Jumat, 30 Maret 2012

Ulama Al Jarh wa At Ta'dil, Sosok Penjaga dan Pembela Agama Allah



Penulis: Al Ustadz Abu Ishaq Muslim Al-Atsari

Abu Ghalib berkata: “Ketika didatangkan kepala orang-orang Azariqah1 dan dipancangkan di atas tangga Damaskus, datanglah Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu 'anhu. Ketika melihat mereka, air matanya pun mengalir dari kedua pelupuknya.

كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ، كِلاَبُ النَّارِ. هَؤُلاَءِ شَرَّ قَتْلَى قُتِلُوْا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ وَخَيْرَ قَتْلَى قُتِلُوا تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ الَّذِيْنَ قَتَلَهُمْ هَؤُلاَءِ

“Anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka, anjing-anjing neraka!” kata Abu Umamah. “Mereka ini sejelek-jelek orang yang dibunuh di bawah naungan langit ini. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh di bawah naungan langit ini adalah orang-orang yang mereka bunuh,” lanjutnya.
Kata Abu Ghalib: “Ada apa denganmu hingga mengalir air matamu?”
“Karena kasihan terhadap mereka, dulunya mereka itu termasuk ahlul Islam,” jawab Abu Umamah.
Abu Ghalib berkata: Kami bertanya: “Apakah engkau mengatakan ‘mereka itu anjing-anjing neraka’ dengan pendapatmu sendiri atau perkataan yang engkau dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?”
“Kalau aku mengatakan dengan pendapatku sendiri, maka sungguh betapa beraninya aku. Tapi perkataan seperti itu aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya sekali, bahkan tidak hanya dua tiga kali,” jawab Abu Umamah. 
Hadits di atas diriwayatkan Al-Imam Ahmad rahimahullah dalam Musnad-nya (5/253). Guru kami Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah setelah membawakan hadits ini, beliau berkata: “Hadits ini jayyid, Abu Ghalib adalah rawi yang hasanul hadits.” (Al Jami’ush Shahih, 1/201)
Dalam riwayat At-Tirmidzi rahimahullah (Sunan At-Tirmidzi no. 4086), Abu Ghalib berkata: “Abu Umamah melihat kepala-kepala yang dipancangkan di atas tangga (masjid) Damaskus, ia pun berkata:

كِلاَبُ النَّارِ، شَرَّ قَتْلَى تَحْتَ أَدِيْمِ السَّمَاءِ وَخَيْرَ قَتْلَى مَنْ قَتَلُوْهُ

“Anjing-anjing neraka. Mereka ini sejelek-jelek orang yang terbunuh di bawah naungan langit ini. Dan sebaik-baik orang yang terbunuh adalah orang yang mereka bunuh.” 
Kemudian Abu Umamah membaca ayat:

يَوْمَ تَبْيَضُّ وُجُوْهٌ وَتَسْوَدُّ وُجُوْهٌ

“Pada hari yang di waktu itu ada wajah-wajah yang putih berseri dan ada pula wajah yang hitam muram.” (Ali 'Imran: 106) Sampai akhir ayat. 
Abu Ghalib berkata kepada Abu Umamah: “Apakah engkau mendengar perkataan seperti itu dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam?”
“Kalau aku tidak mendengarnya dari beliau, tidak hanya sekali, dua kali, atau tiga, empat kali –Abu Umamah sampai menyebut tujuh kali– niscaya aku tidak akan menyampaikannya kepada kalian.” 
Hadits ini dihasankan Asy-Syaikh Muqbil rahimahullah dalam Al-Jami’us Shahih,1/201.

Ulama Al-Jarh wat Ta’dil Penjaga Agama Allah
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Segala puji bagi Allah yang menjadikan adanya ahlul ilmi pada setiap zaman fatrah2 dari para rasul, yang mereka ini mengajak orang yang sesat kepada petunjuk dan bersabar atas gangguan yang mereka terima dari manusia. Mereka menghidupkan kitabullah yang telah ditinggalkan manusia dan menjadikan orang yang buta (akan kebenaran) dapat melihat dengan cahaya Allah Subhanahu wa Ta'ala. Berapa banyak korban yang dibunuh oleh Iblis telah mereka hidupkan dan berapa banyak orang yang sesat lagi tidak mengerti jalan telah mereka bimbing. Alangkah bagusnya apa yang mereka perbuat terhadap manusia, namun alangkah jeleknya apa yang diperbuat manusia terhadap mereka. Mereka adalah orang-orang yang menolak penyimpangan orang-orang yang berbuat ghuluw terhadap kitabullah, demikian pula keyakinan orang-orang yang batil dan takwil orang-orang jahil, di mana orang-orang sesat ini telah mengikat bendera bid’ah dan melepaskan tali kekang fitnah. Orang-orang yang sesat ini berbeda-beda dalam memahami Kitabullah dan menyelisihi Kitabullah, akan tetapi mereka bersepakat meninggalkan Kitabullah. Mereka ini berucap terhadap Allah Subhanahu wa Ta'ala, tentang Allah Subhanahu wa Ta'ala dan tentang Kitabullah tanpa ilmu. Mereka berbicara dengan pembicaraan yang samar/ rancu dan bermaksud menipu orang-orang yang bodoh dari kalangan manusia dengan apa yang mereka samarkan. Kepada Allah semata kita berlindung dari fitnah orang-orang yang menyesatkan.” (Ar-Raddu ‘ala Az-Zanadiqah wal Jahmiyyah, hal. 1)
Berkaitan dengan ucapan Al-Imam Ahmad rahimahullah di atas, maka kita mengetahui bahwa ulama al-jarh wat ta’dil termasuk sisa ahlul ilmi yang Allah Subhanahu wa Ta'ala tempatkan di umat ini untuk menjaga dan membela agamanya (Aimmatul Jarhi wat Ta’dil Hum Hummatud Din min Kaidil Mulhidin, wa Dhalalil Mubtadi’in wa Ifkil Kadzdzabin, Asy-Syaikh Rabi’ Al-Madkhali hafizhahullah, hal. 3) 
Dengan keberadaan ulama ini, terbongkarlah kedok dan borok para penyesat umat, sehingga tidak tersisa satu tempat persembunyian pun bagi mereka melainkan telah diketahui dan telah diporak-porandakan. Sehingga umat tidak lagi mudah ditipu oleh mereka bahkan mereka dapat tertangkap basah oleh umat, dilucuti, dan dibuka aib yang mereka miliki. 
Demikianlah gambaran ahlul ahwa (para pengekor hawa nafsu) dan ahlul bid‘ah yang telah dikritik pedas dan dibabat habis oleh ulama al-jarh wat ta’dil, sehingga tidak heran bila ahlul ahwa dan bid‘ah ini sangat antipati dan benci sampai ke ulu hati terhadap ulama al-jarh wat ta’dil yang ada di tengah umat ini. Berbagai tuduhan, ucapan kotor dan keji mereka lemparkan pada sang alim untuk menjatuhkan kehormatannya dan menjauhkan umat darinya. Namun pada akhirnya mereka harus gigit jari melihat hasil perjuangan mereka. Karena Allah Subhanahu wa Ta'ala lah yang memberikan penjagaan terhadap agama-Nya. Dan Dia terus melahirkan dan memunculkan di tengah-tengah umat ini ulama yang membela agama-Nya, Dia terus menampilkan dan memenangkan orang-orang yang mengawal agama-Nya, karena memang Dialah Subhanahu wa Ta'ala yang menghendaki agar Ath-Thaifah Al-Manshurah (kelompok yang ditolong) ini tetap ada sampai saat berhembusnya angin sewangi misik yang tidak meninggalkan satu jiwa mukmin pun melainkan akan meninggal ketika menciumnya (hal ini terjadi menjelang datangnya hari kiamat3), sebagaimana disabdakan oleh Rasul yang mulia Shallallahu 'alaihi wa sallam:

لاَ تَزَالُ طاَئِفَةٌ مِنْ أُمَّتِي ظاَهِرِيْنَ عَلَى الْحَقِّ لاَ يَضُرُّهُمْ مَنْ خَذَلَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ وَهُمْ كَذَلِكَ

“Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku dalam keadaan dzahir/ menang di atas al haq, tidak memudharatkan mereka orang yang menyelisihi mereka. Demikian keadaan mereka sampai datang perkara Allah.” (HR. Al-Bukhari no. 7311 dan Muslim no. 1920)
Dalam riwayat Al-Bukhari (Shahih Al-Bukhari no. 71) disebutkan dengan lafadz:

وَلَنْ تَزَالَ هذِهِ اْلأُمَّةُ قاَئِمَةً عَلَى أَمْرِ اللهِ لاَ يَضُّرُهُمْ مَنْ خاَلَفَهُمْ حَتَّى يَأْتِيَ أَمْرُ اللهِ

“Umat ini terus menerus akan menegakkan agama Allah4, tidak memudharatkan mereka orang yang menyelisihi mereka hingga datang perkara Allah.” 
Ath-Thaifah Al-Manshurah, termasuk di dalamnya ulama al-jarh wat ta’dil tentunya sebagai orang yang masuk paling pertama karena mereka orang yang terdepan di dalam ilmu dan penjagaan/ pembelaan terhadap agama ini.
Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah mengatakan bahwa Ath-Thaifah Al-Manshurah adalah ahlul ilmi. Sehingga beliau membuat bab tersendiri dalam masalah ini dalam kitab Shahih-nya, dengan judul bab Qaulin Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “La Tazalu Thaifatun min Ummati Zhahirina ‘alal Haq wa Hum Ahlul Ilmi” (bab Sabda Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam: “Akan terus menerus ada sekelompok dari umatku dalam keadaan zahir/ menang di atas al-haq” mereka adalah ahlul ilmi).
Al-Imam Ahmad bin Hambal rahimahullah berkata: “Kalau mereka itu bukan ahlul hadits maka aku tidak tahu siapa lagi mereka5”. Al-Qadhi ‘Iyyadh rahimahullah berkata: “Yang dimaksud Al-Imam Ahmad adalah Ahlus Sunnah Wal Jamaah dan mereka yang meyakini madzhab ahlul hadits.” (Syarah Shahih Muslim, 13/66-67, Fathul Bari 1/206, 13/306). 
Al-Hakim rahimahullah berkata: “Alangkah bagusnya penafsiran Al-Imam Ahmad bin Hambal terhadap kabar ini bahwa Ath-Thaifah Al-Manshurah yang selalu diberikan pertolongan oleh Allah Subhanahu wa Ta'ala sampai hari kiamat adalah ashabul hadits (ahlul hadits). Karena siapa lagi manusia yang paling berhak untuk dimasukkan ke dalam thaifah ini terkecuali suatu kaum yang menempuh jalan orang-orang shalih dan mengikuti atsar salaf dari kalangan orang-orang terdahulu, mematahkan dan menghancurkan ahlul bid’ah serta orang-orang yang menyelisihi sunnah-sunnah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam.” (Ma’rifah Ulumil Hadits, hal. 2) Al-Hakim juga berkata memuji ahlul hadits: “Akal-akal mereka digenangi kelezatan As Sunnah, jantung-jantung mereka yang dipenuhi keridhaan terhadap ahwal (segala keadaan) mereka makmurkan, mempelajari sunnah-sunnah adalah kebahagiaan mereka, majelis ilmu adalah kegembiraan mereka. Ahlus sunnah seluruhnya adalah saudara-saudara mereka sementara ahlul ilhad (orang yang menyimpang) dan ahlul bid`ah seluruhnya adalah musuh mereka.” (Ma’rifah Ulumil Hadits, hal. 3)
Guru kami Allamatul Muhaddits Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i rahimahullah berkata: “Hadits ini walaupun tidak secara lafadz menunjukkan terhadap perkataan Al-Imam Al-Bukhari dan Al-Imam Ahmad, namun sesungguhnya Ahlul Hadits-lah yang seharusnya dimasukkan paling awal dalam thaifah ini karena kekokohan mereka di atas Al-Haq, pengabdian mereka dan pembelaan mereka terhadap Islam. Semoga Allah Subhanahu wa Ta'ala membalas kebaikan mereka dengan kebaikan yang banyak atas apa yang mereka sumbangkan terhadap Islam dan muslimin.” (Al-Jami’us Shahih, 1/11)
Mereka pula yang dikatakan Al-Firqatun Najiyah (kelompok yang selamat) sebagaimana tersebut dalam sabda Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tentang perpecahan umat ini menjadi 73 golongan, semuanya di neraka kecuali satu, ketika ditanyakan kepada beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam:

