Selasa, 24 April 2012

Bolehkah Mengunjungi Candi Borobudur?



Kamis, 03-Februari-2011, Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari
 
Pertanyaan:

Apa hukumnya berkunjung ke tempat-tempat wisata yang merupakan tempat ibadah orang kafir seperti Candi Borobudur dan semisalnya ?

Rasyid Ariefiandy (salafy…@myquran.com)



Jawab:

Oleh Al-Ustadz Abu Abdillah Muhammad Al-Makassari

Alhamdulillah, ini adalah perbuatan yang didalamnya terdapat perkara-perkara yang bertentangan dengan syariat Islam, diantaranya :

1. Bertentangan dengan firman Alloh

“Dan barangsiapa memuliakan syiar-syiar Alloh maka sesungguhnya itu termasuk ketaqwaan hati kepada Alloh.” QS. Al-Hajj:32.


2. Bertentangan dengan firman Alloh

“Dan barangsiapa memuliakan perkara-perkara yang memiliki kehormatan di sisi Alloh maka hal itu lebih baik baginya di sisi Rabb-nya.” QS. Al-Hajj:30

Alloh memerintahkan dan mengagungkan syiar-syiar Islam sebagai bentuk ketaqwaan kepada Alloh, dan hal itu lebih baik bagi kita di sisi Alloh. Sedangkan tempat-tempat itu merupakan syiar-syiar kekufuran dan kesyirikan yang diagungkan dan dimuliakan oleh orang-orang kafir sebagai tandingan terhadap syiar-syiar Islam. Maka apakah pantas bagi seorang Muslim yang beriman dan bertaqwa untuk mengagumi dan mengunjunginya ?



3. Bertentangan sabda Nabi sholallohu ‘alaihi wasallam

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum maka dia termasuk golongan mereka.” [HR. Ahmad, dihasankan Ibnu Taimiyyah, Ibnu Hajar, dan Syaikh Al-Albani sebagaimana dalam Jilbabul Mar'ah Al-Muslimah, hal.203-204, dan juga oleh Syaikhuna Al-Wadi'i]



karena tempat-tempat tersebut merupakan tempat perayaan atau ‘ied bagi kaum musyrikin, sebagaimana diterangkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Bahwa setiap tempat yang dimaksudkan untuk berkumpul padanya dan beribadah ataupun selain ibadah maka itu dinamakan ‘ied atau perayaan.” [Iqtidha Ash-Shirathil Mustaqim, hal.300]



Jadi mengunjungi tempat-tempat tersebut menyerupai perayaan atau ‘ied mereka, apalagi bila waktu berkunjung tersebut bertepatan dengan waktu ‘ied atau perayaan mereka.



4. Bertentangan dengan firman Alloh

“Dan mereka hamba-hamba Alloh yang beriman tidak menyaksikan/menghadiri perkara yang mungkar.” QS. Al-Furqan:72

Jadi menghadiri/menyaksikan perkara yang mungkar bukanlah merupakan sifat orang-orang yang beriman, sementara di tempat-tempat itu terdapat berbagai macam kemungkaran. Kalaulah tidak ada kemungkaran lain selain bahwa itu adalah tempat kesyirikan maka itu sudah cukup untuk menghalangi hamba Alloh yang beriman dan bertaqwa untuk mengunjungi tempat tersebut.


5. Bertentangan dengan ayat-ayat dan hadits-hadits yang memerintahkan untuk beramar ma’ruf nahi munkar

Paling tidak dengan pengingkaran dalam hati. Adapun mengagumi dan mengunjungi tempat-tempat tsb merupakan satu bentuk keridhoan seseorang terhadapnya dan semakin mengokohkan keberadaan tempat-tempat tersebut sehingga menjatuhkan dia dalam perbuatan mudahanah, yaitu bermuka manis terhadap kemungkaran, sedangkan Alloh berfirman,

“Mereka kaum musyrikin berharap jika seandainya kamu (wahai Muhammad) bermudahanah terhadap mereka, maka mereka pun akan melakukan hal yang sama.” QS. Al-Qalam;9


Jadi Alloh mengingatkan khalil-Nya (kekasih-Nya) yang juga merupakan peringatan terhadap seluruh umat ini untuk tidak bermuka manis terhadap kaum musyrikin. Asy-Syaikh Abdurrahman As-Sa’di berkata dalam Taisir Al-Karimir Rahman ketika menafsirkan ayat ini yaitu: “Kamu setuju dengan sebagian kemungkaran yang ada pada mereka, baik dengan ucapan, atau perbuatan, atau dengan cara diam terhadap perkara yang semestinya diingkari.” Wallahu a’lam.


