersebut zhalim dan tidak proporsional. Yang kita pertanyakan, kenapa Al Albani yang dihujat dan diserang? Beberapa poin berikut barangkali bisa menjawabnya:

Pertama, barangkali ini menunjukkan keutamaan Syaikh Al Albani. Beliau laksana pohon yang tinggi, yang harus siap menghadapi angin kencang. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ditanya:

أَيُّ النَّاسِ أَشَدُّ بَلَاءً؟ قَالَ: الْأَنْبِيَاءُ ثُمَّ الْأَمْثَلُ فَالْأَمْثَلُ

“Siapa yang paling berat ujiannya?” Beliau menjawab: “Para nabi, kemudian yang terbaik, kemudian yang terbaik setelahnya.” (HR. Tirmidzi, disahihkan Al Albani)

Kedua, inilah sunah pembawa kebenaran, sebagaimana dikatakan Waraqah bin Naufal kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam:

لَمْ يَأْتِ رَجُلٌ قَطُّ بِمِثْلِ مَا جِئْتَ بِهِ إِلَّا عُودِيَ

“Tidak ada seorang pun yang datang dengan seperti apa yang engkau bawa, kecuali dimusuhi.” (Muttafaq ‘alaih)

Ketiga, karena Syaikh Al Albani adalah imam Ahlusunnah dan mujaddid (pembaharu-dengan maknanya yang sebenarnya) di abad ini. Beliau berada di shaf terdepan dalam mendakwahkan sunah dan menjelaskan kebatilan, terkadang dengan tegas dan tanpa tedeng aling-aling, sehingga membuat kewalahan para pengusung kebatilan.

Keempat, beliau adalah salah satu tokoh besar dakwah ahlussunnah, yang perkembangannya membuat banyak ahlul bid’ah kalang kabut. Jatuhnya ulama dakwah ahlussunnah h akan berpengaruh pada perkembangan dakwah. Jadi bukan hanya Al Albani yang diserang, tapi lebih penting dari itu dakwah yang beliau bawa.

Kelima, karena itu, tidak perlu heran jika setelah ini kita mendengar serangan-serangan lain terhadap Syaikh Al Albani (misalnya menuduhnya berakidah murji’ah) atau ulama yang lain. Alhamdulillah kebenaran itu jelas. Hendaknya kita senantiasa mendekat dari meja ilmu dan ulama, agar terus mendapat bimbingan mereka. Akhirnya kita berdoa, semoga Allah melimpahkan rahmatnya kepada Syaikh Al Albani, dan membimbing kita semua untuk teguh di atas kebenaran. Amin.

والله تعالى أعلم، وصلى الله على نبينا محمد، وآخر دعوانا أن الحمد لله رب العالمين.

Referensi:
Syaikhain = Dua Syaikh, yaitu Bukhari dan Muslim
Fathul Bari, Ibnu Hajar Al-’Asqalani, Darussalam.
Syarah al-’Aqidah ath-Thahawiyyah, takhrij Syaikh al-Albani, al-Maktab al-Islami.
Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah, Maktabah al-Mutanabbi.
Al-Maktabah asy-Syamilah, Maktabah Shautiyyah Masjid Nabawi.
Mukhtashar Sahih al-Bukhari, al-Albani, al-Maktab al-Islami.
Al-Qamus al-Muhith, al-Fairuzabadi, Muassasah ar-Risalah.
Difa’an ‘anis Salafiyyah, ‘Amr ‘Abdul Mun’im, Maktabah ash-Shahabah.
Syaikh al-Albani Dihujat, Yusuf Abu Ubaidah, Pustaka Abdullah.
***

Penanya: Abu Ahmad Bangili
Dijawab Oleh: Ustadz Anas Burhanuddin, Lc.
(Mahasiswa S2 Universitas Islam Madinah)

Apakah semua yang namanya yayasan = hizbiyah..?

Apakah semua yang namanya yayasan = Hizbiyah..? dan apa sebenarnya hukum yayasan?
BERIKUT ADALAH FATWA-FATWA ULAMA KIBAR TENTANG YAYASAN (JUM’IYYAH) :
Fatwa Syaikh Albani, Syaikh Bin Baaz, Syaikh Muqbil dan Syaikh Rabi’ bin Hadi Al-Madkhali

1. FATWA AL-IMAM AL-MUHADDITS MUHAMMAD NASHIRUDDIN AL-ALBANI RAHIMAHULLAH
Beliau berkata:
أي جمعية تقام على أساس من الإسلام الصحيح المستنبطة أحكامها من كتاب الله ومن سنة رسول الله r ومما كان عليه سلفنا الصالح ,فأي جمعية تقوم على هذا الأساس فلا مجال لإنكارها واتهامها بالحزبية,لأن ذلك كله يدخل في عموم قوله تعالى { وتعاونوا على البر والتقوى } والتعاون أمر مقصود شرعا وقد تختلف وسائله من زمن إلى زمن ومن مكان إلى مكان ومن بلدة إلى أخرى ولذلك فاتهام جمعية تقوم على هذا الأساس بالحزبية أو بالبدعية فهذا لا مجال إلى القول به ,لأنه مخالف ما هو مقرر عند العلماء من التفريق بين البدعة الموصوفة بعامة بالضلالة وبين السنة الحسنة, السنة الحسنة هو الطريقة تحدث وتوجد لتوصل المسلمين إلى أمر مقصود ومشروع نصا,فهذه الجمعيات في هذا الزمن لا تختلف من حيث وسائلها عن الوسائل التي جدت في هذا العصر لتسهل للمسلمين الوصول إلى غايات مشروعة, فما نحن الآن في هذه الجلسة من استعمال المسجلات على أشكالها وألوانها إلا من هذا القبيل ,إن الوسائل أحدثت فإذا استعملت فيما يحقق هدفا وغرضا شرعيا فهي وسيلة مشروعة وإلا فلا,كذلك وسائل الركوب كثيرة ومختلفة اليوم من السيارات والطيارات ونحو ذلك فهي أيضا وسائل فإذا استعملت في تحقيق مقاصد شرعية فهي شرعية وإلا فلا.
“jum’iyyah mana saja yang dibangun diatas pondasi islam yang benar yang hukum-hukumnya diambil dari kitabullah dan sunnah Rasulullah r dan dari apa yang diamalkan oleh para ulama salafus saleh.Jum’iyyah mana saja yang tegak diatas pondasi ini maka tidak ada celah untuk mengingkarinya dan menuduhnya dengan tuduhan hizbiyyah,sebab semua itu termasuk dalam keumuman firman Allah Ta’ala:
“dan tolong menolonglah diatas kebaikan dan taqwa dan jangan kalian tolong menolong diatas dosa dan permusuhan.”
Saling tolong menolong merupakan perkara yang diinginkan secara syar’I,dan berbeda sarana-sarananya dari satu zaman ke zaman yang lain,dari satu tempat ke tempat yang lain,dari sebuah negeri ke negeri yang lain.Oleh karena itu,menuduh satu jum’iyyah yang tegak diatas asas ini dengan hizbiyyah,atau dengan bid’ah ,maka tidak ada celah untuk mengatakan hal ini karena menyelisihi apa yang telah ditetapkan para ulama dengan membedakan antara bid’ah yang secara umum bersifat sesat dengan sunnah hasanah, sunnah hasanah adalah satu metode yang baru yang ditemukan untuk dijadikan wasilah menuju kepada sesuatu yang diinginkan dan disyari’atkan secara nash.Maka jum’iyyah-jum’iyyah yang ada dizaman ini tidak berbeda dari dari sisi sarana-sarana yang ada dari berbagai sarana yang baru muncul pada masa kini untuk memudahkan kaum muslimin menuju kepada berbagai tujuan yang disyari’atkan.Tidaklah kita sekarang ini di majelis ini dengan menggunakan berbagai alat perekam yang beraneka ragam dan bentuknya,melainkan dari sisi ini.Sarana-sarana adalah sesuatu yang baru, jika digunakan terhadap sesuatu yang menghasilkan sebuah tujuan dan keinginan yang bersifat syar’I,maka ini merupakan saran yang disyari’atkan,dan jika tidak maka tidak.Demikian pula sarana transportasi yang banyak,dan berbeda-beda pada hari ini,dengan berbagai jenis mobil dan pesawat,dan yang semisalnya.Ini juga merupakan sarana,yang jika digunakan untuk menghasilkan tujuan-tujuan yang syar’I maka itu disyari’atkan,dan jika tidak maka tidak (disyari’atkan).
(dari kaset silsilah al-huda wan-nuur:no:590.lihat pula risalah: hukmul ulama’ fil indhimam li jum’iyyatil hikmah wal ihsan wal birr wat-taqwa, wajum’iyyati ihyaa’ at-turats ummu haa’ulaa’,karya Hasan bin Qasim Ar-Raimi,hal: 5-6)