مَنْ هُمْ يَا رَسُوْلَ اللهِ؟ قاَلَ: هُمُ الْجَماَعَةُ

“Siapa mereka wahai Rasulullah?” “Mereka adalah al-jamaah,” jawab beliau. (HR. Ahmad 4/102, Abu Dawud no. 3981, Ibnu Abi ‘Ashim no. 63, dan selainnya. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As Sunnah, hal. 49) 
Sejak terjadinya fitnah dan bercabangnya kelompok hawa nafsu di tengah umat hingga mereka mencapai jumlah yang disebutkan6, thaifah ini terus menerus menegakkan perkara Allah Subhanahu wa Ta'ala, mereka menyeru kepada al haq, menyebarkan dan menjaga ilmu-ilmu nubuwwah, membelanya dan menolak tipu daya orang-orang yang melakukan tipu daya, menolak kepercayaan orang-orang yang batil dan tahrif orang-orang bodoh. Tidak menggoyahkan mereka sama sekali gangguan, tipu daya orang-orang yang membuat makar, dan rencana jahat orang-orang yang berkuasa. Kesempitan, gangguan dan ujian yang mereka terima tidak akan menambah penderitaan bagi mereka terkecuali membuat mereka semakin kokoh di atas al haq dan akan membungkam kebatilan, sebagaimana ini terjadi pada masa Al-Imam Ahmad, Abdul Ghani Al-Maqdisi dan pada masa Ibnu Taimiyyah. (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawaif, hal. 18) 
Sikap tegas terhadap ahlul bid‘ah ini merupakan sikap yang diwarisi dari As-Salafush Shalih. Dan As-Salafush Shalih menganggap sikap keras terhadap ahlul ahwa dan bid‘ah merupakan suatu kelebihan/ keutamaan dan merupakan sikap terpuji, di mana seseorang akan dipuji karenanya. Berapa banyak para imam Ahlus Sunnah, ketika disebutkan biografinya, ia dipuji karena sikap kerasnya terhadap ahlul ahwa dan bid’ah dan betapa kokohnya dia dalam memegang As Sunnah. Tidak ada yang mendorong mereka untuk bersikap yang demikian kecuali karena kecemburuan terhadap agama Allah ini dan dalam rangkaian nasehat kepada Allah, Rasul-Nya, dan para pemimpin kaum muslimin serta orang awamnya. Sebagaimana Ibnul Jauzi rahimahullah berkata tentang Al-Imam Ahmad rahimahullah: “Al-Imam Abu Abdillah Ahmad bin Hambal, karena sangat kuatnya beliau memegangi As Sunnah dan melarang/ mencegah dari kebid’ahan, beliau tidak segan membicarakan tentang (kejelekan) sekelompok orang-orang yang baik, apabila tampak di hadapannya bahwa mereka menyelisihi As Sunnah. Ucapan beliau yang demikian itu disampaikan kepada mereka tentunya dalam rangka nasehat untuk agama Allah ini.” (Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa‘, hal. 42)

Ahlul Hadits adalah Ulama Al-Jarh wat Ta’dil 
Ulama al-jarh wat ta’dil adalah ulama ahlul hadits yang mengilmui dan memahami hadits, mengagungkan, dan menjaganya. Mereka adalah orang yang mengikuti para shahabat dan tabi’in dalam berpegang teguh dengan Al Qur’an dan As Sunnah. Mereka menggigitnya dengan gigi geraham mereka. Mereka kedepankan keduanya di atas setiap ucapan dan petunjuk, sama saja apakah hal itu dalam masalah aqidah, ibadah, muamalah, akhlak ataupun dalam masalah politik dan kemasyarakatan. Mereka sangat kokoh di dalam pokok-pokok agama dan cabang-cabangnya sesuai dengan apa yang diturunkan Allah Subhanahu wa Ta'ala dan diwahyukan-Nya kepada hamba-Nya dan Rasul-Nya Muhammad Shallallahu 'alaihi wa sallam. Mereka menegakkan dakwah dengan segala kesungguhan, kejujuran dan ketegaran. Merekalah pembawa ilmu nubuwwah. Dengan ilmu tersebut, mereka sangat menentang tahrif orang-orang yang ghuluw, kepercayaan orang-orang yang batil dan takwil orang-orang jahil. Merekalah orang-orang yang selalu berdiri mengintai setiap kelompok/ golongan yang menentang manhaj islami seperti Jahmiyyah, Mu’tazilah, Khawarij, Rawafidh, Murji`ah, Qadariyyah dan setiap yang menyimpang dari manhaj Allah dan mengikuti hawa nafsunya pada setiap zaman dan tempat. Celaan orang-orang yang mencerca sama sekali tidak menyurutkan langkah mereka dalam membela agama Allah Subhanahu wa Ta'ala.” (Aimmatul Jarhi wat Ta’dil, hal. 4)
Merekalah yang meletakkan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala ini di hadapan mata mereka:

وَاعْتَصِمُوْا بِحَبْلِ اللهِ جَمِيْعاً وَلاَ تَفَرَّقُوْا

“Berpegangteguhlah kalian semuanya dengan tali Allah dan janganlah kalian berpecah-belah.” (Ali ‘Imran: 103)
Dan firman-Nya:

فَلْيَحْذَرِ الَّذِيْنَ يُخاَلِفُوْنَ عَنْ أَمْرِهِ أَنْ تُصِيْبَهُمْ فِتْنَةٌ أَوْ يُصِيْبَهُمْ عَذَابٌ أَلِيْمٌ

“Maka hendaklah berhati-hati orang-orang yang menyelisihi perkara/ perintah Rasulullah untuk ditimpakan kepada mereka fitnah atau ditimpakan pada mereka azab yang pedih.” (An-Nur: 63)
Sehingga mereka adalah orang yang paling jauh dari menyelisihi perintah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dan paling jauh dari fitnah. Merekalah yang menjadikan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala sebagai dustur mereka:

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُوْنَ حَتَّى يُحَكِّمُوْكَ فِيْماَ شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوْا فِيْ أَنْفُسِهِمْ حَرَجاً مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوْا تَسْلِيْماً

“Maka sekali-kali tidak demi Rabbmu, mereka tidaklah beriman sampai mereka menjadikanmu sebagai hakim dalam pertikaian yang terjadi di antara mereka, kemudian mereka tidak dapatkan di dalam jiwa mereka rasa berat terhadap apa yang engkau putuskan dan mereka tunduk dengan setunduk-tunduknya.” (An-Nisa`: 65)
Mereka memuliakan nash-nash Al Qur`an dan As Sunnah dengan sebenar-benar pemuliaan, mengagungkannya dengan sebesar-besar pengagungan dan mengedepankannya di atas ucapan manusia seluruhnya. Mereka berhukum kepada nash-nash tersebut dalam segala sesuatu dengan rasa ridha yang sempurna dan dada yang lapang, tanpa rasa sempit dan berat. Mereka tunduk kepada Allah dan Rasul-Nya dengan ketundukan yang sempurna dalam aqidah mereka, ibadah dan muamalah mereka. Kepada merekalah pantas ditujukan firman Allah Subhanahu wa Ta'ala:

إِنَّماَ كاَنَ قَوْلَ الْمُؤْمِنِيْنَ إِذَا دُعُوْا إِلَى اللهِ وَرَسُوْلِهِ لِيَحْكُمَ بَيْنَهُمْ أَنْ يَقُوْلُوْا سَمِعْناَ وَأَطَعْناَ وَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُوْنَ

“Hanyalah ucapan kaum mukminin bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar diputuskan perkara di antara mereka, mereka pun menyatakan ‘kami mendengar dan kami taat’ , mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (An-Nur: 51) [Aimmatul Jarhi wat Ta’dil, hal. 5]
Di antara nama ulama ahlul hadits yang bisa kita sebutkan di sini, di antaranya:
- Semua shahabat Nabi, dengan pimpinan mereka Al-Khulafa`ur Rasyidin 
- Tokoh tabi’in (murid para shahabat): Sa’id ibnul Musayyab, ‘Urwah bin Az-Zubair, Ali bin Al-Husain Zainul Abidin, Muhammad ibnul Hanafiyyah, Ubaidullah bin Abdillah bin ‘Utbah bin Mas’ud, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad bin Abi Bakar Ash-Shiddiq, Al-Hasan Al-Bashri, Muhammad bin Sirin, ‘Umar bin Abdil Aziz, dan Muhammad bin Syihab Az-Zuhri.
- Atba‘ut tabi’in (murid para tabi’in), paling terdepan dari mereka adalah Malik, Al-Auza’i, Sufyan bin Sa’id Ats-Tsauri, Sufyan bin ‘Uyainah, Isma’il bin ‘Ulayyah dan Al-Laits bin Sa’ad.
- Murid-murid atba‘ut tabi’in, paling utama adalah Abdullah ibnul Mubarak, Waki’ ibnul Jarrah, Al-Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i, Abdurrahman bin Mahdi, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan, ‘Affan bin Muslim.
- Mereka yang berguru kepada murid-murid atba‘ut tabi’in, yang terdepan adalah Al-Imam Ahmad bin Hambal, Yahya bin Ma’in dan ‘Ali ibnul Madini.
- Murid-murid mereka yang masuk dalam kelompok di atas, di antaranya Al-Bukhari, Muslim, Abu Hatim, Abu Zur’ah, Abu Dawud, At-Tirmidzi, dan An-Nasai.
- Generasi berikutnya yang berjalan seperti jalan mereka, di antaranya Ibnu Jarir, Ibnu Khuzaimah, Ad-Daraquthni, Al-Khathib Al-Baghdadi, Ibnu Abdil Bar An-Namri, Abdul Ghani Al-Maqdisi, Ibnu Qudamah, Ibnu Shalah, Ibnu Taimiyyah, Al-Mizzi, Adz-Dzahabi, Ibnu Katsir7 dan para imam setelah mereka seperti Ash-Shan’ani, Asy-Syaikh Muhammad ibnu Abdil Wahhab serta kalangan imam dari anak-anak dan cucunya.
Mereka memiliki banyak sekali karya tulis –dengan jumlah yang tak terhitung– yang berisi bantahan terhadap ahlul bid’ah wa ahwa dan kitab-kitab al-jarh wat ta’dil serta kitab al-jarh secara khusus yang penuh dengan keterangan tentang keadaan ahlul bid’ah seperti kitab Ar-Rad ‘alal Jahmiyyah karya Al-Imam Ahmad, Ar-Rad ‘alal Jahmiyyah dan Ar-Rad ‘ala Bisyr Al-Marisi karya ‘Utsman bin Sa’id Ad-Darimi, kitab-kitab Al-Imam Ahmad dalam masalah rijal, kitab-kitab Ibnu Ma’in, kitab-kitab Al-Bukhari, Al-Al-jarh wat ta'dil karya Ibnu Abi Hatim, kitab-kitab An-Nasa`i dan Ad-Daraquthni, Al-Kamil karya Ibnu ‘Adi, kitab Al-Majruhin karya Ibnu Hibban, Ma’rifatur Rijal karya Jauzajani, Muqaddimah Al-Madkhal karya Al-Hakim, Muqaddimah Al-Mustakhraj karya Abu Nu’aim dan selainnya dari kitab-kitab rijal sebagaimana mereka memiliki banyak karya tulis ilmiah dalam perkara aqidah/ manhaj seperti kitab As-Sunnah karya Ibnu Abi ‘Ashim, Asy-Syari’ah karya Al-Ajurri, Al-Iman karya Ibnu Mandah, At-Tauhid karya Ibnu Khuzaimah, Syarah Ushulus Sunnah karya Al-Lalikai, serta kitab-kitab Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan murid-muridnya dan lain-lainnya, yang tidak bisa kami sebutkan semuanya di sini.