Disalin dari Majalah Asy-Syariah No.04/I/Syawwal 1424 H
 

Bahaya Bepergian Ke Negara Kafir



Rabu, 23-Maret-2011, Penulis: Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan
 
Bahaya Bepergian Ke Negara Kafir
Alhamdulillah segala puji bagi Allah yang telah memuliakan kita dengan Islam. Dan yang memerintahkan kita semua untuk komitmen dengan Islam hingga kita sampai ke Darussalam ( negeri keselamatan di akherat ). Dan saya bersaksi bahwasannya tidak ada tuhan yang berhak disembah kecuali Allah semata yang tiada sekutu bagi-Nya. Milik-Nya segala kekuasaan dan bagi-Nya segala pujian dan Dialah Dzat yang maha mampu atas segala sesuatu. Dan saya juga bersaksi bahwasannya Muhammad adalah hamba-Nya dan Rosul-Nya. Beliau telah memperingatkan kita selaku ummatnya dari segala sesuatu yang mendatangkan madhorot (bahaya) terhadap agama kita atau yang mengancam kemuliaan agama kita, baik berupa ucapan ataupun perbuatan, agar dengan agama ini, kita menjadi mulia di dunia dan bahagia di akherat. Sholawat serta salam semoga Allah senantiasa limpahkan kepada Nabi yang mulia yang tidak meninggalkan satu kebaikan kecuali beliau telah menunjuki ummatnya pada kebaikan tersebut. Dan tidak ada kejelekan satupun kecuali beliau telah memperingatkan darinya sebagai bukti kasih sayang beliau dan sebagai bentuk nasehat beliau kepada ummat ini. Semoga Alloh membalasi untuk beliau dari Islam dan kaum muslimin berupa sebaik-baik balasan dari balasan para nabi. Amma ba’du :

Wahai segenap manusia bertaqwalah kalian kepada Allah dan jagalah agama kalian. Wahai kaum muslimin sesungguhnya kalian telah mengetahui bahwa pada masa-masa ini terdapat gelombang kekafiran, penyimpangan dan rendahnya akhlak dan jeleknya perilaku yang menimpa Negara-negara luar negeri yang kafir. Adanya kekafiran pada Negara-negara tersebut amatlah nyata dan kerusakan padanya telah merata. Berbagai macam minuman keras, zina dan adanya prinsip bebas serta berbuat sekehendaknya dan seluruh perkara yang haram, kesemuanya itu merupakan menu harian tanpa penghalang  dan pembatas. Apabila keadaannya demikian dan bahkan lebih dari sekadar itu maka safar ( bepergian ) ke negara-negara yang demikian adalah sangat berbahaya bagi agama.

Sementara perkara yang paling berharga bagi seorang muslim adalah agamanya, lantas kenapa ia meski menghadapkan dirinya kepada perkara yang sangat berbahaya. Sekiranya seseorang itu memiliki harta dan ia mendengar bahwa  hartanya itu terancam suatu bahaya yang bisa melenyapkan hartanya itu, maka kamu akan lihat orang itu akan berusaha dengan sangat berhati-hati untuk menjaga hartanya. Maka bagaimana bisa kalau ia melihat bahwa harta itu lebih besar di pandangan matanya sementara itu ia menganggap sepele dan remeh agamanya  ?! berkata sebagian salaf :  “ Apabila kamu berhadapan dengan ancaman bahaya maka dahulukan ( korbankan )  hartamu bukan dirimu. Jika masih saja ada ancaman bahaya tersebut maka dahulukan ( korbankan ) dirimu bukan agamamu. … ya, yang wajib saat itu adalah mengorbankan dirinya jangan agamanya. Untuk itulah disyariatkan jihad yang ada padanya bunuh membunuh, hal itu dalam rangka menjaga agama. Karena manusia apabila hilang agamanya maka hilanglah segala-galanya. Dan apabila ia peduli menjaga agamanya maka ia pasti diberi kebahagiaan dan kesuksesan didunia maupun akherat.

Wahai kaum muslimin. Sesungguhnya safar ke negeri kafir terkhusus dizaman ini yang penuh dengan berbagai macam fitnah adalah tidak boleh kecuali pada keadaan tertentu yang sampai pada tingkat terpaksa dengan tetap berupaya menjaga diri dan berhati-hati dan menjauhi tempat-tempat kerusakan. Sehingga sekiranya seorang muslim tinggal disana maka sekadar karena terpaksa dengan tetap ia menampakkan ( menjalankan) agamanya, tetap menjaga sholat pada waktunya dan tidak berbaur dengan masyarakat yang rusak serta pergaulan teman yang jelek.  Manakala seorang muslim berupaya menjaga kemuliaan agamanya maka hal itu akan menambah kemulian bagi dirinya dan ketinggian bahkan dihadapan orang-orang kafir sekalipun. Sesungguhnya seorang muslim dalam membawa agamanya yang agung ini adalah mencakup seluruh kandungan maknanya yang baik dan perilaku yang terpuji. Benar dalam aqidah, bersih dalam keinginan, lurus jalan yang ditempuh , jujur dalam muamalah, tinggi diatas semua agama yang lain, sempurna dalam akhlak . Seorang muslim adalah seorang yang membawa agama yang sempurna yang Allah telah pilihkan untuk penduduk bumi semuanya hingga tegaknya yaumul qiyamah. Seorang muslim adalah orang yang menjadi contoh yang benar untuk kesempurnaan manusiawi. Sesungguhnya agama selain Islam adalah kerendahan dan mengembalikan manusia kepada kedudukan yang rendah dan celaka. Maka wajib bagi setiap muslim apabila terpaksa safar ke negeri-negeri kafir untuk membawa agama ini dengan sepenuh kenampuan, dan menampakkannya dengan berani dihadapan musuh-musuhnya yang mereka tidak mengerti hakekat agama ini, dengan tampilan yang sesuai sehingga iapun menjadi contoh yang baik bagi yang lainnya.