2. FATWA SAMAHATUS SYAIKH ABDUL AZIZ BIN BAAZ RAHIMAHULLAH
Beliau ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut:
س : فنحن مجموعة من الدعاة وطلبة العلم الشرعي بالسودان بحمد الله من الله تعالى علينا بعقيدة ومنهج السلف الصالح في توحيد العبادة والأسماء والصفات وغير ذلك ، وهدفنا هو طلب العلم الشرعي ونشره بين الناس والدعوة إلى الله تعالى على طريقة السلف في مراكز مختلفة في أنحاء البلاد ، وتعليم الناس أمور دينهم في التوحيد وأركان الإسلام وغير ذلك ، ومحاربة الشرك والبدع ، والدعوة إلى التمسك بالكتاب والسنة على فهم السلف الصالح ، وغرس الفضيلة ومحاربة الرذيلة ، وتربية الناس على مكارم الأخلاق والنأي بهم عن أراذلها .
ونتعاون مع كافة من يعمل في حقل الدعوة إلى الله تعالى فيما وافق فيه الحق والصواب ، تعاونا شرعيا ؛ لقوله تعالى : وَتَعَاوَنُوا عَلَى الْبِرِّ وَالتَّقْوَى الآية ، بعيدا عن التكتلات الحزبية والتعصب للرجال أو التنظيمات وعقد الولاء والبراء على ذلك ، وإنما نحب في الله ونبغض في الله ونوالي في الله ونعادي في الله على منهج السلف الصالح ، ونعمل على إنشاء المراكز التعليمية وبناء المساجد والمعاهد الشرعية ودور تحفيظ القرآن والمكتبات العامة ونشر الكتب والرسائل العلمية النافعة ، والأشرطة العلمية المفيدة ، والحجاب الشرعي ، وربط الأمة بالعلماء الربانيين .
ولهذا أنشأنا هيئة سلفية علمية تضم مجموعة من خريجي الجامعات الإسلامية بالمملكة العربية السعودية ، وممن تتلمذوا على كبار مشايخ الدعوة السلفية في العالم الإسلامي تحت اسم جمعية الكتاب والسنة الخيرية التي مقرها الخرطوم ، فهل هنالك محذور شرعي في العمل على تحقيق هذه الأهداف المذكورة من خلال الجمعية آنفة الذكر دون الالتزام بتنظيم جماعة معينة بالسودان ، لما لدينا عليها من ملاحظات هامة مع الاحتفاظ بأخوة الإسلام والتعاون معهم على الحق . أفتونا مأجورين .
الجواب : بسم الله ، والحمد لله ، والصلاة والسلام على رسول الله ، وآله وصحبه ، أما بعد : فهذا المنهج الذي ذكرتم أعلاه في الدعوة إلى الله تعالى ، وتوجيه الناس إلى الخير على هدي الكتاب والسنة وطريق سلف الأمة منهج صالح نوصيكم بالتزامه والاستقامة عليه ، والتعاون مع إخوانكم الدعاة إلى الله في السودان وغيرها فيما يوافق الكتاب والسنة ، وما درج عليه سلف الأمة في بيان توحيد الله وأدلته والتحذير من الشرك ووسائله ، والتحذير من البدع وأنواع المعاصي بالأدلة الشرعية والأسلوب الحسن .
عملا بقوله تعالى : وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا الآية ، وقوله سبحانه : قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي الآية ، وقوله سبحانه ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ وقول النبي صلى الله عليه وسلم : من دل على خير فله مثل أجر فاعله خرجه مسلم في صحيحه ، وقول النبي صلى الله عليه وسلم لعلي رضي الله عنه لما بعثه إلى خيبر لدعوة اليهود ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله تعالى فيه فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم متفق على صحته . والآيات والأحاديث في هذا المعنى كثيرة .
والله المسئول أن يمنحكم التوفيق والإعانة على كل خير ، وأن يجعلنا وإياكم من الهداة المهتدين ، إنه جواد كريم ، وصلى الله وسلم على نبينا محمد ، وعلى آله وصحبه أجمعين .
Kami sekumpulan da’I dan para penuntut ilmu syar’I di Sudan,dengan segala puji milik Allah dari nikmat Allah atas kami,berupa aqidah dan manhaj salafus saleh dalam mentauhidkan ibadah,nama-nama dan sifat-sifat-Nya,dan yang lainnya.tujuan kami adalah menuntut ilmu syar’I dan menyebarkannya kepada manusia,berdakwah menuju Allah Y diatas metode salaf,di berbagai pusat kegiatan ilmu yang ada di penjuru negeri,dan mengajarkan manusia perkara-perkara agama mereka berupa tauhid,rukun-rukun islam dan yang lainnya,dan memerangi syirik dan bid’ah,dan mengajak untuk berpegang teguh dengan al-kitab dan as-sunnah diatas pemahaman salafus saleh,menanamkan keutamaan dan memerangi kerendahan,serta mendidik manusia diatas akhlaq yang mulia dan manjauhi kerendahan akhlaq.
Dan kami bekerjasama dengan setiap yang beamal dalam medan dakwah menuju Allah U pada apa-apa yang sesuai dengan kebenaran dan haq,kerjasama yang bersifat syar’i.Berdasarkan firman Allah I:
“dan tolong menolonglah diatas kebaikan dan taqwa dan jangan kalian tolong menolong diatas dosa dan permusuhan.”
Jauh dari berkumpul dengan cara hizbiyyah dan fanatik kepada tokoh-tokoh tertentu,atau gerakan-gerakan,dan bersikap al-wala’ wal bara’ diatasnya.Namun kami hanyalah mencintai karena Allah,membenci karena Allah,bersikap loyal karena Allah dan memusuhi karena Allah diatas manhaj salafus saleh.Kegiatan kami berupa mendirikan pusat kegiatan ta’lim (markaz),membangun masjid-masjid dan ma’had-ma’had syar’I,tahfidzul qur’an,maktabah umum,menyebarkan kitab-kitab dan risalah ilmiah yang bermanfaat,kaset-kaset ilmiah yang berfaedah,hijab yang syar’I,dan mengikat umat ini dengan para ulama rabbani.
Oleh karena itu,kami membuat lembaga salafiyyah ilmiah yang mengumpulkan beberapa orang dari lulusan jami’ah islamiah di kerajaan arab Saudi.Dan mereka termasuk orang-orang yang pernah menjadi murid dari masyayikh kibar dakwah salafiyyah di dunia islam,dibawah naungan jum’iyyah al-kitab dan as-sunnah al-khairiyyah yang bertempat di Khurthum.Apakah ada hal-hal yang terlarang secara syar’I dalam kegiatan yang bertujuan mewujudkan hal-hal yang disebutkan melalui jum’iyyah yang disebutkan tadi,tanpa harus terikat dengan gerakan jama’ah tertentu di Sudan,dengan memperhatikan hal-hal penting dengan memelihara ukhuwah islam dan saling tolong-menolong bersama mereka diatas al-haq.Berilah fatwa kepada kami,semoga engkau diberi pahala.
Jawaban Syaikh:
بسم الله ، والحمد لله ، والصلاة والسلام على رسول الله ، وآله وصحبه ، أما بعد :
Manhaj yang engkau engkau sebutkan diatas tentang berdakwah dijalan Allah U,membimbing manusia kepada kebaikan diatas petunjuk al-kitab dan as-sunnah dan jalan pendahulu umat ini,adalah manhaj yang baik,kami wasiatkan kalian agar komitmen dengannya dan istiqamah diatasnya.Bekerjasama dengan ikhwan kalian para da’I menuju Allah di Sudan dan lainnya dalam hal-hal yang sesuai dengan al-kitab dan as-sunnah,dan apa yang telah ditempuh oleh pendahulu umat ini dalam menjelaskan tauhid,dalil-dalilnya,dan memperingatkan dari kesyirikan dan segala sarana yang menuju kepadanya.Memperingatkan dari berbagai bid’ah dan berbagai kemaksiatan dengan dalil-dalil yang syar’I dengan cara yang baik.Dalam rangka mengamalkan firman Allah U:
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِمَّنْ دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا
Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh, dan berkata: “Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang menyerah diri?”
(QS.Fushshilat:33)
Dan juga firman-Nya:
قُلْ هَذِهِ سَبِيلِي أَدْعُو إِلَى اللَّهِ عَلَى بَصِيرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِي
Katakanlah: “Inilah jalan ku, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak kepada Allah dengan hujjah yang nyata, Maha Suci Allah, dan aku tiada termasuk orang-orang yang musyrik”
(QS.Yusuf:108)
Dan juga firman-Nya:
ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
Serulah kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.
(QS.An-Nahl:125)
Dan sabda Nabi r:
من دل على خير فله مثل أجر فاعله
“barangsiapa yang menunjukkan seseorang kepada kebaikan,maka baginya mendapatkan seperti pahala orang yang melakukannya.”
Dikeluarkan oleh Imam Muslim dalam shahihnya.
Dan sabda Rasulullah r kepada Ali t tatkala beliau mengutusnya ke Khaibar untuk mengajak Yahudi (kepada islam):
ادعهم إلى الإسلام وأخبرهم بما يجب عليهم من حق الله تعالى فيه فوالله لأن يهدي الله بك رجلا واحدا خير لك من حمر النعم
“ajaklah mereka kepada islam,dan kabarkan kepada mereka apa yang wajib atas mereka dari haq allah Ta’ala.Demi Allah ,sekiranya Allah memberikan hidayah kepada satu orang melalui kamu,itu jauh lebih baik dari onta merah.”
Muttafaq alaihi.
Ayat-ayat dan hadits yang semakna dengan ini sangat banyak.Hanya kepada Allah yang dimohon agar memberikan kepada kalian taufiq dan pertolongan atas setiap kebaikan.Dan menjadikan kami dan kalian termasuk diantara para pembimbing dan yang terbimbing,sesungguhnya Dia maha dermawan dan maha mulia.
وصلى الله وسلم على نبينا محمد ، وعلى آله وصحبه أجمعين .
(lihat fatwa beliau di alamat ini: http://www.bin-baz.org.sa/Display.asp?f=bz01660.htm. Dinukil dari www.sahab.net)

3. FATWA AL-ALLAMAH AL-MUHADDITS ASY-SYAIKH MUQBIL BIN HADI AL-WADI’I RAHIMAHULLAH
Tatkala ada seseorang yang bertanya kepada beliau:
أما الجمعيات الخيرية فهذا أمر مرغوب فيها,والله سبحانه وتعالى {وتعاونوا على البر والتقوى} وليس الخلاف بيننا وبينهم من أجل الجمعيات التي فيها الحث على بناء المساجد وكفالة اليتيم والمحاويج وفعل الخير فهذا أمر مرغوب فيه ,لكن جمعية العلامة ابن باز هل هي حزبية؟ وهل جمعية الشيخ ابن عثيمين حزبية,أم ليست حزبية؟ وهل دعت يوما من الدهر جمعية الشيخ ابن باز إلى الاحتفال بليلة الإسرء والمعراج؟ وهكذا الشيخ ابن عثيمين على أنها لا ينبغي أن تسمى جمعية فهي فعل خير,ويوضع مالها عند رجل صالح يضعه في مواضعه, أما الجمعية الحزبية فهذا الذي ينكر.
وهل جمعية الشيخ ابن باز فيها انتخابات وتصويتات؟ وهل إذا اختلفوا في أمر فالقول قول رئيس الجمعية؟ وهل فيها أنهم قاطعوا إخوانهم أهل السنة كما هو حال جمعية الحكمة,فلا يلبس على الناس, فنحن لا نقول: إن بناء المساجد والتعاون ليس بمشروع, ولا نقول: إن كفالة اليتيم لا تجوز, ولكن نقول : الحزبية التي فرقت المسلمين هي التي لا تجوز.
“mungkin ada yang berkata: mengapa jum’iyyah-jum’iyyah seperti jum’iyyah Al-Hikmah,Al-Ihsan,Albir wat-taqwa,Al-Ishlah,Ihya’ at-turats dan yang semisalnya yang dibantah.padahal disana ada beberapa jum’iyyah yang ada dikalangan para ulama ahlus sunnah seperti Ibnu Baaz dan yang lainnya?”
Maka beliau rahimahullah menjawab:
“adapun jum’iyyah-jum’iyyah adalah merupakan perkara yang dianjurkan padanya,Allah U berfirman:
ﯭ ﯮ ﯯ ﯰﯱ ﯲ ﯳ ﯴ ﯵ ﯶ المائدة: ٢
“dan tolong menolonglah diatas kebaikan dan taqwa dan jangan kalian tolong menolong diatas dosa dan permusuhan.”
Dan bukan perselisihan antara kami dan mereka disebabkan karena Jum’iyyah,yang didalamnya ada anjuran untuk membangun masjid-masjid,memelihara anak yatim dan orang-orang yang kekurangan,dan melakukan kebaikan, ini adalah perkara yang dianjurkan.akan tetapi apakah jum’iyyah Al-Allamah bin Baaz itu hizbiyyah? Apakah jum’iyyah Ibnu Utsaimin itu hizbiyyah? Ataukah bukan hizbiyyah? Apakah pernah satu hari jum’iyyah Syaikh Bin Baaz mengajak untuk perayaan malam isra’ dan mi’raj?, demikian pula Syaikh Ibnu Utsaimin.Meskipun itu tidak sepantasnya dinamakan jum’iyyah,sebab itu perbuatan kebaikan,dimana hartanya disimpan pada seseorang yang soleh yang dia letakkan pada tempatnya.Adapun jum’iyyah hizbiyyah,maka inilah yang diingkari.
Apakah jum’iyyah Syaikh Bin Baaz ada pemilihan dan memberi hak suara? Apakah disaat mereka berselisih dalam satu perkara,maka yang menjadi keputusan adalah ucapan pemimpin jum’iyyah? Apakah mereka memutuskan hubungan dengan ikhwan mereka ahlus sunnah seperti keadaan jum’iyyah Al-Hikmah.Maka jangan melakukan pengkaburan kepada manusia.Kami tidak mengatakan bahwa membangun masjid dan saling tolong menolong itu tidak disyari’atkan,dan kami tidak mengatakan bahwa menanggung anak yatim itu tidak diperbolehkan.Namun yang kami katakan: bahwa Al-hizbiyyah yang memecah belah kaum muslimin itu yang tidak boleh”.
(Qam’ul mu’anid:133.Lihat pula risalah: hukmul ulama,hal:29)