Kritikan Ulama Al-Jarh wa At-Ta’dil Penjagaan terhadap Agama Allah 
Apa yang dilakukan oleh ulama al-jarh wat ta'dil berupa kritikan dan bantahan kepada ahlul bid’ah dan ahwa bukanlah perkara yang mereka ada-adakan atau mereka buat-buat sendiri tanpa pendahulu yang shalih. Tidak pula menunjukkan kotor dan jahatnya hati, maksud dan lisan mereka, sebagaimana hal ini banyak disebarkan dan diserukan oleh du’atul makirin wal ahdzabul hizbiyyin (para penyeru dan pembuat makar serta para da’i hizbiyyun) yang sangat khawatir dan takut dengan kritikan karena akan mematikan mereka dan membinasakan langkah dan keinginan mereka yang busuk. Akan tetapi apa yang mereka serukan sama sekali tidak demikian, wallahi. Bahkan jauh sebelum ulama al-jarh wat ta’dil, hal ini telah dilakukan oleh sebaik-baik manusia setelah para nabi dan rasul, yaitu para shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam ash-shadiqinash shalihin, dan di antara mereka adalah Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu 'anhu sebagaimana ditunjukkan dalam hadits dan riwayat di atas. Ketika Abu Umamah melihat kepala orang-orang yang terbunuh dari kelompok ahlul bid’ah yang bernama Khawarij yang dipancangkan di atas tangga masjid Damaskus, ia pun mengatakan: “Anjing-anjing neraka!” (Tuhfatul Ahwadzi, 8/279). Ketika melemparkan gelaran jelek kepada pemilik kepala-kepala yang telah terpenggal tersebut, beliau tidak mencukupkan sekali, bahkan beliau mengulangnya sampai tiga kali. 
Kemudian, apabila ini adalah perkara yang mereka ada-adakan atau mereka buat-buat sendiri tanpa pendahulu yang shalih dan menunjukkan kotor dan jahatnya hati, maksud dan lisan mereka, apakah boleh dan diperkenankan bagi kita untuk mengatakan shahabat ini mulutnya kotor, jahat hati, maksud, dan lisannya? Na’udzubillah min dzalik, semoga Allah menjaga hati, lisan dan perbuatan kita dari mencerca shahabat Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam!
Apa yang dilakukan oleh Abu Umamah Al-Bahili radhiallahu 'anhu ini telah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam murabbina wa mu’allimuna. Beliaulah yang menggelari Khawarij dengan anjing-anjing neraka, sebagaimana dinyatakan oleh Abu Umamah: “Perkataan seperti itu aku dengar dari Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam tidak hanya sekali, bahkan tidak hanya dua, tiga kali!” Dalam riwayat At-Tirmidzi disebutkan sampai tujuh kali.

لَقَدْ كاَنَ لَكُمْ فِيْ رَسُوْلِ اللهِ أُسْوَةٌ حَسَنَةٌ لِمَنْ كاَنَ يَرْجُو اللهَ وَالْيَوْمَ اْلآخِرَ وَذَكَرَ اللهَ كَثِيْرًا

“Sesungguhnya pada diri Rasulullah ada suri teladan yang baik bagi kalian, yaitu bagi orang-orang mengharapkan pertemuan dengan Allah dan hari akhir serta banyak mengingat Allah.” (Al-Ahzab: 21)
Bila demikian adanya, berarti apa yang dilakukan oleh ulama al-jarh wat ta’dil ini telah dicontohkan oleh sebaik-baik hamba Allah yaitu Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, beliau menjarh, mengkritik, dan mentahdzir orang yang pantas mendapatkannya. 
Demikian pula halnya dengan anak paman Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, orang yang didoakan oleh Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dengan kefakihan di dalam agama Allah Subhanahu wa Ta'ala dan ahli di dalam menafsirkan Al Qur`an, imam para mufassirin, Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma ketika menjarh kelompok bid’ah yang bernama Qadariyyah.
‘Atha rahimahullah berkata: “Aku mendatangi Ibnu ‘Abbas radhiallahu 'anhuma yang sedang berada di sumur Zam-zam dalam keadaan bagian bawah pakaiannya basah terkena air. 
“Telah muncul orang-orang yang membicarakan (yakni mengingkari -ed) takdir (Qadariyah, pen.),” kataku kepada Ibnu Abbas.
“Apakah mereka benar telah melakukannya?” tanya Ibnu ‘Abbas.
“Iya,” jawabku.
“Demi Allah, tidaklah turun ayat:

ذُوْقُوْا مَسَّ سَقَرَ. إِنَّا كُلَّ شَيْءٍ خَلَقْناَهُ بِقَدَرٍ

“Rasakanlah oleh kalian azab neraka Saqar. Sesungguhnya segala sesuatu Kami ciptakan dengan ketetapan takdir.” (Al-Qamar: 48-49) melainkan ditujukan kepada mereka. Mereka itu adalah sejelek-jelek umat ini, jangan kalian jenguk orang yang sakit dari kalangan mereka, jangan kalian shalati orang yang mati dari kalangan mereka. Bila aku melihat salah seorang dari mereka, niscaya aku akan mencungkil kedua matanya dengan dua jariku ini.” (Syarhus Sunnah, Al-Lalikai 4/712, As-Sunanul Kubra, Al-Baihaqi 10/205, sebagaimana dinukil dalam Ijma’ul Ulama ‘alal Hajri wat Tahdzir min Ahlil Ahwa`, hal. 23) 
Asy-Syaikh Rabi’ hafizhahullah berkata: “Membantah ahlul bid’ah, men-jarh mereka dan memperingatkan (tahdzir) manusia dari mereka merupakan perkara pokok dalam Islam, karena hal ini termasuk bab amar ma’ruf nahi mungkar yang paling penting dan juga termasuk bab nasihat yang terpenting kepada Islam dan muslimin. Orang yang pertama kali men-jarh dan men-tahdzir mereka yang menyimpang adalah Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam, di mana beliau mentahdzir Khawarij dalam beberapa hadits dan menyifati mereka sebagai sejelek-sejelek makhluk, beliau Shallallahu 'alaihi wa sallam mencela Dzul Khuwaishirah (nenek moyang Khawarij) dan dalil-dalil yang menunjukkan tentang perkara ini banyak sekali.” (Aimmatul Hadits wa Man Sara ‘ala Nahjihim Hum A’lamun Nasi bi Ahlil Ahwa wal Bida’ wa Masyru’iyyatul Jarh wat Ta’dil Minal Akfa’ Lam Tanqathi’, hal. 2)
Lebih dari itu, mencela dan memberi gelaran buruk kepada orang yang menyimpang dari kebenaran telah pula dinyatakan oleh Dzat yang Maha Tinggi dan Maha Suci keberadaan-Nya dari segala makhluk-Nya, seperti dalam ayat-ayat berikut ini:

وَاتْلُ عَلَيْهِمْ نَبَأَ الَّذِي آتَيْناَهُ آياَتِناَ فَانْسَلَخَ مِنْهاَ فَأَتْبَعَهُ الشَّيْطاَنُ فَكاَنَ مِنَ الْغاَوِيْنَ. وَلَوْ شِئْناَ لَرَفَعْناَهُ بِهاَ وَلَكِنَّهُ أَخْلَدَ إِلَى اْلأَرْضِ وَاتَّبَعَ هَوَاهُ فَمَثَلُهُ كَمَثَلِ الْكَلْبِ إِنْ تَحْمِلْ عَلَيْهِ يَلْهَثْ أَوْ تَتْرُكْهُ يَلْهَثْ ذَلِكَ مَثَلُ الْقَوْمِ الَّذِيْنَ كَذَّبُوْا بِآياَتِناَ فاَقْصُصِ الْقَصَصَ لَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُوْنَ

“Dan bacakanlah kepada mereka berita orang yang telah Kami berikan kepadanya ayat-ayat Kami (pengetahuan tentang isi Al-Kitab). Kemudian dia melepaskan diri dari ayat-ayat itu, lalu ia diikuti oleh syaitan sampai dia tergoda. Maka jadilah dia termasuk orang-orang yang sesat. Dan kalau Kami menghendaki niscaya Kami tinggikan derajatnya dengan ayat-ayat itu, tetapi dia cenderung kepada dunia dan menuruti hawa nafsunya yang rendah, maka permisalan dirinya seperti anjing, bila engkau menghalaunya dijulurkannya lidahnya dan bila engkau membiarkannya, anjing itu tetap menjulurkan lidahnya. Demikianlah perumpamaan orang-orang yang mendustakan ayat-ayat Kami.” (Al-A’raf: 175-176)

وَلَقَدْ ذَرَأْناَ لِجَهَنَّمَ كَثِيْرًا مِنَ الْجِنِّ وَاْلإِنْسِ لَهُمْ قُلُوْبٌ لاَ يَفْقَهُوْنَ بِهاَ وَلَهُمْ أَعْيُنٌ لاَ يُبْصِرُوْنَ بِهاَ وَلَهُمْ آذَانٌ لاَ يَسْمَعُوْنَ بِهاَ أُولَئِكَ كَاْلأَنْعاَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ أُولَئِكَ هُمُ الْغاَفِلُوْنَ

“Dan sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami. Dan mereka memiliki mata namun tidak dipergunakannya untuk melihat. Dan mereka punya telinga tetapi tidak diperguna-kannya untuk mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak bahkan mereka lebih bodoh lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.” (Al-A’raf: 179)

أَمْ تَحْسَبُ أَنَّ أَكْثَرَهُمْ يَسْمَعُوْنَ أَوْ يَعْقِلُوْنَ إِنْ هُمْ إِلاَّ كَاْلأَنْعاَمِ بَلْ هُمْ أَضَلُّ سَبِيْلاً

“Apakah engkau (Muhammad) mengira bahwa kebanyakan mereka itu mendengar atau memahami? Mereka itu tidak lain hanyalah seperti binatang ternak bahkan mereka lebih sesat jalannya daripada binatang ternak itu.” (Al-Furqan: 44)
Sehingga kita katakan di sini, orang-orang yang mengingkari perkara ini adalah orang yang tidak faham sama sekali apa yang dia baca di dalam Al Qur‘an yang dia baca setiap harinya dan di dalam hadits-hadits yang shahih atau memang dia tidak pernah membacanya sehingga dengan kejahilannya menjadikannya jahil murakkab? Wallahul musta’an.
Para imam al-jarh wat ta'dil tidak hanya memberikan jarh kepada ahlul bid’ah wa ahwa` namun mereka juga menjaga agama ini dengan menjaga hadits Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam dari pemalsuan dan kedustaan, membicarakan perawi-perawi hadits dan menjelaskan keadaan mereka, sehingga bila perawi itu lemah terlebih seorang pendusta, maka mereka membicarakannya, mengkritiknya dan menolak haditsnya. Namun apabila dipelajari dan diteliti, para perawi keadaanya tidak demikian, bahkan merupakan rawi yang pantas diterima periwayatannya, maka diterima haditsnya dan periwayatannya. Di antara kritikan mereka: 
1. Yahya bin Ma’in rahimahullah berkata tentang seorang perawi hadits yang bernama Talid bin Sulaiman Al-Muharibi: “Dia tidak teranggap, dia seorang pendusta yang mencerca ‘Utsman radhiallahu 'anhu. Dan setiap orang yang mencela ‘Utsman atau Thalhah atau salah seorang dari shahabat Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam, maka dia dajjal, tidak ditulis haditsnya, dan dia akan memperoleh laknat Allah, para malaikat dan manusia.” (At-Tarikh, 2670) 
Al-Hakim rahimahullah berkata: “Madzhabnya jelek, mungkarul hadits.” (Al-Madkhal, 1/174)
2. Ishaq bin Rahawaih rahimahullah berkata: “Negeri Khurasan mengeluarkan tiga orang yang tidak ada tandingannya dalam kebid’ahan dan kedustaan yaitu Jahm bin Shafwan, ‘Umar bin Shabh, dan Muqatil bin Sulaiman.”
3. Ahmad ibnu Hanbal rahimahullah berkata: “Habib bin Abi Hilal matruk (ditinggalkan).” (Bahrud Dam hal. 105). Demikian juga Al-Imam Ahmad berkata tentang Al-Hasan ibnu Dzakwan: “Hadits-haditsnya batil.” (Bahrud Dam hal. 114)
4. Al-Imam Al-Bukhari rahimahullah berkata: “Dawud ibnu Al-Muhabbir mungkarul hadits, keberadaannya seakan-akan tidak teranggap/ ternilai.” (Adh-Dhu’afa` Ash-Shagir hal. 18. Al-Hafidz rahimahullah berkata tentangnya: “Matruk, dan kebanyakan kitabul ‘aql yang dia tulis hadits-haditsnya palsu.” (At-Taqrib hal.140)
5. Al-Imam An-Nasai rahimahullah mengatakan tentang Asy’ats ibnu Sa’id As-Samman: “Tidak punya nilai.” (Adh-Dhua’fa` wal Matrukin hal.56)
Wallahu ta’ala a’lam bish-shawab.