Sesungguhnya mayoritas orang yang pergi ke negeri-negeri tersebut (sangat disayangkan) justru menjadikan kesan yang jelek terhadap Islam dengan serbab perbuatan mereka dan polah tingkah mereka. Mereka menjadikan jelek dihadapan orang-orang yang tidak mengerti hakekat islam. Dan mereka menghalangi orang yang ingin mengerti dan mau masuk islam ketika melihat polah tingkah mereka yang membikin orang lari dari islam karena menyangka bahwa berarti islam identik dengan mereka ini.
Wahai kaum muslimin sesungguhnya pada negeri-negeri kafir terdapat fenomena peradaban yang palsu dan  mendorong dan menyeru pada fitnah yang menipu orang-orang yang lemah iman hingga hatinya pun terdecak kagum dan menganggap besar negara-negara kafir tersebut beserta penduduknya,  dan pandangannyapun  menilai rendah negara-negara islam dan kaum muslimin. Karena mereka melihat sebatas penampilan luar dari fenomena yang ada, tidak lagi melihat hakekat permasalahan. Maka negara-negara kafir itu walaupun sekiranya memakai sebuah penampilan gemerlap yang berkilau yang menipu namun penduduknya adalah orang-orang yang kehilangan sesuatu yang paling mulia yaitu agama yang benar, yang dengannya akan tenang dan tentram hati mereka, bersih jiwa mereka, terjaga kehormatan dan darah mereka dan terlindungi harta mereka. Sungguh mereka telah kehilangan itu semua maka apa gunanya fenomena kemajuan peradaban yang imitasi tersebut? aqidah mereka salah dan keliru, kehormatan mereka menjadi hina keluarga-keluarga mereka berantakan lantas apa guna penampilan bangunan yang mentereng seiring dengan rusaknya jati diri mereka selaku manusia ?

Wahai kaum muslimin : sesungguhnya musuh-musuh kalian membikin rencana-rencana untuk merampas harta-harta kalian dan merusak agama kalian dan untuk bisa mengatur kalian.  Allah Ta’ala berfirman :
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ
 “ Sebahagian besar ahli kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. ( Al Baqarah : 109 )
مَا يَوَدُّ الَّذِينَ كَفَرُوا مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ وَلَا الْمُشْرِكِينَ أَنْ يُنَزَّلَ عَلَيْكُمْ مِنْ خَيْرٍ مِنْ رَبِّكُمْ
“ Orang-orang kafir dari ahli kitab dan orang-orang musyrik tiada menginginkan diturunkannya sesuatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu. ( Al Baqarah : 105 ) (foot note : 2)
وَلَا يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّىٰ يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran), seandainya mereka sanggup”. ( Al Baqarah : 217.)
وَدُّوا لَوْ تَكْفُرُونَ كَمَا كَفَرُوا فَتَكُونُونَ سَوَاءً
“Mereka ingin supaya kamu menjadi kafir sebagaimana mereka telah menjadi kafir, lalu kamu menjadi sama (dengan mereka). ( An Nisa’ : 89 )
Sesungguhnya apabila kalian bepergian kepada mereka di negara-negara mereka maka mereka semakin memiliki peluang untuk menyimpangkan kalian dan menceburkan kalian dengan berbagai cara dan perantara hingga mereka mampu mencabut agama dari diri kalian atau setidaknya melemahkan agama pada diri kalian. Sungguh mereka menyebarkan promosi seruan kepada para pemuda muslimin di berbagai mas media koran dan majalah berupa pemgumuman tentang kemudahan mengadakan tour perjalanan wisata kenegara-negara mereka. Dan mereka menyiapkan bagi para pengunjung dari kaum muslimin berbagai sajian yang menipu mereka…. Yang tujuan mereka adalah merusak para pemuda dan menenggelamkan mereka dalam lautan syahwat selayaknya hewan sehingga nantinya  mereka kembali kenegeri muslim dengan membawa oleh-oleh kerusakan dan kehancuran maka orang-orang kafirpun semakin memiliki kesempatan menguasai kaum muslimin melalui tangan-tangan anak-anak muslimin sendiri. ( Na’udzubillah min dzalik)