4. FATWA SYAIKH RABI’ BIN HADI AL-MADKHALI HAFIDZAHULLAH
Beliau ditanya dengan pertanyaan sebagai berikut:
السـؤال الثالث : هل تأسيس جمعية للدعوة للكتاب و السنة و الانتماء إليها من التحزب و التفرق؟
جواب الشيخ : أولا : تأسيس جمعية في هذا البلد لا يجوز لا جمعية و لا غيرها أبداً لأن الدولة مسلمة قائمة على كتاب الله و على رسول الله و تمثِّل هذا المنهج تعليماً و دعوة في المساجد و في الجامعات و المدارس و كل شيء، فهي تقوم بأمور الإسلام بحذافرها يتعاون معها العلماء، تعتمد العلماء في وضع المناهج، و هي تضع المال و تعتمد العلماء في اختيار المدرسين و الأئمة و ما شاكل ذلك، فهي قائمة بأمور الإسلام ، أوجد جمعية أو حزب هذا تفريق الأمة ينافي قول الله {و اعتصموا بحبل الله جميعاً و لا تفرقوا}( آل عمران :103) .تأتي إلى بلد يعني أخذ بالشعارات العلمانية، و أخذ بالقوانين الوضعية و تخلى عن الإسلام، بل قد يحارب الإسلام فإذا وجد جماعة أن يتجمعوا لنشر الإسلام و تعليمه و دعوة النَّاس إلى الحق يجتمعون و ينظمون أنفسهم ماليا و تعليما لا مانع، لا مانع من هذا ! كما لولا هذا عمله المسلمون في الهند و السلفيون في الهند لضاع الإسلام مائة في المائة! دولة كافرة علمانية تحارب الإسلام فقاموا و تجمعوا في شكل جمعيات تعترف بها الدولة ثم أنشأوا و مدارس، و المساجد، ألوف المدارس حمى الله بها الإسلام، و هذه ضرورة لابد منها أن يقوم المسلمون بمثل بهذا؛ لو العالم الإسلامي كله يجتمع على إمام واحد لما جاز أن تقوم جماعة واحدة واحدة، بارك الله فيكم! لكن العالم الإسلامي تمزق و كل دولة لها نظام فاسد إلا هذه الدولة قائمة على الكتاب و السنة . فعلى المسلمين في أي بلد لا يتبنى المنهج الإسلامي الحق أن يتبنوا الإسلام ثم ينشئون جمعية أو جمعيات وبنظِّمون تنظيماً صحيحاً يتمكنون من خلاله من نشر دعوة الله و تربية من يستطيعون من أبناء الأمة على هذا المنهج ” اهـ.
المصدر : شريط ” نَّصيحَةٌ صَّرِيحةٌ لِطُلاَّبِ الجَامِعَة الإسلاَميَّة “
Pertanyaan ketiga: apakah mendirikan jum’iyyah dalam rangka berdakwah kepada al-kitab dan as-sunnah dan menisbahkan diri kepadanya termasuk hizbiyyah dan memecah belah umat?
Jawaban Syaikh:
Pertama: mendirikan jum’iyyah di negeri ini (maksud beliau: Arab Saudi,pent) tidak boleh,tidak boleh membuat jum’iyyah dan tidak pula yang lainnya,sama sekali.Sebab negara ini adalah negara islam yang tegak diatas kitabullah dan sunnah Rasulullah r,manhaj negeri ini mewujudkan adanya ta’lim,dakwah di masjid-masjid,di universitas, sekolah-sekolah,dan pada setiap hal.dia tegak dengan urusan-urusan islam seluruhnya,dimana para ulama bekerjasama dengan mereka.Mereka bersandar kepada ulama dalam meletakkan manhaj-nya,dan mereka yang menyimpan harta.Mereka bersandar kepada ulama dalam memilih guru-guru, imam-imam (masjid) dan yang semisalnya,ia tegak dengan berbagai persoalan islam.Adanya dengan adanya jum’iyyah atau partai,akan menyebabkan perpecahan umat,dan ini bertentangan dengan firman Allah:
{و اعتصموا بحبل الله جميعاً و لا تفرقوا}( آل عمران :103)
“berpeganglah dengan tali Allah dan jangan kalian berpecah-belah”.
Engkau datang ke sebuah negeri yang menampakkan syi’ar sekularisme,berhukum dengan undang-undang buatan manusia,dan memisahkan diri dari islam,bahkan terkadang memerangi islam.maka jika ada sebuah perkumpulan dimana mereka berkumpul untuk menyebarkan islam dan mengajarkannya,dan mengajak manusia kepada kebenaran,mereka berkumpul dan mengatur diri mereka sendiri baik harta maupun pelajarannya,maka tidak terlarang,tidak terlarang hal ini! Sebagaimana kalau hal ini tidak dilakukan oleh kaum muslimin di India,dan salafiyyun di India, maka islam akan lenyap 100 persen!,negeri kafir yang sekuler,memerangi islam.Maka mereka tegak dan berkumpul dalam bentuk jum’iyyah-jum’iyyah yang dilegalisir oleh pemerintah,lalu dengannya mereka mendirikan sekolah-sekolah,masjid-masjid, ribuan sekolah yang dengannya Allah U menjaga islam.Maka ini perkara penting yang kaum muslimin harus menegakkan hal yang seperti ini.kalau seandainya dunia islam seluruhnya berkumpul diatas satu imam,maka tidak boleh ditegakkan satu jama’ah yang terpisah dari yang lain.Barakallahu fiikum!
Namun dunia islam telah terpisah-pisah,setiap negeri memiliki aturan yang rusak kecuali negeri ini yang tegak diatas al-kitab dan as-sunnah.Maka wajib bagi kaum muslimin di negeri manapun yang tidak menegakkan manhaj islam yang haq,agar hendaklah mereka menegakkan islam,lalu mendirikan satu jum’iyyah atau beberapa jum’iyyah,lalu mengaturnya dengan aturan yang benar,yang dengan itu memungkinkan bagi mereka menyebarkan dakwah Allah,dan mendidik siapa yang mereka mampu dari anak-anak umat ini diatas manhaj ini”.
(dari kaset: nashihatun sharihah li thullaab al-jami’ah al-islamiyyah,dinukil dari situs sahab,net).
Setelah menukilkan fatwa-fatwa yang sangat bermanfaat yang menunjukkan kematangan keilmuan dan kearifan para ‘ulama tersebut, penulis menutup risalah ini dengan beberapa kesimpulan penting, antara lain :
1. Dalam menghukumi suatu jum’iyyah atau yayasan, tidak boleh dihukumi secara mutlak, harus dilihat keadaan jum’iyyah tersebut. Jika terdapat praktek-praktek hizbiyyah dan sirriyyah atau melakukan perkara-perkara yang haram, maka jum’iyyah atau yayasan tersebut haram. Namun jika tidak terdapat penyelisihan terhadap syari’at bahkan justru terdapat maslahat besar dalam penyebaran Islam yang shahih yang dibangun di atas Al-Kitab dan As-Sunnah, maka hal tersebut diperbolehkan, bahkan dianjurkan.
2. Kedudukan jum’iyyah atau yayasan hanyalah sebagai wasilah/sarana dalam berdakwah
3. Ta’awun dalam perkara kebaikan merupakan tujuan dari syari’at. Jum’iyyah atau yayasan merupakan sarana ta’awun di antara ikhwan Ahlussunnah.
4. Menghukumi jum’iyyah atau yayasan yang dibangun di atas dasar Islam yang shahih (yang jauh dari hizbiyyah dan bid’ah) sebagai yayasan bid’ah, sesat dan haram berarti telah menyelisihi apa yang telah menjadi ketetapan para ulama
5. Di sebagian negara (termasuk Indonesia) tidak diperkenankan untuk membuat perkumpulan semacam ma’had, sekolah, tempat pendidikan kecuali harus memiliki payung untuk memberikan perlindungan kepada dakwah yang dijalankan.
Keterangan : jika ingin mengetahui tulisan lengkap dan fatwa ulama lainnya mengenai hukum yayasan silahkan download di : “Mendulang berkah dengan membuat yayasan salafiyyah yang berlandaskan tashfiyyah wat tarbiyyah. Tanpa dilumuri fikrah hizbiyyah dan meninggalkan gerakan sirriyah“

Senin, 20 Februari 2012

BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN XI ) KEDUSTAAN TUDUHAN : AL-ALBANY MENGKAFIRKAN AL-BUKHARI


Ahad, 20-September-2009
Penulis: Abu Utsman Kharisman

Pada salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah, terdapat tulisan berjudul: “AL-ALBANY MENGKAFIRKAN IMAM BUKHARY”. Berikut akan kami nukilkan tulisan dari blog tersebut. Kutipan di antara tanda “[[ .........]]”  adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah tersebut
BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (BAGIAN XI )