1 Satu kelompok dari Khawarij yang dinisbatkan kepada Nafi’ bin Al-Azraq, salah seorang tokoh Khawarij.
2 Zaman terputusnya wahyu dan tidak adanya rasul yang diutus di tengah umat
3 Kiamat tidak akan ditimpakan kecuali pada sejelek-jelek makhluk. Adapun orang yang memiliki iman semuanya telah meninggal ketika mencium angin sewangi misik yang berhembus menjelang datangnya hari kiamat (Fathul Bari, 1/206).
Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

مِنْ شِرَارِ النَّاسِ مَنْ تُدْرِكُهُمُ السَّاعَةُ وَهُمْ أَحْياَءُ

“Termasuk sejelek-jelek manusia adalah orang yang hari kiamat menemui mereka dalam keadaan mereka masih hidup.” (HR. Al-Bukhari no. 7067) 
Dalam riwayat Muslim (no. 2949) disebutkan dengan lafadz:

لاَ تَقُوْمُ السَّاعَةُ إلاَّ عَلىَ شِرَارِ النَّاسِ

“Tidak akan datang hari kiamat kecuali (menimpa) atas sejelek-sejelek manusia.” 
4 Sebagian umat ini akan tetap di atas al-haq selama-lamanya (Fathul Bari, 1/206)
5 Asy-Syaikh Rabi‘ bin Hadi Al Madkhali hafizhahullah berkata: “Imam-imam Islam seperti Ibnul Mubarak, Yazid bin Harun, Ibnul Madini, Ahmad bin Hambal, Al-Bukhari dan para imam yang lain di antaranya Al-Khathib Al-Baghdadi, Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Rajab telah menafsirkan Al-Firqatun Najiyah dan Ath-Thaifah Al-Manshurah ini adalah ahlul hadits dan orang yang bermadzhab ahlul hadits.” (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jama’ah fi Naqdir Rijal wal Kutub wath Thawa`if, hal. 18)
6 Rasulullah Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:

تَفَرَّقَتِ الْيَهُوْدُ عَلَى إِحْدَى أوِ اثْنَتَيْنِ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً، وَتَفَرَّقَتْ أُمَّتِي عَلىَ ثَلاَثٍ وَسَبْعِيْنَ فِرْقَةً

“Yahudi akan terpecah menjadi 71 atau 72 golongan dan umatku akan berpecah menjadi 73 golongan.” (HR. Ibnu Abi ‘Ashim dalam As-Sunnah, dihasankan sanadnya oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dalam Zhilalul Jannah fi Takhrij As Sunnah, hal. 50)
7 Dan kami tambahkan ulama ahlul hadits dan para imam al-jarh wat ta’dil pada zaman ini baik itu yang masih hidup –mudah-mudahan Allah mengokohkan mereka dan diberikan umur yang panjang di dalam pembelaan agama-Nya– ataupun yang telah Allah panggil disisi-Nya, semoga Allah merahmati mereka semuanya dengan rahmat-Nya yang lapang– sesuai yang kami ketahui dan penyebutan kami disini bukan sebagai pembatasan, di antaranya: 
Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdurahman Al-Mu’allimi Al-Yamani, Asy-Syaikh Al-Muhaddits Ahmad Syakir, Samahatusy Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alusy Syaikh, Al-’Allamatusy Syaikh Abdullah Ibnu Humaid, Asy-Syaikh Al-Muhaddits wal Mufassir Muhammad Amin Asy-Syinqithi, Asy-Syaikh Al-’Allamatu Abdurrahman As-Sa’di, Syaikhul Islam Samahatusy Syaikh Abdul ‘Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Imamul Muhaddits Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Al-Mujahid As-Salafi Hamud Tuwaijiri, ‘Allamatud Dunya Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin, Al-’Allamatusy Syaikh Muhammad Aman Al-Jami, Guru kami Al-Muhaddits Imam Ahlis Sunnah fil Yaman Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi Al-Wadi’i, Al-’Allamah Shahibul Manhaj Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan, Asy-Syaikh Al-Muhadditsul Faqih Ahmad bin Yahya An-Najmi, Al-’Allamah Asy-Syaikh Al-Mujahid Zaid bin Muhammad Al-Madkhali, Imam Al-Jarh wat Ta'dil Syaikhul Muhaddits Rabi’ Ibnu Hadi Al-Madkhali, Al-’Allamah Asy-Syaikh Al-Muhaddits Abdul Muhsin Al-’Abbad, Mufti Mamlakah As-Su’udiyah ‘Allamatus Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah Alusy Syaikh, Al-Ma’ali Al-’Allamah Asy-Syaikh Shalih bin Abdul Aziz Alusy Syaikh, Asy-Syaikh Al-Muhaddits Muhammad bin Hadi Al-Madkhali, Shahibul Manhajis salim Al-’Allamah Asy-Syaikh ‘Ubaid Al-Jabiri, dan ulama ahlil hadits lainnya.


Silahkan mengcopy dan memperbanyak artikel ini
dengan mencantumkan sumbernya yaitu : www.asysyariah.com

Cara menafsirkan Al Qur'an


Penulis : Syaikh Muhammad Nashirudin Al Albani 

Syaikh Al-Albani ditanya: 
Apa yang harus kita lakukan untuk dapat menafsirkan Al-Qur'an ? 

Jawaban: 
Allah Subhanahu wa Ta'ala telah menurunkan Al-Qur'an ke dalam hati Nabi Muhammad Shalallahu 'alaihi wa sallam agar beliau mengeluarkan manusia dari kekufuran dan kejahilan yang penuh dengan kegelapan menuju cahaya Islam. Allah Ta'ala berfirman dalam Al-Qur'an surat Ibrahim ayat 1 : 
الَر كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ 

yang artinya : "Alif, laam raa.(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. "

Allah Ta'ala juga menjadikan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sebagai orang yang berhak menjelaskan, menerangkan dan menafsirkan isi Al-Qur'an. Firman Allah Ta'ala di dalam surat An-Nahl ayat 44: 
بِالْبَيِّنَاتِ وَالزُّبُرِ وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ 
artinya : "keterangan-keterangan (mu'jizat) dan kitab-kitab.Dan Kami turunkan kepadamu al-Qur'an, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka supaya mereka memikirkan..." 

Sunnah berfungsi sebagai penafsir dan penjelas isi Al-Qur'an, dan sunnah ini juga merupakan wahyu karena yang diucapkan oleh Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam adalah bukan hasil pemikiran Rasulullah tetapi semuanya dari wahyu Allah Ta'ala. Sebagaimana ditegaskan oleh Allah dalam Al-Qur'an surat An-Najm ayat 3 dan 4: وَمَا يَنطِقُ عَنِ الْهَوَى
إِنْ هُوَ إِلَّا وَحْيٌ يُوحَى
"dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Qur'an) menurut kemauan hawa nafsunya. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yang diwahyukan (kepadanya)" 

Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Ketahuilah, sesungguhnya aku diberi Al-Qur'an dan sesuatu yang hampir sama dengan Al-Qur'an. Ketahuilah, akan ada seorang lelaki kaya raya yang duduk di atas tempat duduk yang mewah dan dia berkata: "Berpeganglah kalian kepada Al-Qur'an. Apapun yang dikatakan halal di dalam Al-Qur'an, maka halalkanlah, sebaliknya apapun yang dikatakan haram di dalam Al-Qur'an, maka haramkanlah. Sesungguhnya apapun yang diharamkan oleh Rasulullah, Allah juga mengharamkannya." 

Untuk itu cara menafsirkan Al-Qur'an adalah: 

Cara Pertama adalah dengan sunnah. Sunnah ini berupa: ucapan-ucapan, perbuatan-perbuatan, dan diamnya Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam. 

Cara Kedua adalah dengan penafsirannya para sahabat. Dalam hal ini pelopor mereka adalah Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas Radliyallahu 'anhum. Ibnu Mas'ud termasuk sahabat yang menemani Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam sejak dari awal dan dia selalu memperhatikan dan bertanya tentang Al-Qur'an serta cara menafsirkannya, sedangkan mengani Ibnu Abbas, Ibnu Mas'ud pernah berkata: "Dia adalah penterjemah Al-Qur'an." Oleh karena itu tafsir yang berasal dari seorang sahabat harus kita terima dengan lapang dada, dengan syarat tafsir tersebut tidak bertentangan dengan tafsiran sahabat yang lain. 

Cara Ketiga yaitu apabila suatu ayat tidak kita temukan tafsirnya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam dan para sahabat, maka kita cari tafsirannya dari para tabi'in yang merupakan murid-murid para sahabat, terutama murid Ibnu Mas'ud dan Ibnu Abbas seperti : Sa'ad bin Jubair, Thawus, Mujahid dan lain-lain. 

Sangat disayangkan, sampai hari ini banyak sekali ayat-ayat Al-Qur'an yang tidak ditafsirkan dengan ketiga cara di atas, tetapi hanya ditafsirkan dengan ra'yu (pendapat/akal) atau ditafsirkan berdasarkan madzhab yang tidak ada keterangannya dari Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam secara langsung. Ini adalah masalah yang sangat mengkhawatirkan apabila ayat-ayat Al-Qur'an ditafsirkan hanya untuk memperkuat dan membela suatu madzhab, yang hasil tafsirnya bertentangan dengan tafsiran para ulama tafsir. 

Untuk menjelaskan betapa bahayanya tafsir yang hanya berdasarkan madzhab, akan kami kemukakan satu contoh sebagai bahan renungan yaitu tafsir Al-Qur'an surat Al-Muzammil: 20 : 
فَاقْرَؤُوا مَا تَيَسَّرَ مِنْهُ 
artinya : "Maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an." 
Berdasarkan ayat ini, sebagian penganut madzhab berpendapat bahwa yang wajib dibaca oleh seseorang yang berdiri sholat adalah ayat-ayat Al-Qur'an mana saja. Boleh ayat-ayat yang sangat panjang atau boleh hanya tiga ayat pendek saja. Yang penting membaca ayat Al-Qur'an (tidak harus membaca Al-Fatihah). 

Betapa anehnya mereka berpendapat seperti ini, padahal Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Tidak ada sholat bagi orang yang tidak membaca pembuka Al-Kitab (Surat Al-Fatihah)." 

Dan di hadits lain Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bersabda: "Barangsiapa yang sholat tidak membaca Surat Al-Fatihah, maka sholatnya kurang, sholatnya kurang, sholatnya kurang, tidak sempurna."