Wahai segenap kaum muslimin, sungguh termasuk perkara yang sangat menyedihkan  dimana bepergian ke Negara-negara kafir telah menjadi kebanggaan sebagian kaum muslimin yang tertipu. Maka seorang diantara mereka bangga bahwa ia akan dikirim ke amerika atau anaknya akan belajar ke amerika atau ke london atau perancis. Ia bangga hal tersebut, tanpa berfikir akibat dibelakangnya. Dan tanpa memperhatikan berbagai bahaya yang mengancamnya yang akan mengoyak agamanya. … sebagian kaum muslimin bepergian bersama keluarganya untuk tinggal disana selama musim panas atau untuk rekreasi. Tanpa memandang lagi kepada hukum syareat tentang hukum bepergian tersebut apakah boleh ataukah tidak ? kemudian apabila mereka telah pergi kesana lantas meleburlah kepribadian mereka dengan orang-orang kafir. Seperti memakai pakaiannya mereka …. kalau sedemikian itu terjadi, sehingga menyebabkan adanya perubahan gaya penampilan luar lalu (apakah merasa aman ) dengan adanya perubahan bathinnya. Sungguh seorang muslim dituntut untuk senantiasa bertaqwa kepada Allah dimana saja berada dan untuk berpegang teguh serta komitmen dengan agamanya dan tidak takut akan celaan orang yang suka mencela dikala ia berjalan diatas jalan agama Allah. Kenapa mesti merasa rendah dengan agamanya ? sementara Islam adalah agama yang penuh kemuliaan dan ketinggian didunia dan akherat.
 وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
" Padahal kemuliaan itu hanyalah milik Allah, bagi Rasul-Nya dan bagi orang-orang mukmin, tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui.” ( QS. Al Munafiqun : 8 )
Sesungguhnya perilaku orang-orang kafir itu serta sikap mengikuti mereka adalah kehinaan, kerendahan dan kekurangan. Lantas kenapa seorang muslim mencari pengganti dan menukar suatu yang telah baik dengan sesuatu yang rendah dan jelek. Bagaimana bisa dia berganti posisi dari kemuliaan kepada kehinaan.. .. Termasuk perkara yang mengherankan adalah bahwa orang-orang kafir itu apabila datang ke negara-negara muslim mereka tidak merubah penampilan mereka dan tidak mengganti keadaan mereka, tetap sebagaimana sebelumnya. Sementara kita ( orang islam ) sebaliknya apabila kita pergi kepada mereka maka mayoritas kita berubah dari kebiasaan sebelumnya kepada kebiasaan orang kafir dalam hal berpakaian dan yang lainnya, sebagian orang beralasan bahwa kalau dia tidak demikian dia takutkan dirinya atau hartanya untuk diganggu. Ini merupakan alasan yang tidak bisa diterima. Karena kita lihat orang-orang yang tetap pada penampilan pakaian mereka semula dan menjaga kemulian agamanya merekapun tetap kembali dalam keadaan mereka penuh kemuliaan mereka tidak mendapat gangguan apapun. ( barang siapa yang bertaqwa kepada Allah maka Allah jadikan baginya solusi jalan keluar baginya). Kalau sekiranya diterima alasan tersebut yang ternyata adalah alasan dari sebagian orang tidak diperhitungkan, maka tentu tidak bisa diterima kalau dari orang yang mereka memiliki kedudukan sebagai penanggung jawab dan orang yang keberadaannya sebagai orang yang dihormati oleh negara-negara, kalau seiring dengan itu mereka tetap merubah penampilan pakaian mereka …. Sungguh itu adalah sikap taqlid buta dan sikap tidak mau peduli. Laahaula walaa quwwata illaa billahil ‘aliyyil ‘adzim.


Wahai segenap kaum muslimin : sesungguhnya bahaya bepergian ke negara-negara kafir sangat besar dan kerusakannya adalah amat banyak. Siapa yang bepergian ke negara-negara tersebut tanpa karena keadaan terpaksa hanya sekedar keinginan nafsu, sementara kecondongannya nafsu itu mengajak kepada yang jelek dan mengikuti orang yang tidak pantas untuk diikuti, maka dengan hal itu ia pantas untuk dihukum dan ditimpa musibah pada agamanya. Ada sebahagian orang mengirim anak-anaknya yang masih muda atau sebagian mereka membolehkan untuk mengirim mereka ke negara-negara kafir untuk belajar bahasa atau yang lainnya disana tanpa berfikir akibatnya dan tidak mempertimbangkan dampaknya, tanpa ada rasa takut kepada Alloh yang memberinya tanggung jawab terhadap anak-anaknya tersebut. Apabila anak-anak muda itu tetap berada dalam keadaan rawan dan bahaya disaat mereka masih tinggal di negeri-negeri kita sendiri yaitu ditengah-tengah kaum muslimin, lalu bagaimana lagi kalau mereka dikirim ke negara-negara kafir dan mereka hidup di sarang-sarang kerusakan dan komunitas kekafiran ? sungguh para pemuda dari anak-anak kita yang dikirim yang terbenam ditengah-tengah komunitas kafir untuk hidup tinggal lama bersama mereka disana, maka bisa dibayangkan bagaimana keadaan pemuda asing ditengah-tengah orang kafir ? apa yang akan tinggal dan tersisa pada dirinya dari agama dan akhlaknya ? maka bertaqwalah kalian kepada Allah tentang tanggung jawab terhadap anak-anak kalian janganlah engkau menghancurkan mereka dengan alasan mereka nanti akan belajar disana, padahal sungguh belajar itu bisa dilakukan disini dinegeri sendiri. Maka seperti bahasa bisa dipelajari disini tanpa harus berhadapan dengan bahaya.