KEDUSTAAN TUDUHAN :
AL-ALBANY  MENGKAFIRKAN AL-BUKHARI


    Saudaraku kaum muslimin, semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa merahmati kita semua…
    Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany rahimahullah adalah salah seorang ulama’ Ahlussunnah. Beliau memiliki kapasitas keilmuan dalam ilmu hadits yang tidak diragukan lagi. Karya-karya beliau banyak dijadikan rujukan. Sebagai salah satu bentuk nikmat yang Allah berikan kepada kaum muslimin adalah hasil-hasil penelitian/ kajian beliau terhadap hadits-hadits Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam.
    Begitu bermanfaatnya tulisan-tulisan kajian hadits Syaikh alAlbaany tersebut, sampai-sampai Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i menyatakan: “Suatu perpustakaan (Islam) yang tidak memiliki karya Syaikh al-Albaany adalah perpustakaan yang miskin”. Karya tulis beliau memang benar-benar dijadikan referensi kaum muslimin. Baik Ahlussunnah yang mengambil faidah dari kajian ilmiyah tersebut, maupun musuh-musuh beliau yang dengki terhadap beliau, tidak sedikit yang juga menyimpan karya tulis beliau dalam bagian koleksi pribadinya, kemudian secara diam-diam menjadikannya sebagai salah satu rujukan.
    Para penentang dakwah Ahlussunnah menganggap Syaikh alAlbany sebagai Imam Salafy yang secara fanatik diikuti secara membabi buta. Padahal tidak demikian. Beliau adalah salah satu dari sekian banyak Ulama’ Ahlussunnah, yang semua Ulama’ tersebut diperlakukan sama oleh Ahlussunnah dalam hal: dihormati karena keilmuannya tanpa melampaui batas, diikuti nasehat dan bimbingannya selama sesuai dengan Sunnah Nabi, dan dijelaskan ketergelinciran atau kesalahan ijtihadnya –jika diperlukan- dalam beberapa hal dengan tetap memperhatikan adab dan mendoakan rahmat bagi beliau. Sebagai manusia, beliau tidaklah luput dari kesalahan. Sebagaimana ucapan Imam Malik:
كل أحد يؤخذ من قوله، ويترك، إلا صاحب هذا القبر صلى الله عليه وسلم
“Setiap orang ucapannya bisa diambil atau ditinggalkan, kecuali orang yang ada di dalam kubur ini (sambil mengisyaratkan pada kuburan Nabi) shollallaahu ‘alaihi wasallam (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ karya al-Hafidz Adz-Dzahaby juz 8 halaman 93).
    Ya, setiap orang selain Nabi Shollallaahu ‘alaihi wasallam tidaklah ma’shum (terjaga) dari kesalahan. Hanya Nabi Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam sajalah yang petunjuknya dalam masalah Dien tidak bisa tidak harus diikuti. Sabda beliau tidak bisa ditolak. Beda dengan manusia lain. Manusia lain, siapapun orangnya, setinggi apapun tingkat keilmuannya, ada kalanya benar, ada kalanya salah.
    Demikian juga Syaikh al-Albany. Ahlussunnah tidaklah fanatik secara membabi buta terhadap hasil telaah hadits yang beliau lakukan. Jika hasil penelitian Syaikh al-Albany terhadap suatu hadits ternyata bertentangan dengan kajian Ulama’ Ahlussunnah lain yang pendapatnya lebih kuat, ditopang hujjah yang lebih kokoh, maka pendapat Ulama’ Ahlussunnah itulah yang harus diikuti.
    Lajnah ad-Daimah pada saat masih diketuai Syaikh Bin Baz beberapa kali pernah menjadikan hasil penelitian Syaikh al-Albany sebagai rujukan. Silakan disimak tanya jawab berikut dalam Fatwa Lajnah ad-Daaimah:
س: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس... » إلخ، هل هو حديث أو من كلام عمر ؟
ج: رواه أبو نعيم في [الحلية] عن ابن عباس ، وقد ذكره السيوطي في الجامع الصغير بهذا اللفظ: « صنفان من الناس إذا صلحا صلح الناس وإذا فسدا فسد الناس: العلماء والأمراء » ورمز له السيوطي بالضعف، ونقل المناوي في شرحه [الجامع الصغير] عن الحافظ العراقي أنه ضعيف، وذكر أخونا العلامة الشيخ ناصر الدين الألباني في كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة] أنه موضوع؛ لأن في إسناده محمد بن زياد اليشكري ، وهو كذاب، قاله أحمد وابن معين .
اللجنة الدائمة للبحوث العلمية والإفتاء
Pertanyaan: “Ada 2 kelompok orang yang  jika mereka berdua baik, maka akan baiklah keadaan manusia…”. Apakah (lafadz) itu adalah hadits atau ucapan Umar?

Jawaban: (Ucapan) itu diriwayatkan oleh Abu Nu’aim dalam ‘al-Hilyah’ dari Ibnu Abbas. As-Suyuthy menyebutkannya dalam al-Jami’us Shaghir dengan lafadz: “ Dua kelompok orang yang jika baik keduanya, maka manusia akan baik, yaitu Ulama’ dan Umara’ (pemimpin)”. As-Suyuthy mengisyaratkan kelemahannya. Dan alMunawy menukil perkataan alHafidz al-‘Iraqy dalam Syarahnya terhadap alJami’us Shaghir bahwasanya itu lemah(dhaif). Dan saudara kita asy-Syaikh Nashiruddin al-Albaany dalam kitabnya Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah (menyatakan) bahwa itu palsu. Karena pada sanadnya terdapat Muhammad bin Ziyaad al-Yasykary, yang dia adalah pendusta, sebagaimana dikatakan oleh Ahmad dan(Yahya) Ibnu Ma’in. (Fatwa al-Lajnah adDaaimah juz 6 halaman 336).
    Demikian juga pada fatwa no 7586, ketika ada yang menanyakan derajat suatu hadits: “Allah mewahyukan kepada Dawud: Tidaklah hambaku menyandarkan diri padaKu…..”
alLajnah ad-Daaimah menyatakan:
الحديث الذي ذكرت: موضوع، كما ذكر الشيخ محمد ناصر الألباني ؛ لأن في سنده يوسف بن السفر ، وهو ممن يضع الأحاديث
“Hadits yang anda sebutkan adalah palsu, sebagaimana dinyatakan oleh asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albany, karena pada sanadnya ada Yusuf bin as-Safar, yang dia termasuk pemalsu hadits” (Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah juz 6 halaman 404).
    Ketika ada penanya yang menanyakan bagaimana dengan kitab ‘Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah’ karya Syaikh al-Albany, apakah bisa dijadikan rujukan? Lajnah ad-Daimah menjelaskan:
أما كتاب [سلسلة الأحاديث الضعيفة والموضوعة] فمؤلفه واسع الاطلاع في الحديث، قوي في نقدها والحكم عليها بالصحة أو الضعف، وقد يخطئ
“Sedangkan kitab Silsilah al-Ahaadits ad-Dhaifah wal maudlu’ah, penulisnya memiliki wawasan yang luas dalam ilmu hadits, kuat dalam hal mengkritik dan menentukan shahih atau lemahnya (hadits), (walaupun) kadang-kadang ia juga salah”(Fatwa al-Lajnah ad-Daaimah juz 6 halaman 404)
    Di lain kesempatan, Lajnah ad-Daimah juga berbeda pendapat dengan Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany ketika ada penanya yang menanyakan kedudukan hadits tentang sholat tasbih. Lajnah ad-Daimah cenderung pada pendapat bahwa hadits-hadits tentang itu tidak ada yang shahih, sedangkan Syaikh alAlbany cenderung pada pendapat Ulama sebelumnya yang menshahihkan salah satu riwayat (Fatwa al-Lajnah adDaimah juz 6 halaman 401). Hal itu menunjukkan keadilan sikap Ulama’ Ahlussunnah terhadap Ulama’ lainnya, mereka menghormatinya dan mencintainya karena Allah, kadangkala menukil ucapannya untuk menguatkan pendapat, namun mereka tidak pernah mengkultuskan dan menganggap bahwa orang itu tidak pernah salah sehingga semua ucapannya harus selalu diikuti.
    Di lain sisi, para penentang dakwah Ahlussunnah sangat membenci Syaikh alAlbany. Mereka berusaha menebarkan tuduhan-tuduhan dusta terhadap beliau. Di antaranya tuduhan bahwa Syaikh Muhammad Nashiruddin al-Albaany telah mengkafirkan Imam al-Bukhari.
    Pada salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah, terdapat tulisan berjudul: “AL-ALBANY MENGKAFIRKAN IMAM BUKHARY”. Berikut akan kami nukilkan tulisan dari blog tersebut. Kutipan di antara tanda “[[ .........]]”  adalah isi tulisan dari blog penentang Ahlussunnah tersebut.

[[

Antara Fatwanya lagi, mengingkari takwilan Imam Bukhari. Sesungguhnya Imam Bukhari telah mentakwilkan Firman Allah :
كل سيء هالك إلا وجهه
قال البخاري بعد هذه الأية : أي ملكه
Tetapi Al-Albaany mengkritik keras takwilan ini lalu berkata :
(( هذا لا يقوله مسلم مؤمن ))
” Ini sepatutnya tidak dituturkan oleh seorang Muslim yang beriman “. Lihatlah kitab (( Fatawa Al-Albaany )) m/s 523. Tentang takwilan Imam Bukhari ini adalah suatu yang diketahui ramai kerana jika dilihat pada naskhah yang ada pada hari ini tidak ada yang lain melainkan termaktub di sana takwilan Imam Bukhari terhadap ayat Mutasyabihat tadi. Di samping itu juga, ini adalah antara salah satu dalil konsep penakwilan nusush sudah pun wujud pada zaman salaf (pendetailan pada pegertian makna). Bagaimana Beliau berani melontarkan pengkafiran terhadap Imam Bukhary As-Salafi dan mendakwa Imam Bukhary tiada iman dalam masa yang sama beriya-riya mengaku dirinya sebagai Muhaddits??!! memalukan je..

]]

    Jika kita cermati, nukilan dari blog tersebut mengandung beberapa arti:
1.    Imam al-Bukhari dianggap telah melakukan takwil terhadap Sifat Allah Subhaanahu Wa Ta’ala, beliau menakwilkan ‘Wajah’ Allah pada Qur’an surat al-Qoshosh ayat 88 dengan ‘Kekuasaan’/ ‘milik’Nya.
2.    Syaikh Al-Albany dalam kitab ‘Fataawa al-Albaany’ dianggap telah mengkafirkan Imam Al-Bukhari karena telah menyatakan:

    هذا لا يقوله مسلم مؤمن

     “ Ini tidaklah (pantas) diucapkan seorang muslim yang beriman”

        Sehingga, secara garis besar bisa disimpulkan 2 pertanyaan mendasar, sekaligus syubhat yang perlu dijawab dan diluruskan. Benarkah Imam al-Bukhari telah mentakwilkan ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ? Kemudian, benarkah Syaikh al-Albany mengkafirkan Imam al-Bukhari? Berikut ini kami sebutkan masing-masing syubhat tersebut berikut bantahannya. Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala memberikan taufiqNya kepada kita semua…

Syubhat ke-1: Imam al-Bukhari telah Mentakwilkan ‘Wajah’ yang Merupakan Sifat Allah dengan ‘Kekuasaan’/’milik’. Itu Menunjukkan Imam al-Bukhari berpemahaman Al-‘Asyaairoh.