Berdasarkan tafsir di atas, berarti mereka telah menolak dua hadits shahih tersebut, karena menurut mereka tidak boleh menafsirkan Al-Qur'an kecuali dengan hadits yang mutawatir. Dengan kata lain mereka mengatakan, "Tidak boleh menafsirkan yang mutawatit kecuali dengan yang mutawatir pula." Akhirnya mereka menolak dua hadits tersebut karena sudah terlanjur mempercayai tafsiran mereka yang berdasarkan ra'yu (akal-akalan) dan madzhab (kelompok/golongan). 

Padahal semua ulama ahli tafsir, baik ulama yang mutaqaddimin (terdahulu) atau ulama yang mutaakhirin (sekarang), semuanya berpendapat bahwa maksud "bacalah" dalam ayat di atas adalah "sholatlah". Jadi ayat tersebut maksudnya adalah: "Maka sholatlah qiyamul lail (sholat malam) dengan bilangan raka'at yang kalian sanggupi." 

Tafsir ini akan lebih jelas apabila kita perhatikan seluruh ayat tersebut, yaitu: "Sesungguhnya Rabbmu mengetahui bahwasannya kamu berdiri (sholat) kurang dari dua pertiga malam atau perdua malam atau sepertiganya dan (demikian pula) segolongan orang-orang yang bersama kamu. Dan Allah menetapkan ukuran malam dan siang. Allah mengetahui bahwa kamu sekali-kali tidak dapat menentukan batas-batas waktu-waktu itu, maka Dia memberi keringanan kepadamu, karena itu bacalah yang mudah (bagimu) dari Al-Qir'an. Dia mengetahui bahwa akan ada di antara kamu orang-orang yang sakit dan orang-orang yang berjalan di muka bumi mencari bagian karunia Allah; dan orang-orang yang lain lagi yang berperang di jalan Allah, maka bacalah apa yang mudah (bagimu) dari Al-Qur'an dan dirikanlah sholat, tunaikanlah zakat dan berikanlah pinjaman kepada Allah pinjaman yang baik. Dan kebaikan apa saja yang kamu perbuat untuk dirimu niscaya kamu memperoleh (balasan)nya di sisi Allah sebagai balasan yang paling baik dan yang paling besar pahalanya. Dan mohonlah ampunan kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha pengampun lagi Maha Penyayang." 

Ayat tersebut jelas tidak ada hubungannya dengan apa yang wajib dibaca di dalam sholat. Ayat tersebut mengandung maksud bahwa Allah Ta'ala telah memberi kemudahan kepada kaum muslimin untuk sholat malam dengan jumlah rakaat kurang dari yang dilakukan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam yaitu sebelas rakaat. Inilah maksud sebenarnya dari ayat tersebut. 

Hal ini dapat diketahui oleh orang-orang yang mengetahui uslub (gaya/kaidah bahasa) dalam bahasa Arab. Dalam uslub bahasa Arab ada gaya bahasa yang sifatnya "menyebut sebagian" tetapi yang dimaksud adalah "keseluruhan." 

Sebagaimana kita tahu bahwa membaca Al-Qur'an adalah bagian dari sholat. Allah sering menyebut kata "bacaan/membaca" padahal yang dimaksud adalah sholat. Ini untuk menunjukkan bahwa membaca Al-Qur'an itu merupakan bagian penting dari sholat. Contohnya adalah dalam surat Al-Isra' ayat 78: أَقِمِ الصَّلاَةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا artinya : "Dirikanlah sholat dari tergelincir matahari (tengah hari) sampai gelap malam (Dzuhur sampai Isya). Dan dirikan pada bacaan fajar. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat). " Dalam ayat ini Allah Ta'ala menyebut "bacaan fajar" tetapi yang dimaksud adalah sholat fajar (sholat Shubuh). Demikianlah salah satu uslub dalam bahasa Arab. 

Dengan tafsiran yang sudah disepakati oleh para ulama ini (baik ulama salaf maupun ulama khalaf), maka batallah pendapat sebagaian penganut madzhab yang menolak dua hadits shahih di atas yang mewajibkan membaca Al-Fatihah dalam sholat. Dan batal juga pendapat mereka yang mengatakan hadits ahad tidak boleh dipakai untuk menafsirkan Al-Qur'an. Kedua pendapat tersebut tertolak karena dua hal yaitu : 

1.Tafsiran ayat di atas (QS. Al-Muzammil : 20) datang dari para ulama ahli tafsir yang semuanya faham dan menguasai kaidah bahasa Al-Qur'an 

2. Tidak mungkin perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam bertentangan dengan Al-Qur'an. Justru perkataan Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam itu menafsirkan dan menjelaskan isi Al-Qur'an. 

Jadi sekali lagi, ayat di atas bukan merupakan ayat yang menerangkan apa yang wajib dibaca oleh seorang muslim di dalam sholatnya. Sama sekali tidak. Baik sholat fardlu ataupun sholat sunat. Adapun dua hadits di atas kedudukannya sangat jelas, yaitu menjelaskan bahwa tidak sah sholat kecuali dengan membaca Al-Fatihah. Sekarang hal ini sudah jelas bagi kita. 

Oleh karena itu seharusnya hati kita merasa tentram dan yakin ketika kita menerima hadits-hadits Nabi Shalallahu 'alaihi wa sallam yang diriwayatkan dlam kitab-kitab sunnah atau kitab-kitab hadits yang sana-sanadnya shahih. 

Jangan sekali-kali kita bimbang dan ragu untuk menerima hadits-hadits shahih karena omongan sebagian orang yang hidup pada hari ini, dimana mereka berkata, "Kita tidak menolak hadits-hadits ahad selama hadits-hadits tersebut hanya berisi tentang hukum-hukum dan bukan tentang aqidah. Adapun masalah aqidah tidak bisa hanya mengambil berdasarkan hadits-hadits ahad saja." 

Demikianlah sangkaan mereka, padahal kita tahu bahwa Rasulullah Shalallahu 'alaihi wa sallam pernah mengutus Mu'adz bin Jabal untuk berdakwah, mengajak orang-orang ahli kitab untuk berpegang kepada aqidah tauhid , padahal Mu'adz ketika itu diutus hanya seorang diri (berarti yang disampaikan oleh Mu'adz adalah hadits ahad, padahal yang disampaikannya adalah menyangkut masalah aqidah). 

[Dinukil dari : Kaifa yajibu 'alaina annufasirral qur'anil karim, edisi bahasa Indonesia: Tanya Jawab dalam Memahami Isi Al-Qur'an, Syaikh Al AlBani]