Sementara pada bidang tertentu yang khusus maka tidak dikirim kesana kecuali orang-orang yang telah berumur dan orang yang kokoh aqidah mereka dan kuat akal mereka dengan disertai pantaun yang ketat terhadap mereka. Maka agama ini adalah perkara yang lebih pokok dari seluruh harta. maka adakah sesuatu yang tersisa setelah hilangnya agama. Bertaqwalah kepada Allah wahai segenap muslimin dan bersyukurlah atas pemberian Allah kepada kalian berupa nikmat yang paling besar yaitu nikmat Islam maka janganlah kalian menghadapkan pada sesuatu yang bisa menjadi sebab hilangnya nikmat ini. Jagalah agama kalian sehingga menjadikan terjaganya segala urusan kalian “ dan bertaqwalah kepada Allah sesungguhnya Allah maha mengetahui terhadap apa yang kalian amalkan”
Saya berlindung kepada Allah dari syaithon yang terkutuk.
وَلَا تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللَّهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لَا تُنْصَرُونَ
“ Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka, dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolongpun selain daripada Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (QS. Hud : 113)

( Diterjemahkan oleh Al-Ustadz Muhammad Rifai dari kumpulan khutbah Asy Syaikh Shalih bin Fauzan bin Abdillah Al Fauzan (Al Huthob Al Mimbariyyah 2/156)
----------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------

1)  Allah Ta’ala  berfirman tentang kehidupan orang-orang kafir :
 وَالَّذِينَ كَفَرُوا يَتَمَتَّعُونَ وَيَأْكُلُونَ كَمَا تَأْكُلُ الْأَنْعَامُ وَالنَّارُ مَثْوًى لَهُمْ
“ dan orang-orang kafir bersenang-senang (di dunia) dan mereka makan seperti makannya binatang. dan Jahannam adalah tempat tinggal mereka.” ( QS. Muhammad : 12 )

Dan janganlah kita tertipu dengan segala polah tingkah mereka dinegeri mereka, Allah berfirman :
لَا يَغُرَّنَّكَ تَقَلُّبُ الَّذِينَ كَفَرُوا فِي الْبِلَادِ .مَتَاعٌ قَلِيلٌ ثُمَّ مَأْوَاهُمْ جَهَنَّمُ ۚ وَبِئْسَ الْمِهَادُ
Janganlah sekali-kali kamu terperdaya oleh kebebasan orang-orang kafir bergerak di dalam negeri. ( yakni kelancaran atau kemajuan peradaban dan perdagangan serta dunia mereka ) Itu hanyalah kesenangan sementara, kemudian tempat tinggal mereka ialah Jahannam; dan Jahannam itu adalah seburuk-buruknya tempat. ( Ali Imran :196 - 197).


2) Allah Ta’ala  berfirman
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا بِطَانَةً مِنْ دُونِكُمْ لَا يَأْلُونَكُمْ خَبَالًا وَدُّوا مَا عَنِتُّمْ قَدْ بَدَتِ الْبَغْضَاءُ مِنْ أَفْوَاهِهِمْ وَمَا تُخْفِي صُدُورُهُمْ أَكْبَرُ ۚ قَدْ بَيَّنَّا لَكُمُ الْآيَاتِ ۖ إِنْ كُنْتُمْ تَعْقِلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu ambil menjadi teman kepercayaanmu orang-orang yang, di luar kalanganmu (karena) mereka tidak henti-hentinya (menimbulkan) kemudharatan bagimu. mereka menyukai apa yang menyusahkan kamu. telah nyata kebencian dari mulut mereka, dan apa yang disembunyikan oleh hati mereka adalah lebih besar lagi. sungguh telah Kami terangkan kepadamu ayat-ayat (Kami), jika kamu memahaminya. ( Ali Imran :118)
 

Tauhid, Yang Pertama dan Utama



Selasa, 05-April-2011, Penulis: Buletin A-Ilmu, Jember
 
Tidak ada keraguan lagi bahwasanya tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi dalam Islam. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits yang terkenal dari shahabat yang mulia Mu’adz bin Jabal Radhiyallah ‘anhu  ketika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam  bertanya kepadanya :

( يا معاذ ، أتدري ما حق الله على العباد وما حق العباد على الله ؟ ) قلت : الله ورسوله أعلم ؟ قال : ( حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا )

“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan hak hamba-hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribada kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)


Makna Tauhid adalah :

Upaya menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla Pencipta alam semesta, serta menjauhkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya. Tauhid merupakan agama setiap Rasul ‘alaihimus salam. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengutus mereka dengan membawa misi tauhid tersebut kepada setiap umat.

Di antara keutamaan tauhid adalah:

1. Tauhid merupakan pondasi utama dibangunnya segala amalan yang ada dalam agama ini.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersab :

بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وحَجِّ بَيْتِ اللهِ الحَرَام

“Agama Islam dibangun di atas lima dasar : (1) Syahadah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) shaum di bulan Ramadhan (5) berhaji ke Baitullah Al-Haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Tauhid merupakan perintah pertama kali di dalam Al Qur’an, sebagaimana lawan tauhid yaitu syirik yang merupakan larangan pertama kali di dalam Al Qur’an, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Al-Baqarah ayat 21-22 :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22) [البقرة/21، 22]

“Wahai sekalian manusia, ibadahilah oleh kalian Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa. Yang telah menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan, langit sebagai bangunan, dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengan air tersebut buah-buahan, sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)

Dalam ayat ini terdapat perintah Allah “ibadahilah Rabb kalian” dan larangan Allah “janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah”.