Bantahan:
        Al-Imam al-Bukhari memahami ‘Asma’ WasSifat Allah sesuai dengan pemahaman Salafus Sholih. Beliau tidaklah mentakwil dengan takwil yang batil. Mari kita simak penjelasan al-Imam al-Bukhari dalam Shahihnya:

{ كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } إِلَّا مُلْكَهُ وَيُقَالُ إِلَّا مَا أُرِيدَ بِهِ وَجْهُ اللَّهِ
“ { Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya} yaitu KekuasaanNya, dan dinyatakan juga : ‘kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah “ (Shahih al-Bukhari juz 14 halaman 437).
Ini adalah pernyataan beliau yang bisa didapati pada sebagian naskah Shahih al-Bukhari, dan pada naskah yang lain tidak ada. Pernyataan Imam al-Bukhari ini bisa dijelaskan dalam beberapa hal penting:

Pertama, Imam al-Bukhari menukilkan beberapa tafsiran yang masyhur terhadap ayat tersebut. Dalam hal ini beliau menyebutkan makna : “Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya, dalam 2 penafsiran :
a.    إلا ملكه  : kecuali ‘Kekuasaan’ / ‘milik’Nya.
b.    إلا ما أريد به وجه الله : kecuali segala yang diinginkan dengannya Wajah Allah. Artinya, segala sesuatu yang dilakukan ikhlas karena Allah.
Imam al-Bukhari menukilkan 2 penafsiran ini, namun sebenarnya beliau lebih cenderung memilih pendapat yang kedua. Maknanya, segala sesuatu akan binasa/lenyap kecuali amalan yang dilakukan ikhlas hanya untuk Allah.
Bagaimana kita bisa tahu bahwa Imam al-Bukhari lebih cenderung pada pendapat yang kedua, bukan yang pertama?
Mudah sekali. Hal itu dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya. Beliau menyatakan:

وقال مجاهد والثوري في قوله: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلا وَجْهَهُ } أي: إلا ما أريد به وجهه، وحكاه البخاري في صحيحه كالمقرر له
“ Mujahid dan ats-Tsaury berkata tentang firman Allah : ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali WajahNya’, yaitu: kecuali segala sesuatu yang diharapkan dengannya WajahNya. AlBukhari menghikayatkan dalam Shahihnya sebagai pendapatnya” (Lihat Tafsir Ibnu Katsir dalam menafsirkan Quran Surat al-Qoshosh ayat 88 juz 6 halaman 135 cetakan alMaktabah atTaufiqiyyah ta’liq dari Haani al-Haj).

Kedua, penukilan penafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’ / ‘milik’ Allah ini perlu ditinjau ulang.
AlHafidz Ibnu Hajar al-‘Asqolaany menjelaskan dalam Fathul Baari:

قَوْله : ( إِلَّا وَجْهه : إِلَّا مُلْكه ) فِي رِوَايَة النَّسَفِيِّ " وَقَالَ مَعْمَر " : فَذَكَرَهُ . وَمَعْمَر هَذَا هُوَ أَبُو عُبَيْدَة بْن الْمُثَنَّى ، وَهَذَا كَلَامه فِي كِتَابه " مَجَاز الْقُرْآن " لَكِنْ بِلَفْظِ " إِلَّا هُوَ " وَكَذَا نَقَلَهُ الطَّبَرِيُّ عَنْ بَعْض أَهْل الْعَرَبِيَّة ، وَكَذَا ذَكَرَهُ الْفَرَّاء

Ucapan al-Bukhari {kecuali WajahNya : kecuali Kekuasaan/milikNya} ada pada riwayat anNasafiy dengan menyatakan : ‘Ma’mar berkata….’kemudian disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ucapan tersebut terdapat dalam kitabnya “Majaazul Qur’aan”, akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Demikian juga dinukil oleh atThobary dari sebagian ahli bahasa Arab, dan disebutkan juga oleh al-Farra’ (Lihat Fathul Baari syarh Shahih alBukhari juz 13 halaman 292).
    Dari penjelasan alHafidz di atas bisa disimpulkan bahwa Imam alBukhari menukilkan tafsiran ‘Wajah’ Allah dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah berdasarkan riwayat anNasafiy dari perkataan Ma’mar. Namun, perkataan Ma’mar dalam kitabnya Majaazul Qur’an bukanlah menafsirkan kalimat ‘kecuali Wajah Allah’ dengan ‘kecuali Kekuasaan Allah’, tapi dengan ‘kecuali Dia’. Dari sini nampak jelas bahwa penukilan tafsir ‘Wajah Allah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ Allah sebagai ucapan Ma’mar adalah penukilan yang tidak benar.     Atas dasar inilah, maka Syaikh Muhammad Nashiruddin alAlbaany ketika ditanya tentang hal ini beliau meragukan tafsiran itu sebagai tafsiran dari Imam alBukhari sendiri, dan tidak mungkin Imam alBukhari menyatakan demikian (InsyaAllah nanti akan diperjelas pada bantahan syubhat ke-2).

Ketiga, Imam alBukhari menetapkan ‘Wajah’ Allah.
Tidak seperti al-‘Asya-iroh yang menakwilkan Sifat Allah dengan Sifat yang batil, Imam alBukhari menakwilkannya dengan takwilan yang benar.
Takwilan yang benar adalah takwilan yang merupakan penjelas dari maksud suatu kalimat. Penakwilan tersebut tidaklah keluar dari kaidah bahasa Arab. Sedangkan takwilan yang batil adalah penakwilan yang pada dasarnya mengingkari adanya Sifat itu, kemudian dia palingkan maknanya pada makna yang lain. Intinya, seseorang yang menakwil dengan takwil yang batil mengingkari makna hakiki dari Sifat tersebut. Dia tidak menolaknya secara terang-terangan seperti para Mu’aththilah (Jahmiyyah), namun dia palingkan maknanya kepada makna yang lain.
Sebagai contoh, takwilan yang batil adalah menakwilkan ‘Tangan’ Allah dengan ‘Kekuasaan’. Seseorang yang menakwilkan ini tidaklah menetapkan bahwa Allah memiliki Tangan. Padahal Ahlussunnah tidaklah menetapkan kecuali yang Allah tetapkan untuk dirinya sendiri, sesuai dengan Kesempurnaan Sifat yang ada pada Allah tanpa memalingkannya pada makna yang lain.
Imam al-Bukhari menetapkan Wajah Allah sesuai dengan Kesempurnaan Sifat Allah, tanpa beliau palingkan pada makna lain. Bagaimana kita tahu bahwa beliau menetapkan ‘Wajah’ bagi Allah? Bisa kita simak dalam kitab Shahih beliau sendiri pada bagian yang lain. Beliau menempatkan bab tersendiri dalam penafsiran ayat itu, kemudian menyebutkan riwayat hadits yang menjelaskan kandungan bab  itu sendiri.
Imam alBukhari menyatakan dalam kitab Shahihnya:

بَاب قَوْلِ اللَّهِ تَعَالَى { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ }
حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا حَمَّادُ بْنُ زَيْدٍ عَنْ عَمْرٍو عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ هَذِهِ الْآيَةُ { قُلْ هُوَ الْقَادِرُ عَلَى أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عَذَابًا مِنْ فَوْقِكُمْ } قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ فَقَالَ{ أَوْ مِنْ تَحْتِ أَرْجُلِكُمْ } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَعُوذُ بِوَجْهِكَ قَالَ { أَوْ يَلْبِسَكُمْ شِيَعًا } فَقَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هَذَا أَيْسَرُ

“Bab firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’
Telah memberitahukan kepada kami Qutaibah bin Sa’id (ia berkata) telah memberitahukan pada kami Hammad bin Zaid dari ‘Amr dari Jabir bin Abdillah beliau berkata: ketika turun ayat ini : ‘Katakan: Dialah (Allah) Yang mampu untuk mengirim adzab dari atas kalian’, Nabi shollallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah : ‘atau dari bawah kaki kalian’, Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘aku berlindung kepada WajahMu’, kemudian firman Allah: atau Dia mencampurkan kamu dalam golongan-golongan (yang saling bertentangan), Nabi shollallaahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Ini lebih ringan’(Lihat Shahih alBukhari juz 22 halaman 410). 
Telah dimaklumi di kalangan para Ulama’ Ahlul hadits bahwa pemilihan riwayat hadits dalam suatu bab merupakan representasi pemahaman Imam alBukhari terhadap makna yang ada pada bab tersebut. Ketika Imam alBukhari menyebutkan hadits perkataan/ doa Nabi: ‘Aku berlindung kepada WajahMu’, beliau tidaklah mentakwilkan ucapan Nabi tersebut pada makna-makna lain. Beliau sekedar menyebutkan riwayat itu saja. Ini menunjukkan bahwa Imam alBukhari menetapkan Sifat ‘Wajah’ bagi Allah tanpa mentahrif (memalingkan) pada makna yang lain.
Mungkin masih tersisa pertanyaan: ‘Jika benar Imam alBukhari memilih pendapat yang kedua dalam menafsirkan ayat itu, bukankah juga berarti beliau menakwilkan ayat tersebut. Kalimat: ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali Wajah Allah’ ditakwilkan sebagai ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali yang mengharapkan Wajah Allah’. Benar, itu adalah takwil yang beliau lakukan sebagaimana penakwilan atTsaury. Penakwilan tersebut tidaklah batil, karena memang dipahami dari ucapan lafadz Arab.
Al-Imam atThobary menyatakan dalam tafsir atThobary juz 19 halaman 643 bahwa penafsiran tersebut sesuai dengan perkataan syair:
أَسْتَغْفِرُ اللهَ ذَنْبًا لَسْتُ مُحْصِيهُ... رَبُّ العِبادِ إلَيْهِ الوَجْهُ والعَمَلُ
“Aku memohon ampun kepada Allah dari dosa yang aku tak mampu menghitungnya…
(Dialah) Rabb hamba-hamba, yang kepadaNya wajah (kehendak) dan amalan

Lafadz الوجه   (wajah) dalam kalimat syair tersebut berarti kehendak dan keinginan.
        Takwil yang demikian bukanlah takwil yang batil, karena merupakan salah satu penjelasan terhadap makna kalimat yang sesuai dengan konteks bahasa Arab yang biasa dipahami. Selain itu, penakwilan ini tidaklah menafikan penetapan ‘Wajah’ bagi Allah sesuai dengan Keagungan, Kemulyaan, dan Kesempurnaan Allah, yang tidak sama dengan makhlukNya, dan tidak diketahui kaifiyatnya kecuali Allah.

Syubhat ke-2: Syaikh alAlbany Mengkafirkan Imam alBukhari
Bantahan:
        Ini adalah kedustaan yang besar. Syaikh alAlbany tidaklah mengkafirkan Imam alBukhari. Jika yang dimaksud adalah ucapan Syaikh alAlbany dalam Fataawa alAlbaany, maka mari kita simak nukilan percakapan tanya jawab tersebut:

السؤال
لي عدة أسئلة، ولكن قبل أن أبدأ أقول: أنا غفلت بالأمس عن ذكر هذه المسألة، وهي عندما قلت: إن الإمام البخاري ترجم في صحيحه في معنى قوله تعالى: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88] قال: إلا ملكه.
صراحة أنا نقلت هذا الكلام عن كتاب اسمه: دراسة تحليلية لعقيدة ابن حجر ، كتبه أحمد عصام الكاتب ، وكنت معتقداً أن نقل هذا الرجل إن شاء الله صحيح، ولازلت أقول: يمكن أن يكون نقله صحيحاً، ولكن أقرأ عليك كلامه في هذا الكتاب.