Senin, 26 Maret 2012

Prinsip Imam Ahlus Sunnah Dalam Al Inshaf, Al Ustadz Abdul Muthi



A. Peran Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah Telah kita ketahui bersama bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah manhaj yang benar dan yang paling benar sehingga kita tidak membutuhkan lagi manhaj-manhaj yang lain. Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah telah membela dan menegakkan manhaj ini dari masa ke masa. Hal ini bisa kita saksikan dengan membaca buku-buku mereka yang mengandung bergudang-gudang ilmu di dalam menerangkan manhaj yang shahih ini. Bahkan tak jarang pula kita saksikan mereka membantah ahlul bid’ah dengan keras di dalam buku-buku mereka. Semua itu untuk menjaga Dien ini agar tetap bersih dari berbagai macam manhaj bid’ah yang selalu muncul pada setiap masa. 
A. Peran Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah Telah kita ketahui bersama bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah manhaj yang benar dan yang paling benar sehingga kita tidak membutuhkan lagi manhaj-manhaj yang lain. Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah telah membela dan menegakkan manhaj ini dari masa ke masa. Hal ini bisa kita saksikan dengan membaca buku-buku mereka yang mengandung bergudang-gudang ilmu di dalam menerangkan manhaj yang shahih ini. Bahkan tak jarang pula kita saksikan mereka membantah ahlul bid’ah dengan keras di dalam buku-buku mereka. Semua itu untuk menjaga Dien ini agar tetap bersih dari berbagai macam manhaj bid’ah yang selalu muncul pada setiap masa.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan selalu membawa ilmu ini orang-orang yang adil dari para penerus, mereka menghilangkan daripadanya perubahan dari orang yang melampaui batas (terhadap Dien), kebohongan ahlul bathil, dan pentakwilan orang-orang jahil. ” (Hadits Hasan, lihat Ta’liq Al Hiththah oleh Syaikh Ali Hasan[1])
Ilmu yang dimaksud dalam hadits ini adalah Dien sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah :
“Sesungguhnya ilmu ini adalah Dien. Maka lihatlah olehmu dari siapa kamu mengambil Dienmu. ” (Muqaddimah Shahih Muslim 1/14) Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya, Miftah Daarus Sa’adah :
“Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkan bahwa ilmu yang beliau datang dengannya akan selalu dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya yang ada di antara para penerus hingga ilmu tersebut tidak akan tersia-siakan dan tidak akan hilang[2]. ”
Demikian pula pendapat Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya, Ad Dinul Khalish 3/261-263 ketika menjelaskan hadits ini :
“Maksud ilmu dalam hadits ini adalah ilmu Al Kitab dan As Sunnah yang akan dibawa di setiap jamaah yang datang sesudah Salaf oleh orang-orang yang adil di antara mereka yang selalu meriwayatkan ilmu tersebut. Mereka menghilangkan dari ilmu itu tahriful ghalim. ” Artinya (tahriful ghalim adalah) perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas dalam perkara Dien. Arti kata tahrif adalah merubah Al Haq dengan kebathilan, baik perubahan secara lafadh maupun perubahan secara makna. Dan intihalul mubthilin maksudnya mereka menolak seluruh dustanya ahlul bathil. Kata intihal berarti seseorang mengakui sesuatu untuk dirinya dengan dusta, baik berbentuk syair atau perkataan dan kata ini adalah kiasan dari kedustaan. Ta’wiilul jahilin maksudnya mereka (orang adil dari generasi penerus) menolak seluruh takwil-takwil orang jahil dimana mereka melakukan takwil tidak dengan ilmu dan pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Akhirnya mereka memalingkan (makna ayat dan hadits) dari dhahirnya.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi Al Atsary mengatakan dalam mengomentari hadits ini :
“Maka peran dari orang yang membawa ilmu (Dien ini) sebagai ganti para Rasul, tegak di atas tiga dasar :
1) menolak perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan dalam Dien).
2) Membatalkan kebathilan.
3) Menyingkap kejahilan[3]. ”
Syaikh Salim Al Hilali berkata :
“Maka sesungguhnya membantah ahlul ahwa’ (pengikut hawa nafsu[4]) adalah pintu yang mulia dan termasuk daripada pintu-pintu jihad. Kenapa? Karena orang-orang yang melakukan (bantahan tersebut) berada pada kedudukan orang yang menjaga Dien ini. Mereka menghilangkan darinya tahrif yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw, melenyapkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang bathil, dan takwil yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil. Mereka telah mengibarkan Al Haq dan menghunus pedang ilmu agar Islam tetap putih bersih, bersinar dengan sinar yang meliputi risalah yang diturunkan kepada penutup para Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam[5]. ”
Maka dengan adanya beberapa penjelasan di atas kita ketahui bahwa merupakan sunnah para ulama Ahlus sunnah Wal Jamaah membantah ahlul bid’ah agar Dien ini tetap putih bersih sebagaimana asalnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Aku tinggalkan kamu dalam keadaan Dien ini putih bersih. Malamnya seperti siangnya yang tidak akan menyimpang daripadanya setelahku kecuali (hanya orang-orang yang) akan hancur. ” (HR. Ahmad, shahih)
Semua itu mereka lakukan dalam rangka memberi nasihat kepada umat ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Dien itu adalah nasihat (tiga kali). ” Kemudian beliau bersabda : “Nasihat itu bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi para imam kaum Muslimin, dan kaum Musilmin umumnya. ” (HR. Muslim) B. Sururiyah Dan Al Inshaf
Sururiyah adalah satu pemahaman yang dinisbatkan kepada seorang mantan anggota ikhwanul muslimin yang bernama Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin. Pemahaman ini menggembar-gemborkan sikap adil di dalam mengkritik ahlul bid’ah, buku-bukunya, dan organisasinya (baca : hizb) dengan mewajibkan untuk menyebut kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Inilah yang diistilahkan dengan al inshaf. Pemahaman al inshaf gaya sururiyyah ini telah banyak mempengaruhi para pemuda Salafiyyin. Akibatnya mereka meninggalkan manhaj yang telah digariskan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dulu dan sekarang dalam mengkritik ahlul bid’ah. Cara bersikap mereka terhadap ahlul bid’ah pun menjadi rancu. Yang lebih tragis lagi, mereka menyangka bahwa al inshaf yang digembor-gemborkan pemahaman sururiyah itu adalah manhaj yang benar, manhajnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pemahaman al inshaf gaya sururiyah ini lambat laun menjadi mantap di dalam jiwa-jiwa mereka. Sikap Al Wala’ Wal Bara’ yang ada pada mereka menjadi lemah. Semestinya mereka memberikan Al Wala’ kepada Ahlus Sunnah yang membela Dien ini dan menjaganya dari berbagai macam pikiran sesat ahlul bid’ah dengan cara membantah, mengkritik ahlul bid’ah, karyanya, dan golongannya tanpa harus berbasa-basi menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka. Ini semua dalam rangka menasihati umat agar berhati-hati terhadap ahlul bid’ah. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Mereka –para pemuda Salafiyyin tersebut– memberikan Wala’-nya (loyalitasnya) kepada ahlul bid’ah. Hal ini terbukti ketika Ahlus Sunnah mengkritik ahlul bid’ah tanpa menyebut kebaikan-kebaikan yang ada padanya, mereka beramai-ramai membela ahlul bid’ah dengan pemahaman inshaf yang mewajibkan untuk menyebut kebaikan ahlul bid’ah di dalam mengkritiknya. Yang lebih lucu lagi, mereka mengecam Ahlus Sunnah yang melakukan hal itu dan menganggap Ahlus Sunnah itu orang-orang yang kotor mulutnya, kasar, lancang, dan berbagai macam tuduhan-tuduhan lain yang mereka lontarkan dalam rangka membela ahlul bid’ah. Mereka menganggap ahlul bid’ah didzalimi karena tidak disebut kebaikannya.
Sikap Bara’ yang ada pada mereka pun demikian pula keadaannya. Semestinya sikap itu mereka berikan kepada ahlul bid’ah yang telah merusak Dien ini. Tapi apa yang terjadi? Mereka justru mem-bara’ Ahlus Sunnah yang mereka anggap telah berbuat dzalim terhadap ahlul bid’ah. Termasuk juga akibat dari adanya pemahaman al inshaf versi sururiyah ini adalah kaburnya Al Haq di hadapan kebanyakan dari pemuda Salafiyyin (baca : Ahlus Sunnah) yang terpengaruh dengan pemahaman ini sehingga mereka tidak bisa membedakan mana manhaj yang haq dan mana yang bathil. Mereka menganggap sama seluruh manhaj-manhaj yang ada sekarang ini karena seluruhnya berada di bawah bendera Islam. Konon katanya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu adanya sikap tasamuh (toleransi) sesama manhaj.
Nah, ucapan seperti inilah yang sering diucapkan para sururiyin dengan perkataan mereka :
“Kita saling tolong-menolong pada perkara yang kita sepakati dan kita saling memaafkan pada perkara yang kita perselisihkan. ” Tentu saja kalimat ini adalah kalimat yang haq, akan tetapi yang dimaksudkan dengannya adalah kebathilan karena dengan kalimat ini mereka (para sururiyin) mengambil sikap untuk toleransi dengan berbagai manhaj yang ada sekarang ini.
Oleh sebab itu, dengan berbagai macam kejadian atau kenyataan seperti yang telah disebutkan di atas, perlu kiranya kita sebutkan beberapa buku yang ditulis oleh orang-orang yang telah terpengaruh oleh pemahaman al inshaf sururiyah ini agar para pemuda Salafiyyin menghindari buku-buku tersebut demi menjaga akidah dan manhaj mereka supaya tetap lurus di atas akidah dan manhaj yang benar seperti yang telah diajarkan para Salafus Shalih. Di antara karangan mereka (sururi) adalah :
Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fi Taqwiim Ar Rijaal Wa Mu’allafaatihiim karya Ahmad Shuwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fin Naqdi Wal Hukmil Aakharin karya Ashshiny, Min Akhlaaq Ad Daa’iyah karya Salman Al ‘Audah, Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah karya Zaid Al Zaid, Al I’tidal Liman Araada Takwiim Al Jamaah Warrijal karya Al Muqthiri, dan banyak lagi karangan-karangan yang lain[6]. 
C. Beberapa Perkataan Sururiyin Mengenai Al Inshaf Dan Bantahannya
Zaid Al Zaid di dalam kitabnya Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah berkata (dengan perkataan yang rusak, red. ) :
“Ketetapan yang kelima, adil di dalam mengkritik adalah sekaligus menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka yang namanya adil (dalam mengkritik) menuntut disebutkannya kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan secara bersamaan ketika itu. Dan tidaklah termasuk al inshaf (berlaku adil dalam mengkritik) sedikit pun orang-orang yang mengkritik suatu jamaah dari jamaah-jamaah Islamiyah atau suatu umat dari umat-umat Islamiyah dengan hanya menyebutkan kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan, dan keburukan-keburukan (suatu jamaah atau suatu umat tertentu) saja. Sesungguhnya (kritikan) seperti ini melampaui batas al adl (keadilan) dan juga menyia-nyiakan kebenaran yang ada pada jamaah (atau umat) tersebut[7]. ” Berkata (dengan perkataan yang rusak, red. ) Salman Al Audah tentang al adl[8] : “Maka ketika kamu meneliti suatu kitab bukanlah termasuk al adl (keadilan) jika kamu hanya mengatakan, sesungguhnya (kitab ini) mengandung hadits-hadits dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu) –misalnya– (atau mengandung) pendapat-pendapat yang ganjil sehingga dengan demikian kamu hanya menyebutkan sisi kedhalimannya saja dan melupakan sisi yang lain yang ada dalam kitab tersebut yakni sisi yang mengandung pengarahan-pengarahan yang berfaidah atau pembahasan-pembahasan ilmiah. Sesungguhnya jika kamu hanya menyebutkan sebagian saja (dari isi suatu kitab) dan mengabaikan sebagian yang lain daripadanya, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak amanah (yakni tidak menjaga amanah). Kebanyakan dari manusia semata-mata melihat satu kesalahan pada suatu kitab karena membawakan sebuah hadits yang dhaif atau mempunyai kesalahan pada suatu permasalahan. Setelah itu dia langsung meninggalkannya dan memberi peringatan kepada manusia agar meninggalkannya pula. Kalau kita lakukan sikap seperti ini kepada kitab-kitab Ahlul Ilmi maka tidak akan tersisa bagi kita satu kitab pun. ” Kemudian dia (Salman Al Audah) berkata kembali (dengan perkataan yang rusak, red. ) pada halaman berikutnya[9] : “Sikap yang adil (al adl) adalah kita mengambil ini dan itu kemudian kita letakkan yang ini pada satu tangan timbangan dan yang lain pada tangan timbangan yang lain hingga jadilah timbangan itu lurus dan sama berat[10]. ” Berkata pula tokoh mereka (sururi) yang lain, Ahmad Ash Shuwayyan : “Yang kelima, perimbangan antara perkara yang positif dan perkara yang negatif adalah apabila telah jelas bahwa manusia bagaimanapun kedudukannya mempunyai kebenaran dan kesalahan maka tidak boleh bagi kita membuang seluruh ijtihad-ijtihadnya. Bahkan kita melihat pendapatnya yang sesuai dengan kebenaran dan kita berpegang dengan pendapatnya kemudian kita berpaling dari berbagai macam kesalahannya. Maka perimbangan (Al Muwazanah) antara perkara yang positif dan perkara yang negatif seperti inilah yang dinamakan al adl (keadilan) dan al inshaf[11]. ”
Membaca beberapa nukilan di atas kita melihat apa yang dikatakan oleh para sururiyin tersebut seakan-akan merupakan suatu kebenaran sehingga banyak dari kalangan Salafiyyin (Ahlus Sunnah) terpengaruh dengannya. Padahal tidak demikian. Kalau kita lihat bantahan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap apa yang mereka katakan itu kita baru akan mengetahui betapa bahayanya apa yang mereka katakan dan alangkah salahnya pemahaman mereka itu.