3. Tauhid merupakan poros utama dakwah seluruh para nabi dan rasul, sejak rasul yang pertama hingga penutup para rasul yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [النحل/36]

“dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (yang menyeru) agar kalian beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.” (An-Nahl: 36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ (25) [الأنبياء/25]

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al Anbiya’: 25)

4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Begitu pula lawan tauhid, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ [الإسراء/23]

“Dan Rabbmu telah memutuskan agar kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya ” (Al Isra’: 23)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا [النساء/36]

“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An Nisa’: 36)

Perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik, Allah letakkan sebelum perintah-perintah lainnya. Menunjukkan bahwa perintah terbesar adalah Tauhid, dan larangan terbesar adalah syirik

5. Tauhid merupakan syarat masuknya seorang hamba ke dalam Al –Jannah (surga) dan terlindung dari An-Nar (neraka). Sebagaimana pula lawannya yaitu syirik merupakan sebab utama masuknya dan terjerumusnya seorang hamba ke dalam An Nar dan diharamkan dari Jannah Allah.

Allah berfriman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) [المائدة/72]

“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka Allah akan mengharamkan baginya Al Jannah dan tempat kembalinya adalah An-Nar dan tidak ada bagi orang-orang zhalim seorang penolongpun.” (Al Ma’idah: 72)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui (berilmu) bahwa tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk ke dalam Al Jannah.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda pula sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

من لقي الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة ، ومن لقيه يشرك به شيئا دخل النار

“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apapun, dia akan masuk Al-Jannah dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan bebruat syirik kepada-Nya, dia akan masuk An Nar.” (HR. Muslim)

6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (65) [الزمر/65]

“Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan orang-orang (para nabi) sebelummu, bahwa jika kamu berbuat syirik, niscaya batallah segala amalanmu, dan pasti kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)

Syirik merupakan sebab batal alias tertolaknya semua amalan. Maka lawan syirik, yaitu Tauhid merupakan syarat diterimanya amalan.

* * *

Dari penjelasan tentang keutamaan tauhid di atas, maka sangatlah jelas bahwa risalah para rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini beribadah hanya kepada-Nya saja.

Ini merupakan dakwah para Rasul sejak rasul yang pertama yaitu Nabi Nuh ‘alahis salam hingga rasul yang terakhir yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Para rasul tersebut tidak hanya menuntut dari manusia agar mengakui dan mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat yang mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, akan tetapi para rasul tersebut juga menuntut dari umat manusia agar mereka mengakui dan mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak dan layak untuk diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hak peribadahan. Yakni mentauhidkan Allah dalam beribadah.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam sebagai suri tauladan yang baik bagi kita, memulai dakwah beliau dengan tauhid selama 13 tahun di Makkah dan mengingkari peribadahan kepada selain Allah, baik peribadahan kepada nabi, malaikat, wali, batu, pohon, dan sebagainya yang dilakukan oleh bangsa arab dan lainnya. Demikian pula setelah beliau hijrah, berdakwah di Madinah selama 10 tahun, beliau terus melanjutkan dakwah menuju kepada tauhid.

Begitu pula ketika beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengutus para shahabatnya untuk mendakwahi umat manusia, beliau memerintahkan kepada mereka untuk awal pertama kali yang harus disampaikan adalah dakwah tauhid Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله . وفي رواية- : إلى أن يوحدوا الله

“Maka pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Dan riwayat yang lain : dakwah agar mentauhidkan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Pada hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya tauhid adalah kewajiban pertama dan utama untuk disampaikan kepada manusia, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu untuk memulai dalam berdakwah dengan hal yang pertama dan utama untuk mereka.