إذ يقول: قد تقدم ترجمة البخاري لسورة القصص في قوله تعالى: { كُلُّ شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ } [القصص:88]، أي: إلا ملكه، ويقال: (إلا) ما أريد به وجه الله، وقوله: إلا ملكه، قال الحافظ في رواية النسفي وقال معمر فذكره، و معمر هذا هو أبو عبيدة بن المثنى ، وهذا كلامه في كتابه مجاز القرآن ، لكن بلفظ (إلا هو)، فأنا رجعت اليوم إلى الفتح نفسه فلم أجد ترجمة للبخاري بهذا الشيء، ورجعت لـ صحيح البخاري دون الفتح ، فلم أجد هذا الكلام للإمام البخاري ، ولكنه هنا كأنه يشير إلى أن هذا الشيء موجود برواية النسفي عن الإمام البخاري ، فما جوابكم؟
الجواب
جوابي تقدم سلفاً.
السائل: أنا أردت أن أبين هذا مخافة أن أقع في كلام على الإمام البخاري .
الشيخ: أنت سمعت مني التشكيك في أن يقول البخاري هذه الكلمة؛ لأن تفسير قوله تعالى: { وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلالِ وَالْأِكْرَامِ } [الرحمن:27] أي: ملكه، يا أخي! هذا لا يقوله مسلم مؤمن، وقلت أيضاً: إن كان هذا موجوداً فقد يكون في بعض النسخ، فإذاً الجواب تقدم سلفاً، وأنت جزاك الله خيراً الآن بهذا الكلام الذي ذكرته تؤكد أنه ليس في البخاري مثل هذا التأويل الذي هو عين التعطيل
.
السائل: يا شيخنا! على هذا كأن مثل هذا القول موجود في الفتح ، وأنا أذكر أني مرة راجعت هذه العبارة باستدلال أحدهم، فكأني وجدت مثل نوع هذا الاستدلال، أي: أنه موجود وهو في بعض النسخ، لكن أنا قلت له: إنه لا يوجد إلا الله عز وجل، وإلا مخلوقات الله عز وجل، ولا شيء غيرها، فإذا كان كل شيء هالك إلا وجهه، أي: إلا ملكه، إذاً ما هو الشيء الهالك؟!! الشيخ: هذا يا أخي! لا يحتاج إلى تدليل على بطلانه، لكن المهم أن ننزه الإمام البخاري عن أن يؤول هذه الآية وهو إمام في الحديث وفي الصفات، وهو سلفي العقيدة  والحمد لله



Pertanyaan:’Saya memiliki beberapa pertanyaan, akan tetapi sebelum saya mulai, saya katakan: Saya lupa kemarin untuk menyebutkan masalah ini, yaitu: Sesungguhnya al-Imam alBukhari menjelaskan dalam Shahihnya tentang firman Allah Ta’ala:’ Segala sesuatu binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh: 88), beliau berkata: ‘kecuali kekuasaan/milikNya’. ‘Secara jelas saya menukil ucapan ini dari kitab yang berjudul: ‘Diraasah Tahliiliyah li ‘aqiidati Ibni Hajar’, ditulis oleh Ahmad ‘Ishaam al-Kaatib. Dan saya yakin bahwa nukilan penulis ini Insya Allah benar. Aku terus menerus berkata: mungkin nukilannya benar. Akan tetapi saya bacakan di hadapan anda ucapan beliau di dalam kitab ini.

Telah berlalu penjelasan alBukhari dalam surat alQoshosh tentang firman Allah Ta’ala : ‘Segala sesuatu akan binasa kecuali WajahNya’ (Q.S alQoshosh:88): Segala yang diharapkan dengannya Wajah Allah. Dan ucapan beliau: ‘Kecuali kekuasaanNya/ milikNya. AlHafidz Ibnu Hajar berkata dalam riwayat anNasafiy dan berkata Ma’mar, kemudian disebutkan ucapan tersebut. Ma’mar ini adalah Abu Ubaidah bin alMutsanna. Ini adalah ucapannya dalam kitabnya Majaazul Qur’an. Akan tetapi dengan lafadz ‘kecuali Dia’. Aku pada hari ini berusaha melihat kembalai Fathul Baari tetapi tidak aku temui penjelasan alBukhari tentang itu. Kemudian aku juga melihat kembali kitab Shahih alBukhari yang tanpa syarh Fathul Baari, aku juga tidak mendapati ucapan ini dari alBukhari. Akan tetapi, seakan-akan itu mengisyaratkan bahwa kalimat itu ada pada riwayat anNasafiy dari al-Imam al-Bukhari. Bagaimana jawaban anda?

Jawaban: “Jawaban saya adalah seperti yang tersebutkan lalu”.
Penanya bertanya lagi: “Saya ingin menjelaskan ini karena khawatir terjatuh dalam kesalahan terhadap ucapan al-Imam al-Bukhari.
Syaikh alBany berkata lagi: Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut. Karena sesungguhnya tafsir firman Allah Ta’ala: ‘Dan tetap kekal Dzat Tuhanmu yang mempunyai kebesaran dan kemuliaan’ (ArRahman:27), (Wajah) yaitu Kekuasaan/MilikNya. Wahai saudaraku, ucapan ini tidak sepantasnya diucapkan seorang muslim yang beriman. Aku juga katakan bahwa: Jika (perkataan) tersebut ada, mungkin terdapat pada sebagian naskah. Kalau demikian, maka jawabannya adalah pada yang telah lalu. Kepada anda, Jazaakallah khairan (semoga Allah membalas anda dengan kebaikan), sekarang dengan ucapan yang telah anda sebutkan itu memperjelas bahwa tidak ada dalam alBukhari semisal takwil tersebut yang merupakan bentuk peniadaan.
Penanya bertanya lagi: Wahai Syaikh kami, sepertinya ucapan semacam ini terdapat dalam Fathul Baari. Saya telah menyebutkan bahwa saya berkali-kali mengecek kembali kalimat ini dengan pendalilan salah satu dari mereka. Sepertinya saya menemukan sebagian bentuk pendalilan ini, bahwasanya itu terdapat dalam sebagian naskah. Akan tetapi saya katakan kepadanya: Sesungguhnya tidak ada kecuali Allah dan kecuali makhluk-makhluk Allah. Tidak ada selain keduanya. Jika tidak ada yang binasa kecuali WajahNya artinya miliknya, maka apa lagi yang binasa?
Syaikh alAlbany berkata: ‘ Wahai saudaraku, ini tidak membutuhkan lagi dalil untuk menunjukkan kebatilannya. Akan tetapi yang penting adalah membersihkan persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu), dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya, alhamdulillah (Fataawa alAlbaany halaman 522-523).
    Saudaraku kaum muslimin….
    Kalau dialog tanya jawab dengan Syaikh alAlbaany tersebut kita baca dengan baik niscaya kita akan dengan mudah memahami bahwa sungguh dusta tuduhan tersebut. Sama sekali Syaikh alAlbany tidak mengkafirkan Imam alBukhari.
    Ada seorang penanya yang dalam suatu kesempatan menanyakan kepada Syaikh AlBany, apakah benar Imam alBukhary telah menakwilkan ‘Wajah Allah’ dengan ‘Kekuasaan/’Milik’Nya. Awalnya Syaikh tidaklah menanggapi terlalu banyak. Cukuplah penjelasan dalam pertemuan-pertemuan majelis beliau sebelumnya bahwa Imam alBukhari menafsirkan surat alQoshosh ayat 88, dengan ‘Segala sesuatu akan binasa, kecuali yang diharapkan dengannya Wajah Allah’. Penjelasan Syaikh alAlbany ini sama dengan ucapan Ibnu Katsir dalam tafsirnya yang menukil juga pendapat Imam alBukhari (telah kami sebutkan di atas).
    Penanya tersebut mengatakan sendiri bahwa ia telah berulang kali berusaha cross check ulang pada naskah Shahih alBukhari yang ada pada dirinya, namun ia tidak mendapati perkataan Imam alBukhari yang menakwilkan demikian. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran ‘Wajah’ dengan ‘Kekuasaan’/’Milik’ ada pada sebagian naskah (manuskrip), dan penukilan pada naskah tersebut tidak benar, sebagaimana dijelaskan oleh alHafidz Ibnu Hajar bahwa kalau yang dimaksud adalah ucapan Ma’mar maka seharusnya penafsirannya adalah : ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali Dia’.
    Penanya juga dapat menarik kesimpulan sendiri bahwa penafsiran tersebut terlihat tidak benar. Kalau diartikan bahwa ‘segala sesuatu akan binasa, kecuali milik Allah’, maka berarti tidak akan ada yang binasa. Karena yang ada hanyalah Allah dan makhlukNya, sedangkan makhluk Allah adalah milik Allah. Itulah yang dimaksud dengan ucapan Syaikh alAlbany bahwa tidak mungkin seorang muslim yang beriman akan mengucapkan demikian, karena berarti dia akan berkeyakinan bahwa semua akan kekal. 
    Di sini nampak jelas kedustaan tuduhan itu, karena sama sekali Syaikh alAlbany tidak menyatakan bahwa Imam alBukhari adalah bukan seorang muslim dan mukmin, justru Syaikh meragukan kalimat itu sebagai ucapan Imam al-Bukhari. Syaikh menyatakan:  “Anda telah mendengar dari saya keraguan bahwa alBukhari mengucapkan kalimat tersebut”…kemudian beliau juga menyatakan: …”Akan tetapi yang penting adalah membersihkan persangkaan bahwa al-Imam alBukhari telah menakwilkan ayat (seperti itu)”.
    Kemudian, sebagai bantahan telak bahwa Syaikh alAlbany sama sekali tidak mengkafirkan Imam alBukhari, bahkan justru memujinya sebagai salah seorang Imam kaum muslimin, di akhir dialog Syaikh alAlbany menyatakan: “…dalam keadaan beliau adalah Imam dalam masalah hadits dan Sifat Allah. Beliau adalah seorang Salafy dalam aqidahnya, Alhamdulillah”.
Sedemikian jelasnya masalah ini jika dipandang secara adil. Namun, musuh dakwah Ahlussunnah bersikap tidak amanah, dan memang yang dicarinya adalah fitnah untuk menjauhkan Ulama’ Ahlussunnah dari kaum muslimin.
    Kami menasehatkan pengelola blog tersebut ataupun seluruh situs/blog yang banyak menukil tulisan tersebut untuk bertaubat kepada Allah Subhaanahu Wa Ta’ala karena mereka telah menyebarkan tuduhan dusta di tengah kaum muslimin. Jika kepada sesama muslim yang awam saja merupakan dosa besar jika kita memberikan tuduhan yang keji padanya, maka bagaimana jika tuduhan itu disematkan kepada seorang Ulama’ Ahlussunnah.

وَالَّذِينَ يُؤْذُونَ الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ بِغَيْرِ مَا اكْتَسَبُوا فَقَدِ احْتَمَلُوا بُهْتَانًا وَإِثْمًا مُبِينًا
“Dan orang-orang yang menyakiti orang-orang yang mukmin dan mukminat tanpa kesalahan yang mereka perbuat, maka sesungguhnya mereka telah memikul kebohongan dan dosa yang nyata” (Q.S al-Ahzaab: 58).