Di antara ulama Ahlus Sunnah yang membantah perkataan mereka ialah Syaikh Abu Ibrahim bin Sulthan Al Adnani. Menanggapi perkataan Zaid Al Zaid, beliau berkata :
[ Atas perkataan seperti ini maka orang yang mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan kejahatan-kejahatan seseorang, suatu kelompok atau kaset, dan lain-lain (di dalam mengkritik) adalah orang yang tidak adil bahkan berbuat dzalim di dalam menghakiminya. Perkataan seperti ini mengharuskan bahwa orang yang hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan saja (di dalam menilai) juga termasuk orang yang dzalim dan ini jelas merupakan konsekuensi yang rusak. Sedangkan konsekuensi suatu perkataan apabila rusak menunjukkan rusaknya perkataan tersebut. Hal ini akan lebih jelas bila kita melihat firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Sungguh telah kafir orang yang mengatakan : “Sesungguhnya Allah salah satu dari yang tiga … . ” (QS. Al Maidah : 73)
Pada ayat ini Allah menyebutkan kejahatan-kejahatan (nashara) dan tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Maka apakah hal ini bisa dikatakan keadilan atau kedhaliman? Akan tetapi, memang sudah merupakan manhaj mereka untuk membikin indah (suatu pendapat). Akhirnya mereka juga memperindah (pendapatnya yang di atas) agar mereka dapat melaksanakan apa yang dikehendaki … dan seterusnya[12]. ]
Dalam membantah perkataan Salman Al Audah, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata : “Al Adl (keadilan) lawan dari Al Juur (kedhaliman). Maka apabila didapati bid’ah-bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan pada suatu kitab kemudian seorang Muslim menyebutkan (kebid’ahan dan penyimpangan-penyimpangan tersebut) dalam rangka menasihati dan memberikan peringatan kepada kaum Muslimin (agar berhati-hati daripadanya), tidak bisa hal ini dikatakan termasuk daripada perbuatan dhalim sedikitpun. Permisalannya seperti seseorang yang mempunyai keburukan dan kebid’ahan kemudian kamu sebutkan apa yang dia punyai itu dalam rangka memberi nasihat. Maka tidak bisa penyebutan itu sebagai suatu kedhaliman atau perbuatan ghibah bahkan termasuk dari pintu nasihat dan ini adalah suatu perkara yang sudah diakui oleh para ulama Islam … . Sesungguhnya kedhaliman itu adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan penyebutan keburukan-keburukan dan kebid’ahan-kebid’ahan yang ada pada kitab-kitab dan orang-orang dalam rangka menasihati kaum Muslimin adalah perkara yang dianjurkan di dalam syariat. Ini dapat memberikan maslahat (kebaikan) dan menolak kerusakan-kerusakan. Seharusnya dia (Salman) mengatakan (pendapatnya) ini dalam berbuat adil terhadap nash-nash. Akan tetapi nampak bagiku dari perbuatan-perbuatannya kalau dia mengumumkan pemakaian sikap al adl seperti ini di dalam mengkritik orang-orang dan kitab-kitab tertentu. Memang sikap adil dianjurkan dan harus digunakan. Akan tetapi penyebutan keburukan-keburukan dan berbagai kebid’ahan untuk menasihati kaum Muslimin itu tidak harus bersamaan dengan disebutkannya kebaikan-kebaikan karena dengan demikian akan hilang tujuan menasihati. Dan orang yang dinasihati akan menjadi kabur pemahaman Al Haq (kebenaran) baginya. Kemudian juga tidak ada nash-nash yang berjalan di atasnya (di atas manhaj inshaf tadi) dan tidak pula ada pada amalan para Salafush Shalih. ”
Selanjutnya Syaikh Rabi’ membantah perkataan Ahmad Shuwayyan dengan mengatakan :
[ Tidak ada perselisihan dalam permasalahan ini jika terhadap imam mujtahidin yang mereka berijtihad untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya baik secara bathin maupun dzahir. Dan mereka pada keadaan yang demikian berusaha mencari Al Haq dengan ijtihadnya sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada mereka. Maka mereka mendapatkan dua pahala jika mereka benar dan mendapatkan satu pahala jika salah dan telah lewat penjelasan tentang mereka. Akan tetapi pembicaraan kita adalah pada ahlul bid’ah, ahlul dhalal, dan ahlul jahl. Allah berfirman tentang mereka :
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang membuat syariat (bid’ah) untuk mereka dalam agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura : 21)
Dan Allah juga berfirman : Katakanlah : “Rabbmu hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ” (QS. Al A’raf : 33)
Pembicaraan kita juga pada orang-orang yang berani berfatwa tanpa ilmu dan orang-orang yang membuat manhaj. Mereka meletakkan kaidah-kaidah dan membentuk ushul-ushul yang seluruhnya jauh dari manhaj Islam tanpa dalil-dalil dan keterangan-keterangan. (Pembicaraan) juga tertuju pada orang yang Allah firmankan tentang mereka.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu serta dusta, ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. ” (QS. An Nahl : 116)
Demikian pula pada pengikut-pengikut mereka (orang-orang yang telah disebutkan di atas) yang mana Allah juga berfirman tentang orang yang semisal mereka :
“Mereka menjadikan orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah. ” (QS. At Taubah : 31)
Pengikut mereka ini adalah orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebagai jawaban terhadap perkataan Adi bin Hatim ketika ia mengatakan : “Demi Allah, kami tidak pernah mengibadahi mereka (para alim dan rahib-rahib itu). ” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukankah mereka menghalalkan yang haram kemudian kalian juga ikut menghalalkannya. Dan bukankah mereka mengharamkan yang halal kemudian kalian ikut mengharamkannya?” Adi menjawab : “Benar. ” Nabi bersabda lagi : “Itulah namanya mengibadahi mereka. ” (Hadits hasan riwayat Tirmidzi dan Baihaqi) Kewajiban membedakan antara ulama mujtahidin dengan golongan-golongan manusia (seperti yang disebutkan di atas) itu sama dengan kewajiban membedakan antara orang yang berpegang dengan Al Haq, mengambil pendapat para ulama mujtahid yang sesuai dengan (Al Haq) yang Rasul datang dengannya dan menolak yang menyelisihinya dengan orang-orang yang tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah pendapatnya dari para ulama mujtahid tersebut, tidak menjauhkan diri dari mensucikan ahlul bid’ah dan ahlul jahl, mengambil pendapat-pendapat mereka yang bathil, manhaj, dan dasar-dasar mereka yang rusak. Aku tidak melihat Al Akh Suwayyan membedakan jenis-jenis manusia ini. (Sebenarnya) wajib atasnya membeda-bedakan dengan jelas dan mempunyai perhatian untuk menjelaskan bahayanya bid’ah serta berhati-hati daripadanya dan ahlul bid’ah. Uslub seperti ini –yaitu lemahnya perhatian terhadap perkara bid’ah– telah menjadi kesenangan bagi kebanyakan para da’i dan pembaharu. Bahkan kamu akan mendapati para dai tersebut membela ahlul bid’ah, memuji mereka, meninggikan sebutan mereka, dan bahkan juga menganggap sebagian tokoh ahlul bid’ah sebagai pembaharu atau imam-imam tajdid. Di sana terdapat buku-buku (yang dikarang para dai tersebut) yang ditulis untuk membela jenis-jenis manusia (yang telah disebutkan di atas). Tidak ada pada mereka (para dai) semangat untuk berpegang kepada Al Haq dan tidak ada pula kesiapan untuk membedakan Al Haq dan Al Bathil. Lisan mereka mengatakan :
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka[13]. ” (QS. Az Zukhruf : 22) ]
D. Beberapa Fatwa Para Ulama Mengenai Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Seseorang, Kitab, dan Kelompok-Kelompok
Sebenarnya Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai manhaj di dalam mengkritik. Manhaj itu telah diwariskan kepada kita oleh para ulama yang dulu maupun sekarang. Salah satu contoh dari mereka –ulama mutaqaddimin (terdahulu)– seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang tidak diragukan lagi pengorbanan beliau untuk Islam dan sikapnya yang tegas dan keras dalam mengkritik ahlul bid’ah. Beliau tidak pernah mengharuskan bagi dirinya ataupun orang lain untuk menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan penyebutan keburukan-keburukan dalam mengkritik. Beliau juga tidak pernah menganggap orang yang melakukan hal yang demikian dalam mengkritik sebagai orang yang dhalim, tidak adil, dan tidak bersikap inshaf. Ini karena memang sikap adil dan inshaf dengan cara mengharuskan untuk menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan dengan keburukan-keburukan dalam mengkritik itu tidak pernah diajarkan oleh para Salafush Shalih. Bahkan kalau kita lihat kitab karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diantaranya Majmu’ Fatawa seringkali beliau dalam kitab tersebut mengkritik ahlul bid’ah dari berbagai macam golongan dengan tidak menyebut kebaikan yang ada pada mereka.
Demikian pula yang dilakukan oleh seorang ulama besar yang bernama Hasan Al Bashri. Beliau pernah berkata : “Apakah kamu benci untuk menyebutkan (keburukan-keburukan) orang yang jahat? Sebutkanlah (keburukan-keburukan) itu oleh kamu sekalian agar manusia berhati-hati daripadanya. ” Dan telah diriwayatkan pula yang seperti ini secara marfu’. (Lihat Tafsir Suratun Nuur karangan Ibnu Taimiyyah tahqiq Ali Hasan Ali Abdul Hamid) Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab berbicara pula di dalam Syarah Ilalut Turmudzi 1/50, berkata Ibnu Abi Dunya, menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Mawardzi, aku mendengar Rafi’ bin Asyras berkata : “Pernah ada orang yang mengatakan termasuk daripada hukuman pendusta adalah tidak diterima kejujurannya dan aku katakan termasuk daripada hukuman orang yang fasik yang mubtadi’ adalah jangan disebutkan kebaikan-kebaikannya. ” Al Muhaqqiq berkata, Al Kankauhi berkata dalam kitab Al Kawkabud Durri 1/347 : “ … maka ketahuilah bahwa boleh bahkan wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada manusia aibnya (ahlul bid’ah) dan mencegah mereka dari mengambil ilmu darinya (ahlul bid’ah). Ini adalah madzhab Salaf dan hukum-hukum mereka serta muamalah mereka terhadap kitab-kitab dan pengarangnya serta ahlul bida’. Sebagaimana bisa engkau lihat pada perkataan Ibnu Taimiyyah, Imam Al Baghawi, Imam As Syathibi, Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Khatib Al Baghdadi, Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad dan para Salaf seluruhnya[14]. Dan sikap ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mutaqadimin yang seperti ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali dalam kitabnya Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif.
Di bawah ini akan disebutkan beberapa fatwa dari para masyaikh ketika ditanya tentang manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik.
Soal 1 : Jika dinisbatkan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik ahlul bid’ah dan kitab-kitab mereka apakah termasuk wajib menyebut kebaikan ahlul bid’ah bersamaan dengan kejahatan-kejahatan mereka? Atau cukup hanya dengan menyebut kejahatan-kejahatan mereka saja? Jawab :
Suatu hal yang ma’ruf di dalam perkataan Ahlul Ilmi bahwa mengkritik keburukan fungsinya adalah untuk memberi peringatan dan menerangkan kesalahan-kesalahan ahlul bid’ah yang mereka bersalah padanya. Juga untuk memberi peringatan agar berhati-hati. Adapun kebaikan-kebaikan (mereka) sudah ma’ruf dan kebaikan-kebaikan itu bisa diterima (walaupun tidak disebutkan). Akan tetapi maksud (dari menyebut kesalahan-kesalahan mereka saja) adalah untuk memberi peringatan agar berhati-hati dari kesalahan mereka seperti menyebutkan Jahmiyah (demikian) … Mu’tazilah … Rafidhah dan firqah-firqah lain yang sejenis. Maka jika sangat dibutuhkan untuk menerangkan kebenaran apa yang ada pada mereka boleh saja diterangkan dan jika ada yang bertanya kebenaran apa yang ada pada mereka (ahlul bid’ah)? Pada perkara apa mereka mencocoki Ahlus Sunnah? Apabila yang ditanya mengetahui hal itu dia (bisa) menerangkannya. Akan tetapi tujuan yang paling terbesar dan terpenting menerangkan kebathilan-kebathilan yang ada pada mereka agar orang yang bertanya itu berhati-hati dan hatinya tidak cenderung kepada mereka. Kemudian ada pula yang bertanya kepada Syaikh Bin Bazz : “Bagaimana jika ada orang yang mewajibkan al muwazanah (perseimbangan) yakni jika kamu mengkritik seorang mubtadi’ (ahlul bid’ah) karena bid’ahnya agar kamu dapat memberi peringatan kepada manusia supaya berhati-hati darinya wajib pula kamu menyebutkan kebaikan-kebaikannya hingga kamu tidak mendzalimi dia?”
Maka Syaikh Bin Bazz menjawab : “Tidak demikian keadaannya. Hal yang demikian itu tidak harus dilakukan karena apabila kamu membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah (yang menyebutkan keburukan ahlul bid’ah saja) maka kamu akan dapati tujuannya adalah memberi peringatan agar berhati-hati (dari ahlul bid’ah). Coba baca kitab-kitab karya Bukhari (seperti) kitab Khalqu Afalil Ibaad, Kitabul Adab yang ada di dalam Shahih-nya. Demikian juga kitab At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah kemudian kitab Rad Utsman bin Said Ad Darimi ala ahlil bida’ dan kitab-kitab lainnya. Mereka (para ulama) mengarangnya dalam rangka memberi peringatan agar berhati-hati dari kebathilan-kebathilan ahlul bid’ah. Lalu apa maksudnya menyebutkan kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah itu sedangkan tujuan (mengkritik ahlul bid’ah) sudah jelas untuk berhati-hati dari kebathilan-kebathilan mereka? Di samping itu kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah tidak ada nilainya kalau diukur dengan orang-orang yang menjadi kafir diakibatkan oleh kebid’ahannya. Yang ini dapat mengkafirkan dia hingga batallah kebaikan-kebaikannya itu. Dan jika kebid’ahannya tidak sampai mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya. Oleh karena itu tujuan dalam mengkritik adalah menerangkan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang kita wajib berhati-hati darinya. ” (Dikutip dari kaset rekaman salah satu pelajaran Syaikh Bin Bazz setelah shalat Fajar di Thaif tahun 1413 H)