http://www.assalafy.org/mahad/?p=329
 

Bahaya Berloyalitas dengan Orang Kafir



Selasa, 19-April-2011, Penulis: Al-Ustadz Abu Abdillah Abdurrahman Mubarak
 
Islam adalah agama yang haq. Hanya Islam yang akan diterima oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
إِنَّ الدِّينَ عِنْدَ اللهِ الْإِسْلاَمُ وَمَا اخْتَلَفَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ إِلاَّ مِنْ بَعْدِ مَا جَاءَهُمُ الْعِلْمُ بَغْيًا بَيْنَهُمْ وَمَنْ يَكْفُرْ بِآيَاتِ اللهِ فَإِنَّ اللهَ سَرِيعُ الْحِسَابِ
“Sesungguhnya agama (yang diridhai) di sisi Allah hanyalah Islam. Tiada berselisih orang-orang yang telah diberi Al-Kitab kecuali sesudah datang pengetahuan kepada mereka, karena kedengkian (yang ada) di antara mereka. Barangsiapa yang kafir terhadap ayat-ayat Allah maka sesungguhnya Allah sangat cepat hisab-Nya.” (Ali ‘Imran: 19)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Barangsiapa mencari agama selain Islam, tidaklah akan diterima darinya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi.” (Ali ‘Imran: 85)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هَذِهِ الْأُمَّةِ يَهُودِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ ثُمَّ يَمُوتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
“Demi Dzat yang jiwaku di tangan Nya, tidaklah ada seorang dari umat ini mendengarku, baik Yahudi atau Nasrani, kemudian dia mati dalam keadaan tidak beriman kepada apa yang aku diutus dengannya, maka dia adalah penghuni neraka.” (HR. Muslim)
Ketahuilah, di antara perkara yang telah diajarkan dalam Islam adalah menjauhi dan tidak berwala’ (loyalitas) kepada orang kafir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ أَتُرِيدُونَ أَنْ تَجْعَلُوا لِلَّهِ عَلَيْكُمْ سُلْطَانًا مُبِينًا
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Inginkah kamu mengadakan alasan yang nyata bagi Allah (untuk menyiksamu)?” (An-Nisa’: 144)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
لاَ يَتَّخِذِ الْمُؤْمِنُونَ الْكَافِرِينَ أَوْلِيَاءَ مِنْ دُونِ الْمُؤْمِنِينَ وَمَنْ يَفْعَلْ ذَلِكَ فَلَيْسَ مِنَ اللهِ فِي شَيْءٍ إِلاَّ أَنْ تَتَّقُوا مِنْهُمْ تُقَاةً وَيُحَذِّرُكُمُ اللهُ نَفْسَهُ وَإِلَى اللهِ الْمَصِيرُ
“Janganlah orang-orang mukmin menjadikan orang-orang kafir sebagai wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barangsiapa berbuat demikian niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (Ali ‘Imran: 28)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لاَ تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ إِنَّ اللهَ لاَ يَهْدِي الْقَوْمَ الظَّالِمِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu). Sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebagian yang lain. Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim.” (Al-Ma’idah: 51)
Ketahuilah, ada beberapa hal yang harus dilakukan, diperhatikan, dan dipenuhi dalam rangka menyempurnakan sikap bara’ (berlepas diri) terhadap orang kafir, di antaranya:
1. Meninggalkan (tidak mengikuti) hawa nafsu mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala telah melarang mengikuti hawa nafsu mereka dalam Al-Qur’an, di antaranya:
وَلَنْ تَرْضَى عَنْكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ قُلْ إِنَّ هُدَى اللهِ هُوَ الْهُدَى وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَ الَّذِي جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ نَصِيرٍ
ﭑ ﭒ ﭓ ﭔ ﭕ ﭖ ﭗ ﭘ ﭙﭚ ﭛ ﭜ ﭝ ﭞ ﭟ ﭠﭡ ﭢ ﭣ ﭤ ﭥ ﭦ ﭧ ﭨ ﭩﭪ ﭫ ﭬ ﭭ ﭮ ﭯ ﭰ ﭱ ﭲ ﭳ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan senang kepadamu hingga kamu mengikuti agama mereka. Katakanlah: ‘Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar).’ Dan sesungguhnya jika kamu mengikuti hawa nafsu mereka setelah datang ilmu kepadamu, maka Allah tidak lagi menjadi pelindung dan penolong bagimu.” (Al-Baqarah: 120)
Allah Subhanahu wa Ta’ala mengancam orang yang mengikuti hawa nafsu orang kafir dengan ancaman yang keras. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَكَذَلِكَ أَنْزَلْنَاهُ حُكْمًا عَرَبِيًّا وَلَئِنِ اتَّبَعْتَ أَهْوَاءَهُمْ بَعْدَمَا جَاءَكَ مِنَ الْعِلْمِ مَا لَكَ مِنَ اللهِ مِنْ وَلِيٍّ وَلاَ وَاقٍ
“Dan demikianlah, Kami telah menurunkan Al-Qur`an itu sebagai hukum dalam bahasa Arab. Dan seandainya kamu megnikuti hawa nafsu mereka setelah datang pengetahuan kepadamu, maka sekali-kali tidak ada pelindung dan pemelihara bagimu dari Allah.” (Ar-Ra’d: 37)

2. Tidak menaati perintah-perintah mereka, karena Allah Subhanahu wa Ta’ala melarang kita taat kepada orang kafir dan menegaskan jika kaum mukminin menaati mereka niscaya mereka akan dikembalikan kepada kekufuran.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا الَّذِينَ كَفَرُوا يَرُدُّوكُمْ عَلَى أَعْقَابِكُمْ فَتَنْقَلِبُوا خَاسِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu menaati orang-orang yang kafir itu, niscaya mereka mengembalikan kamu ke belakang (kepada kekafiran), lalu jadilah kamu orang-orang yang rugi.” (Ali Imran: 149)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ تُطِيعُوا فَرِيقًا مِنَ الَّذِينَ أُوتُوا الْكِتَابَ يَرُدُّوكُمْ بَعْدَ إِيمَانِكُمْ كَافِرِينَ
“Wahai orang-orang yang beriman, jika kamu mengikuti sebagian dari orang-orang yang diberi Al-Kitab, niscaya mereka akan mengembalikan kamu menjadi orang kafir sesudah kamu beriman.” (Ali Imran: 100)