Semoga Allah Subhaanahu Wa Ta’ala senantiasa memberikan hidayahNya kepada kita semua…

Ditulis Oleh Abu Utsman Kharisman untuk Situs Darussalaf.or.id

Bantahan Terhadap Situs Dan Blog Penentang Manhaj Salafy Ahlussunnah (bag Iii) , Aqidah Asma, Abu Utsman Kharisman


Pada bagian ke-3 ini, akan dijelaskan tentang ‘aqidah Asma’ Was Shifat Ibnu Katsir ( Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir alQurasyi adDimasyqi) – salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- dalam kitab tafsirnya : Tafsir al-Qur’aanil ‘Adzhiim yang dikenal luas dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir. Sesungguhnya Ibnu Katsir memiliki pemahaman yang sama dengan gurunya, Ibnu Taimiyyah tentang Asma’ Was Sifat Allah. Pemahaman tersebut bukanlah pemahaman baru. Namun, pemahaman yang sama dengan aqidah Ahlussunnah dari sejak para Sahabat Nabi, tabi’in, dan seterusnya diwariskan oleh para Imam Ahlussunnah.
AQIDAH ASMA’ WASSHIFAT ALLAH YANG DIANUT
IBNU KATSIR DALAM TAFSIRNYA
(BANTAHAN TERHADAP SITUS DAN BLOG PENENTANG MANHAJ SALAFY AHLUSSUNNAH (bagian ke-3)) Alhamdulillah, segala puji bagi Allah yang telah memberikan petunjuk kepada hamba-Nya. Semoga sholawat dan salam senantiasa tercurah pada teladan yang mulya, manusia terbaik, Rasulullah Muhammad shollallaahu ‘alaihi wasallam….
Pada bagian ke-3 ini, akan dijelaskan tentang ‘aqidah Asma’ Was Shifat Ibnu Katsir ( Abul Fida’ Isma’il bin ‘Umar bin Katsir alQurasyi adDimasyqi) – salah seorang murid Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah- dalam kitab tafsirnya : Tafsir al-Qur’aanil ‘Adzhiim yang dikenal luas dengan sebutan Tafsir Ibnu Katsir. Sesungguhnya Ibnu Katsir memiliki pemahaman yang sama dengan gurunya, Ibnu Taimiyyah tentang Asma’ Was Sifat Allah. Pemahaman tersebut bukanlah pemahaman baru. Namun, pemahaman yang sama dengan aqidah Ahlussunnah dari sejak para Sahabat Nabi, tabi’in, dan seterusnya diwariskan oleh para Imam Ahlussunnah.
Syubhat Terdapat dalam salah satu blog penentang dakwah Ahlussunnah suatu tulisan sebagai berikut :
[[ Aqidah Ibnu Katsir tidak sama dengan Ibnu Taimiyyah Dan Ibnu Qayyim
lihat Dalam Tafsir Ibnu Katsir dan kitab Lainnya :
Sekarang akan disebutkan sebahagian penafsiran lafaz istawa dalam surah ar Ra’d:
1- Tafsir Ibnu Katsir:
(ثم استوى على العرش ) telah dijelaskan maknanya sepertimana pada tafsirnya surah al Araf, sesungguhnya ia ditafsirkan tanpa kaifiat (bentuk) dan penyamaan
Disini Ibnu Katsir mengunakan ta’wil ijtimalliy yaitu ta’wilan yang dilakukan secara umum dengan menafikan makna zahir nas al-Mutasyabihat tanpa diperincikan maknanya. sebenarnya memahami makna istiwa ini sebenarnya ]] Bantahan Tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat Al-A’raaf ayat 54 Benarkah aqidah Ibnu Katsir tidak sama dengan Ibnu Taimiyyah? Mari kita kaji tulisan Ibnu Katsir dalam tafsirnya tersebut. Ketika menafsirkan AlQur’an surat al-A’raaf ayat 54, akan terlihat jelas bagaimana pemahaman beliau tersebut. Beliau menyatakan :
وأما قوله تعالى: { ثُمَّ اسْتَوَى عَلَى الْعَرْشِ } فللناس في هذا المقام مقالات كثيرة جدا، ليس هذا موضع بسطها، وإنما يُسلك في هذا المقام مذهب السلف الصالح: مالك، والأوزاعي، والثوري، والليث بن سعد، والشافعي، وأحمد بن حنبل، وإسحاق بن راهويه وغيرهم، من أئمة المسلمين قديما وحديثا، وهو إمرارها كما جاءت من غير تكييف ولا تشبيه ولا تعطيل. والظاهر المتبادر إلى أذهان المشبهين منفي عن الله، فإن الله لا يشبهه شيء من خلقه، و { لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ } [ الشورى:11 ] بل الأمر كما قال الأئمة -منهم نُعَيْم بن حماد الخزاعي شيخ البخاري -: “من شبه الله بخلقه فقد كفر، ومن جحد ما وصف الله به نفسه فقد كفر”. وليس فيما وصف الله به نفسه ولا رسوله تشبيه، فمن أثبت لله تعالى ما وردت به الآيات الصريحة والأخبار الصحيحة، على الوجه الذي يليق بجلال الله تعالى، ونفى عن الله تعالى النقائص، فقد سلك سبيل
” Adapun makna firman Allah Ta'ala : (yang artinya) : 'Kemudian Dia (Allah) beristiwaa' di atas 'Arsy'. Maka manusia dalam hal ini terbagi dalam (perbedaan) pendapat yang sangat banyak. Bukanlah di sini tempat menjabarkannya. Sesungguhnya (jalan yang seharusnya ditempuh) adalah madzhab as-Salafus Sholih : Maalik, al-'Auzaa-i, ats-Tsauri, al-Laits bin Sa'ad, asy-Syaafi'i, Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Raahuyah, dan yang selain mereka dari para Imam kaum muslimin baik yang terdahulu maupun yang sekarang, yaitu : menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menetukan/menanyakan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil). Pemikiran yang tergambar dalam benak orang-orang yang menyerupakan Allah (dengan makhluk) ditiadakan dari Allah. Karena sesungguhnya tidak ada suatu makhlukpun yang serupa dengan Allah, dan : { Tidak ada sesuatupun yang sama dengan Allah, dan Dialah (Allah) Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Q. S Asy-Syuura:11) }. Bahkan, seperti yang diucapkan oleh para Imam, diantaranya Nu'aim bin Hammad -salah seorang guru Imam al-Bukhari- berkata : “Barangsiapa yang menyerupakan Allah dengan makhluq-Nya maka dia telah kafir, barangsiapa yang mengingkari segala yang telah Allah Sifatkan untuk diri-Nya maka dia kafir”, dan segala yang telah Allah Sifatkan diriNya maupun yang disifatkan oleh Rasulullah (untuk Allah) bukanlah penyerupaan (tasybih), barangsiapa yang menetapkan untuk Allah Ta'ala berdasarkan ayat – ayat yang jelas dan khabar-khabar (hadits) yang shohih, sesuai dengan Keagungan Allah Ta'ala, dan meniadakan kekurangan dari-Nya, maka dia telah menempuh jalan petunjuk”
(Lihat Tafsir Ibnu Katsir juz 3 hal 426).
Dari penjelasan Ibnu Katsir tersebut jelaslah bahwa :
1. ‘Aqidah Ibnu Katsir sama dengan aqidah Ibnu Taimiyyah. 
Dalam menafsirkan ayat tersebut Ibnu Katsir menyatakan bahwa Aqidah Salafus Sholeh (yang seharusnya diikuti) dalam Asma’ WasSifat Allah adalah :
menetapkannya sebagaimana adanya, tanpa takyiif (menanyakan/menentukan kaifiyyatnya), tidak menyerupakan, dan tidak pula menolak (ta’thiil)
sedangkan Ibnu Taimiyyah menyatakan dalam kitab arRisaalah atTadmuriyah halaman 4:
فالأصل في هذا الباب أن يوصف الله بما وصف به نفسه، وبما وصفته به رسله، نفيا وإثباتا، فيثبت لله ما أثبته لنفسه، وينفي عنه ما نفاه عن نفسه وقد علم أن طريقة سلف الأمة وأئمتها إثبات ما أثبته من الصفات من غير تكييف ولا تمثيل ومن غير تحريف ولا تعطيل وكذلك ينفون عنه ما نفاه عن نفسه
” Landasan utama dalam pembahasan ini adalah mensifatkan Allah sesuai dengan yang Allah sifatkan Dirinya dengan Sifat tersebut, dan dengan yang disifatkan oleh Rasul-Nya, baik dalam bentuk peniadaan ataupun penetapan. Maka ditetapkan untuk Allah sesuatu yang Allah tetapkan untuk DiriNya, dan meniadakan dari Allah sesuatu yang Allah tiadakan dari DiriNya. Telah diketahui bahwa metode Salaful Ummah dan para Imamnya adalah menetapkan apa yang Allah tetapkan, tanpa takyiif, tidak pula tamtsiil, tanpa tahriif (menyimpangkan lafadz/maknanya), dan tidak pula menolak (ta’thiil). Demikian juga (para Imam tersebut) meniadakan apa yang Allah tiadakan terhadap DiriNya”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah juga menyatakan dalam kitab al-Fatwa al-Hamawiyyah al-Kubro halaman 16 :
ومذهب السلف: أنهم يصفون الله بما وصف به نفسه وبما وصفه به رسوله من غير تحريف ولا تعطيل ومن غير تكييف ولا تمثيل
” dan madzhab Salaf bahwasanya mereka mensifatkan Allah dengan apa yang Allah Sifatkan Dirinya, dan dengan apa yang RasulNya sifatkan tanpa tahrif (menyimpangkan lafadz/makna), tidak pula menolak, tanpa takyiif, dan tidak pula menyerupakan (dengan makhluk).
Pernyataan Ibnu Taimiyyah semacam ini bisa dilihat dalam kitab-kitab beliau yang lain semisal al-Aqiidah al-Wasithiyyah, Minhaajus Sunnah anNabawiyyah juz 3 halaman 129, Bayaanu Talbiis al-Jahmiyyah juz 2 halaman 40.
2. Aqidah Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Katsir tersebut adalah aqidah para Ulama’ Salaf.
Dalam penjelasan surat Al A’raaf ayat 54 tersebut, Ibnu Katsir menyatakan beberapa contoh Ulama’ terdahulu yang dijadikan sebagai rujukan, di antaranya :Imam Malik dan Ishaq bin Raahuyah. Kita akan lihat bagaimana penjelasan Imam Maalik dan Ishaq bin Raahuyah tersebut. 
Imam Maalik menyatakan :
الإستواء معلوم والكيف مجهول والايمان به واجب والسؤال عنه بدعة
“al-Istiwaa’ sudah diketahui (dipahami maknanya secara bahasa Arab), kaifiyatnya tidak diketahui, beriman terhadapnya adalah wajib, dan menanyakan tentang kaifiyatnya adalah bid’ah (Lihat Tadzkirotul Huffadz juz 1 halaman 209).
Ishaaq bin Raahuyah (dikenal juga sebagai Ishaaq bin Ibrahim) –salah seorang guru Imam al-Bukhari- menyatakan :