Soal 2 : Apakah disyaratkan di dalam manhaj Salaf, al muwazanah (keseimbangan) antara kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan dalam penyebutan ketika mengkritik ahlul bid’ah? Jawab :
(Syaikh Abdul Aziz Muhammad Salman hafidhahullah) : “Ketahuilah, semoga Allah membimbing kita dan kamu serta seluruh kaum Muslimin bahwa tidak pernah didapatkan atsar yang datang dari salah seorang dari kalangan Salafush Shalih baik itu para shahabat maupun tabi’in (orang yang mengikuti mereka dengan ihsan), yang mengagungkan seorang ahlul bid’ah pun atau orang-orang yang berwala’ kepada ahlul bid’ah atau mengagungkan orang yang mengajak berwala’ kepada ahlul bid’ah. Ahlul bid’ah itu orang yang berpenyakit hatinya. Orang yang bercampur dengan mereka atau berhubungan dengan mereka dikhawatirkan akan terkena penyakit (bid’ah) mereka yang berbahaya ini karena orang sakit itu akan menjangkiti orang yang sehat dan tidak sebaliknya. Maka berhati-hatilah dari seluruh ahlul bid’ah. Dan termasuk ahlul bid’ah yang wajib dijauhi dan ditinggalkan adalah Al Jahmiyah, Rafidlah, Al Mu’tazilah, Al Maturidiyyah, Al Khawarij, Shufiyah, Al Asy’ariyyah dan siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka dari golongan yang menyimpang dari jalan para Salaf. Maka sepantasnya bagi seorang Muslim untuk berhati-hati terhadap ahlul bid’ah dan juga memberi peringatan (kepada orang lain) agar berhati-hati dari mereka. ”
Di samping permasalahan sekitar jamaah-jamaah (yang ada), pertanyaan yang senada pun pernah pula ditujukan kepada Syaikh Shalih Fauzan seperti yang dikutip di bawah ini :
Soal 3 : Apakah Anda memberi peringatan agar berhati-hati dari (keburukan-keburukan) mereka tanpa Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka? Atau akan Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka bersamaan dengan keburukan-keburukan mereka? Jawab : Apabila engkau sebutkan kebaikan mereka berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan kamu sebutkan kebaikan mereka!!! Sebutkanlah kesalahan-kesalahan mereka saja karena engkau tidak ditugaskan untuk mempelajari perbuatan (baik) mereka dan mendukungnya. Tetapi engkau ditugaskan menjelaskan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka bertaubat dan orang lain dapat berhati-hati dengannya. Adapun jika engkau sebutkan kebaikan-kebaikan mereka maka mereka akan berkata : “Semoga Allah membalasimu dengan kabaikan, inilah yang kami cari … . ” (Dikutip dari kaset rekaman pelajaran ke-3 Kitab At Tauhid oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di Thaif tahun 1413 H)[15]
E. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Kalau kita memperhatikan Al Qur’an kita akan mendapati bahwa Allah memuji kaum Mukminin tanpa menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka agar manusia tergerak hatinya untuk mencontoh mereka dan berjalan di atas jalan mereka. Sebaliknya, Allah mencela orang-orang kafir dan munafiq dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dalam rangka inshaf seperti Allah menyebutkan kekufuran, kefasikan, kemunafikan yang ada pada mereka dan mensifatkan mereka dengan ketulian, kebisuan, kebutaan, kesesatan, kebodohan, dan seterusnya. Allah tidak menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka karena memang tidak pantas untuk disebutkan walaupun mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan. Maka kalau dikatakan bahwa orang yang mengkritik dengan menyebutkan kesalahan saja tanpa menyebutkan kebaikan itu tidak berlaku adil dan tidak inshaf apakah akan kita juga mengatakan bahwa Allah tidak adil dan tidak inshaf? Maha Suci Allah dari perkataan seperti ini.
Dan kalau kita perhatikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau sangat keras memberi peringatan agar berhati-hati dari ahlul bid’ah (pengikut hawa nafsu). Beliau tidak memandang kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka karena kesalahan-kesalahan mereka lebih berbahaya dari maslahat yang dapat diambil dari kebaikan-kebaikannya. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membaca ayat (yang artinya) : “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat (ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah), itulah Ummul Kitab (Ummul Qur’an) dan yang lain mutasyabihat (yang samar-samar belum dipahami maksudnya atau hanya Allah saja yang faham maksudnya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari Rabb kami. ’ Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ” (QS. Ali Imran : 7) Aisyah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila engkau lihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat maka mereka itulah orang yang telah Allah sebutkan (pada ayat di atas) dan berhati-hatilah kamu sekalian terhadap mereka. ” (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits ini kita dapat mengambil pelajaran tentang manhaj yang shahih di dalam mengkritik ahlul bid’ah, yakni memberi peringatan agar berhati-hati dari kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada kita agar berhati-hati dari orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat tanpa beliau menoleh kepada kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Beliau tidak menyatakan Ambillah faidah dari kebaikan-kebaikan mereka dan sebutlah kebaikan-kebaikan mereka itu. Walaupun jelas mereka juga mempunyai kebaikan-kebaikan tapi kebathilannya lebih besar daripada kebaikannya. Jadi sangat menyedihkan sekali kalau sekarang kita dapati banyak dari orang-orang yang mengaku menisbahkan dirinya pada manhaj Salaf memberikan wala’-nya kepada ahlul bid’ah, membela manhaj mereka dan kitab-kitab mereka, dan memberi peringatan agar berhati-hati terhadap Ahlul Haq dan Ahlus Sunnah yang keras terhadap ahlul bid’ah. Semoga Allah menunjuki mereka!
Sikap ini pun telah ditunjukkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang memperingatkan agar berhati-hati dari orang-orang khawarij dimana beliau telah menyebutkan tanda-tandanya kepada para shahabat dengan sabdanya : “Bacaan (Al Qur’an)-mu tidak bisa mengimbangi bacaan (Al Qur’an) mereka sedikitpun. Shalat kamu tidak bisa mengimbangi shalat mereka sedikitpun. Mereka membaca Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an itu dalil bagi mereka padahal hujjah atas mereka. Makna shalat mereka tidak melewati tenggorokan mereka dan mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya. ” Dalam riwayat lain : “Sesungguhnya jika aku mendapati mereka, aku akan bunuh mereka seperti membunuh kaum Tsamud. ” (HR. Muslim)
Di sini kita dapati bahwa walaupun (orang-orang khawarij) itu hamba-hamba yang ikhlas di dalam membaca Al Qur’an, shalat, dan puasa mereka tidak dapat diimbangi oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ternyata justru kebaikan-kebaikan mereka itu menjadi celaan dan tanda kesesatan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya dan kalau Rasulullah mendapatkan mereka beliau akan membunuh mereka.
Inilah manhaj yang diajarkan Rasulullah kepada kita di dalam mentahdzir (memberi peringatan agar berhati-hati) dari ahlul bid’ah. Beliau tidak menoleh sedikitpun kepada kebaikan mereka. Kebaikan mereka bahkan bisa menjadi tanda kesesatan mereka sebagaimana yang terjadi pada orang-orang khawarij tersebut. Sikap seperti inilah yang telah diwariskan para ulama Salaf kepada kita.
Di antara sikap ulama Salaf terhadap ahlul bid’ah dapat dilihat pada pernyataan-pernyataan mereka berikut ini :
Ibnu Umar berkata tentang ahlul qadar : “Kabarkan kepada mereka, aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri daripadaku. ” Abu Qilabah berkata : “Jangan kamu bermajelis bersama ashhabul ahwa (pengikut hawa nafsu). ” Atau dia berkata : “Bersama ashhabul khushumat (orang yang suka berbantah-bantahan) karena aku merasa khawatir kalau mereka dapat menenggelamkanmu dalam kesesatan mereka dan membuat samar kepadamu perkara yang sudah kamu ketahui. ”
Seorang ahlul bid’ah berkata kepada Ayub As Sikhtiyaani : “Ya Abu Bakr, aku hendak bertanya kepadamu tentang satu kalimat!” Maka Ayub berpaling daripadanya dan mengatakan : “Tidak!!! (Walaupun) setengah kalimat[16]. ”
Demikianlah telah kita lihat bagaimana sikap para shahabat, tabi’in, dan para Imam Islam terhadap ahlul bid’ah. Mereka keras terhadap ahlul bid’ah tanpa menoleh sedikitpun kepada kebaikan-kebaikan mereka. Hal ini menunjukkan kesungguh-sungguhan mereka terhadap tujuan-tujuan Islam karena adanya kaidah yang berbunyi :
“Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan[17]. ”
Maka dengan adanya keterangan-keterangan di atas jelaslah sudah bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam mengkritik ahlul bid’ah adalah dengan menjelaskan kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka agar tidak kabur makna nasihat. Sedang mengatakan yang bathil adalah bathil itu merupakan kewajiban sekaligus keadilan meskipun kepada karib kerabat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al An’am ayat 152 yang artinya :
“Dan apabila kamu berkata maka berlaku adillah walaupun kepada karib kerabat. ”
Para ulama menafsirkan :
Yaitu katakanlah yang haq. (Lihat Tafsir Ath Thabari 5/395, Aisarut Tafasir 2/141 karya Abu Bakar Al Jazairi, Ad Durrul Mantsur 3/385 karya As Suyuthi, dan Fathul Majid halaman 36)
Ini dalam rangka untuk menasihati umat agar berhati-hati dari mereka dan kebathilan mereka. Manhaj ini adalah manhaj yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, para shahabat, tabi’in, dan para Imam-Imam Islam. Dan perlu ditegaskan lagi bahwa al adl (keadilan) atau al inshaf yang benar dalam mengkritik adalah berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dimana manhaj yang haq ini berbeda dengan manhaj sururiyah. Akhirul kalam, kita berharap kepada Allah agar Allah menetapkan hati kita semua di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kita berharap agar Dia tetap menjaga kita dari berbagai macam penyimpangan, di antaranya penyimpangan yang dilakukan oleh paham sururiyah ini. Kita juga berharap kepada Allah semoga Dia menunjuki para pemuda Salafiyyin yang terjerumus ke dalam pemahaman sururiyah dan ke dalam pemahaman-pemahaman bid’ah yang lain agar kembali kepada manhaj Salaf, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan demikian berkibarlah bendera-bendera Sunnah dan hancurlah bendera-bendera bid’ah. Amiin Ya Rabbil Alamiin, Wallahu ‘Alam Bish Shawab.
[1] Lihat ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Kitab Al Hithah fi Dzikir Sihhatis Sittah karya Siddiq Hasan Khan rahimahullah ta'ala.
[2] Miftah Darus Sa'adah 1/163, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
[3] Lihat At Tashfiyyah wat Tarbiyyah karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 25 cetakan Daarut Tauhid.
[4] Termasuk di dalamnya ahlul bid'ah.
[5] Dikutipkan dari kata sambutan Syaikh Salim Al Hilaly terhadap kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdi Rijal wal Kutub wat Thawaaif karya Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali halaman 11.
[6] Quthbiyyah halaman 19, karangan Abi Ibrahim bin Sulthan Al Adnaani.
[7] Pemahaman seperti ini juga disebutkan di dalam kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin karya Ahmad Suwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fin Naqdi wal Hukum alal Akharim karya Ash Shini halaman 27 dan Qawaaaidil Itidal karya Al Maqthiri halaman 33.
[8] Lihat kitab Min Akhlaaqid Da'iyah karya Salman Al Audah halaman 40.
[9] Lihat kitab yang sama halaman 47.
[10] Maksudnya kita mengambil seluruh isi kitab yang baik dan yang buruk kemudian yang baik kita letakkan pada suatu anak timbangan dan yang buruk pada anak timbangan yang lain maka timbangan akan sama berat. Jadi kalau kita mengkritik haruslah menyebutkan kebaikan dan keburukan dan kalau tidak maka tidak bisa dikatakan adil. Wallahu a'lam bish shawab.
[11] Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wl Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin halaman 27. Di sini kita cukupkan hanya beberapa nukilan saja dari perkataan-perkataan mereka (sururiyin) sebagai kesimpulan dari perkataan-perkataan yang lain.
[12] Lihat Al Quthbiyyah halaman 30-31.
[13] Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaaif halaman 45-48.
[14] Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 127-149.
[15] Fatwa-fatwa ini dikutip dari muqaddimah Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 8-10.
[16] Lihat Syarhus Sunnah karangan Imam Al Baghawi 1/227.
[17] Keterangan yang lebih jelas tentang bab ini lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 23-32.
(www. assunnah. cjb. net/) sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Al Ustadz Abdul Muthi