إِنَّمَا يَكُونُ التَّشْبِيهُ إِذَا قَالَ يَدٌ كَيَدٍ أَوْ مِثْلُ يَدٍ أَوْ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَإِذَا قَالَ سَمْعٌ كَسَمْعٍ أَوْ مِثْلُ سَمْعٍ فَهَذَا التَّشْبِيهُ وَأَمَّا إِذَا قَالَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى يَدٌ وَسَمْعٌ وَبَصَرٌ وَلَا يَقُولُ كَيْفَ وَلَا يَقُولُ مِثْلُ سَمْعٍ وَلَا كَسَمْعٍ فَهَذَا لَا يَكُونُ تَشْبِيهًا وَهُوَ كَمَا قَالَ اللَّهُ تَعَالَى فِي كِتَابهِ
{ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ }
“Hanyalah dikatakan sebagai sikap penyerupaan (Allah dengan makhluk,pent) adalah jika seseorang menyatakan tangan (Allah) bagaikan tangan (makhluk), atau seperti tangan (makhluk), pendengaran (Allah) seperti (pendengaran) makhluk. Jika menyatakan bahwa pendengaran (Allah) seperti pendengaran (makhluk), maka itu adalah sikap penyerupaan. Adapun jika seseorang berkata sebagaimana perkataan Allah : Tangan, Pendengaran, Penglihatan, dan tidak menyatakan ‘bagaimana’ (kaifiyatnya), dan tidak mengatakan seperti pendengaran (makhluk), maka yang demikian ini bukanlah penyerupaan. Yang demikian ini adalah sebagaimana yang Allah nyatakan dalam KitabNya :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada yang semisal denganNya suatu apapun, dan Dia adalah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat” (Lihat Sunan AtTirmidzi bab Maa Jaa-a fi fadhli as-Shodaqoh juz 3 halaman 71). Tafsir Ibnu Katsir terhadap Surat AlBaqoroh ayat 210
هَلْ يَنْظُرُونَ إِلَّا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلَائِكَةُ وَقُضِيَ الْأَمْرُ وَإِلَى اللَّهِ تُرْجَعُ الْأُمُورُ
“Tiada yang mereka nanti-nantikan melainkan datangnya Allah dan malaikat (pada hari kiamat) dalam naungan awan, dan diputuskanlah perkaranya. Dan hanya kepada Allah dikembalikan segala urusan”(Q. S al-Baqoroh:210). Al-Hafidz Ibnu Katsir menyebutkan dalam tafsirnya :
وقال أبو جعفر الرازي، عن الربيع بن أنس، عن أبي العالية: { هَلْ يَنْظُرُونَ إِلا أَنْ يَأْتِيَهُمُ اللَّهُ فِي ظُلَلٍ مِنَ الْغَمَامِ وَالْمَلائِكَةُ } يقول: والملائكة يجيئون في ظلل من الغمام، والله تعالى يجيء فيما يشاء
” dan berkata Abu Ja’far arRaazi dari arRabii’ bin Anas dari Abul ‘Aliyah : ( Q. S al-Baqoroh : 210 tsb) ” dan para Malaikat datang dalam naungan awan, dan Allah Ta’ala datang sesuai dengan kehendakNya”
Di dalam tafsir ayat tersebut Ibnu Katsir menukil pendapat Abul ‘Aliyah. Abul ‘Aliyah (nama aslinya adalah Rufai’ bin Mihran) adalah seorang Tabi’in murid dari beberapa Sahabat Nabi di antaranya : Umar bin alKhottob, Ali bin Abi Tholib, Ubay bin Ka’ab, Abu Dzar al-Ghiffary, Ibnu Mas’ud, ‘Aisyah, Abu Musa, Abu Ayyub, Ibnu Abbas, dan Zaid bin Tsabit (Lihat Siyaar A’laamin Nubalaa’ juz 4 halaman 207). Perhatikanlah bahwa Abul ‘Aliyah menetapkan sifat ‘datang’ bagi Allah pada hari kiamat nanti sebagaimana yang Allah tetapkan dalam ayatNya tersebut tanpa melakukan tahrif (memalingkan) makna atau lafadznya seperti yang dilakukan golongan al-Asya-iroh (Asy-‘ariyyah). Pendapat Abul ‘Aliyah inilah yang dinukil oleh Ibnu Katsir dalam tafsirnya sekaligus sebagai pemahaman beliau terhadap Asma’ WasSifat Allah. Tafsir Ibnu Katsir Surat ArRahmaan ayat 26-27
كُلُّ مَنْ عَلَيْهَا فَانٍ (26) وَيَبْقَى وَجْهُ رَبِّكَ ذُو الْجَلَالِ وَالْإِكْرَامِ (27)
Ibnu Katsir menyatakan :
وقد نعت تعالى وجهه الكريم في هذه الآية الكريمة بأنه ذُو الْجَلالِ وَالإكْرَامِ
” dan sungguh Allah Ta’ala telah mensifatkan WajahNya Yang Mulya di dalam ayat yang mulya ini sebagai ‘yang memiliki keagungan dan kemulyaan’
Di dalam tafsirnya tentang ayat ini Ibnu Katsir telah menetapkan Wajah bagi Allah, karena memang Allah sendiri yang menetapkannya dalam AlQur’an. Beliau tidak menolak, memalingkan maknanya, melakukan takyiif (menentukan/menayakan kaifiyatnya), ataupun menyamakannya dengan makhluk. Tafsir Ibnu Katsir Surat al-Fajr ayat 22
وَجَاءَ رَبُّكَ وَالْمَلَكُ صَفًّا صَفًّا (الفجر:22)
” dan datanglah TuhanMu sedang malaikat berbaris-baris”
Ibnu Katsir menyatakan :
وَجَاءَ رَبُّكَ يعني: لفصل القضاء بين خلقه
” dan datanglah Tuhanmu, yaitu : untuk mengadili para makhlukNya”
Dalam tafsir ayat ini Ibnu Katsir menjelaskan bahwa Allah datang secara hakikat. Beliau tidak melakukan tahrif, tidak pula takyiif, ta’thiil, dan tasybiih. Tafsir Ibnu Katsir Surat AdzDzaariyaat ayat 47
Sebagian orang menganggap Ibnu Katsir berpemahaman Asy’ariyyah karena menafsirkan ayat ini berdasarkan penjelasan Sahabat Nabi Ibnu Abbas. Dalam ayat ini Allah berfirman :
وَالسَّمَاءَ بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ وَإِنَّا لَمُوسِعُونَ
“Dan langit itu Kami bangun dengan kekuatan dan sesungguhnya Kami benar-benar memperluasnya”
Ibnu Katsir menyatakan di dalam tafsirnya bahwa makna بِأَيْدٍ artinya adalah ‘dengan kekuatan’ sebagaimana perkataan Ibnu Abbas, Mujahid, Qotadah, atsTsaury dan selainnya.
Penafsiran ini dianggap sebagai pembenaran terhadap metode al-Asyaa-iroh (Asy’ariyyah) yang mentakwil ayat-ayat tentang Sifat Allah. Mereka menganggap kata بِأَيْدٍ adalah bentuk jamak dari kata يَدٌ yang berarti ‘tangan’. Padahal persangkaan itu adalah keliru.
Syaikh AsySyinqithy menjelaskan di dalam kitab tafsirnya Adl-waaul Bayaan:
قوله تعالى في هذه الآية الكريمة { بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } ، ليس من آيات الصفات المعروفة بهذا الاسم ، لأن قوله { بِأَيْدٍ } ليس جمع يد : وإنما الأيد القوة ، فوزن قوله هنا بأيد فعل ، ووزن الأيدي أفعل ، فالهمزة في قوله { بأَيْدٍ } في مكان الفاء والياء في مكان العين ، والدال في مكان اللام . ولو كان قوله تعالى : { بأَيْدٍ } جمع يد لكان وزنه أفعلاً ، فتكون الهمزة زائدة والياء في مكان الفاء ، والدال في مكان العين والياء المحذوفة لكونه منقوصاً هي اللام . والأيد ، والآد في لغة العرب بمعنى القوة ، ورجل أيد قوي ، ومنه قوله تعالى { وَأَيَّدْنَاهُ بروح القدس } [ البقرة : 87 و 253 ] أي قويناه به ، فمن ظن أنها جمع يد في هذه الآية فقد غلط غلطاً فاشحاً
” Firman Allah di dalam ayat yang mulya ini : { بَنَيْنَاهَا بِأَيْدٍ } bukanlah termasuk ayat-ayat tentang Sifat yang dikenal dengan isim (kata benda) ini. Karena kata بِأَيْدٍ bukanlah bentuk jamak dari يد (tangan). Sesungguhnya ia adalah (dari kata) الأيد yang berarti kekuatan. Maka wazan بِأَيْد di sini adalah فَعَلَ dan wazan الأيدي adalah أَفْعَلَ . Sehingga huruf hamzah dalam kata بِأَيْد menempati posisi fa’, ya’ pada posisi ‘ain, dan dal pada posisi lam. Kalau seandainya بِأَيْد jama’ dari يد maka wazannya adalah أفعلاً sehingga hamzah tambahan dan ya’ pada posisi fa’, dal pada posisi ‘ain, dan ya’ dibuang karena keberadaannya manqush pada posisi lam. Dalam bahasa Arab الأيد dan الآد bermakna kekuatan. (Seperti ucapan seseorang) ورجل أيد قوي, di antara (penggunaan kata ini) adalah dalam firman Allah :
وَأَيَّدْنَاهُ بِرُوحِ الْقُدُسِ
” dan Kami kuatkan ia dengan Ruhul Qudus” (Q. S AlBaqoroh ayat 87 dan 253).
Maknanya adalah ‘Kami kuatkan ia dengannya’. Barangsiapa yang menyangka bahwa kata tersebut adalah bentuk jamak dari ‘tangan’ pada ayat ini, maka ia telah salah dengan kesalahan yang melampaui batas ( Lihat Tafsir Adlwaa-ul Bayaan juz 8 halaman 11).
Dari sini nampak jelaslah kesalahan dari tulisan yang ada di salah satu blog penentang Ahlussunnah pada tulisannya :
[[ Kemudian mengenai lafadz mutasyabihat biaidin (dengan tangan) Artinya : ” Dan langit, kami membinanya dengan Tangan(bi aidin = Kekuasaan) Kami…. ” (Qs adzariyat ayat 47) ]]
sehingga penulis dalam blog penentang Ahlussunnah tersebut mengira Ibnu Katsir telah melakukan takwil terhadap ayat Sifat.
Demikianlah saudaraku kaum muslimin, dari penjelasan di atas bisa disimpulkan bahwa al-Hafidz Ibnu Katsir dalam tafsirnya berpedoman dengan manhaj Salafus Sholeh dalam memahami ayat-ayat tentang Nama dan Sifat-Sifat Allah. Pemahaman beliau ini sama dengan pemahaman gurunya, Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah, yang sebenarnya pemahaman tersebut bukanlah manhaj baru. Bukanlah pemahaman yang diada-adakan oleh Ibnu Taimiyyah, namun pemahaman para Imam Ahlussunnah. Telah dikemukakan di atas ucapan-ucapan dari para Imam tersebut di antaranya Abul ‘Aliyah (seorang tabi’i murid para Sahabat Nabi), Imam Maalik (guru Imam AsySyaafi’i), Ishaq bin Raahuyah dan Nu’aim bin Hammad (dua-duanya adalah guru Imam al-Bukhari).
Semoga Allah senantiasa memberikan rahmat dan hidayahNya kepada kita semua.
Ditulis Oleh : Abu Utsman Kharisman untuk situs www. darussalaf. or. id
sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Abu Utsman Kharisman