3. Tidak menyandarkan diri kepada orang kafir dan orang-orang zalim.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ تَرْكَنُوا إِلَى الَّذِينَ ظَلَمُوا فَتَمَسَّكُمُ النَّارُ وَمَا لَكُمْ مِنْ دُونِ اللهِ مِنْ أَوْلِيَاءَ ثُمَّ لاَ تُنْصَرُونَ
“Dan janganlah kamu cenderung kepada orang-orang yang zalim, yang menyebabkan kamu disentuh api neraka. Dan sekali-kali kamu tiada mempunyai seorang penolong pun selain Allah, kemudian kamu tidak akan diberi pertolongan.” (Hud: 113)
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلَوْلاَ أَنْ ثَبَّتْنَاكَ لَقَدْ كِدْتَ تَرْكَنُ إِلَيْهِمْ شَيْئًا قَلِيلاً. إِذًا لَأَذَقْنَاكَ ضِعْفَ الْحَيَاةِ وَضِعْفَ الْمَمَاتِ ثُمَّ لاَ تَجِدُ لَكَ عَلَيْنَا نَصِيرًا
“Dan kalau Kami tidak memperkuat (hati)mu, niscaya kamu hampir-hampir condong kepada mereka. Jika terjadi demikian, benar-benarlah akan Kami timpakan kepadamu (siksaan) berlipat ganda di dunia ini dan begitu (pula siksaan) berlipat ganda sesudah mati, dan kamu tidak akan mendapati seorang penolong pun terhadap Kami.” (Al-Isra: 74-75)

4. Tidak mencintai dan menyayangi musuh-musuh Allah Subhanahu wa Ta’ala.
لاَ تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ أُولَئِكَ كَتَبَ فِي قُلُوبِهِمُ الْإِيمَانَ وَأَيَّدَهُمْ بِرُوحٍ مِنْهُ وَيُدْخِلُهُمْ جَنَّاتٍ تَجْرِي مِنْ تَحْتِهَا الْأَنْهَارُ خَالِدِينَ فِيهَا رَضِيَ اللهُ عَنْهُمْ وَرَضُوا عَنْهُ أُولَئِكَ حِزْبُ اللهِ أَلاَ إِنَّ حِزْبَ اللهِ هُمُ الْمُفْلِحُونَ
“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, anak-anak, saudara-saudara, ataupun keluarga mereka. Mereka itulah orang-orang yang telah menanamkan keimanan dalam hati mereka dan menguatkan mereka dengan pertolongan yang datang dari-Nya dan dimasukkan-Nya mereka ke dalam surga yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, mereka kekal di dalamnya. Allah ridha terhadap mereka dan mereka pun merasa puas terhadap (limpahan rahmat)-Nya. Mereka itulah golongan Allah. Ketahuilah, bahwa sesungguhnya hizbullah itu adalah golongan yang beruntung.” (Al-Mujadilah: 22)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullahu menerangkan, “Allah Subhanahu wa Ta’ala mengabarkan bahwasanya tidak ada orang mukmin yang mencintai orang kafir. Barangsiapa mencintai orang kafir (yakni mencintai karena agama) maka dia bukanlah mukmin.”

5. Tidak bertasyabbuh (menyerupai) orang kafir dalam perbuatan mereka yang dhahir/lahir. Karena hal tersebut akan menumbuhkan rasa cinta, kasih sayang, dan loyalitas dalam hati. Sebagaimana rasa cinta dalam batin akan menyebabkan ingin meniru secara lahir. Di antara dalil yang menunjukkan hal ini adalah sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُمْ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka termasuk golongan mereka.”
(Lihat Sabilun Najah Wal Fikak min Muwalatil Murtaddin wa Ahli Asy-Syirk hal. 50-85)

Seruan Persatuan Agama bukan Ajaran Islam
Dari penjelasan di atas kita mengetahui bahwa Islam adalah satu-satunya agama di sisi Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Islam memerintahkan kaum muslimin untuk tidak berloyalitas apalagi mencintai serta berkasih sayang dengan orang kafir.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengingatkan para pembaca tentang satu bahaya yang harus kita waspadai dan kita peringatkan umat darinya. Yaitu munculnya orang-orang yang dianggap “tokoh” belakangan ini yang menyerukan seruan sesat: persatuan agama samawi (penyatuan agama Ibrahimiyah, persaudaraan lintas iman, atau istilah yang sejenis).
Ini adalah seruan yang kufur dan menyeret kepada kekufuran. Karena, seruan kufur ini sama dengan menyeru untuk tidak mengafirkan orang kafir. Lebih parah dari itu, sama dengan menolerir serta membenarkan keyakinan orang-orang kafir.
Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab rahimahullahu berkata, “Barangsiapa tidak mengkafirkan musyrikin atau ragu tentang kekafiran mereka atau membenarkan keyakinan mereka, maka dia telah terjatuh dalam kekafiran.” (Lihat risalah Nawaqidhul Islam)
Telah ada fatwa ulama dalam masalah ini, di antaranya fatwa Al-Lajnah Ad-Da’imah no. 19402, 25 Muharam 1418 H, tersebut dalam poin ke-8 dalam fatwa tersebut:
“Seruan kepada persatuan agama jika muncul dari seorang muslim jelas merupakan kemurtadan dari agama Islam karena berlawanan dengan pokok-pokok aqidah. Karena (dia) menyeru untuk meridhai kekufuran kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, mengingkari kebenaran Al-Qur’an dan keadaannya yang menghapus kitab-kitab sebelumnya, mengingkari bahwa Islam menghapus seluruh agama, syariat, dan lainnya. Berdasarkan hal ini maka seruan tersebut adalah pemikiran yang tertolak secara syar’i dan dipastikan keharamannya, berdasarkan semua dalil syar’i dalam Islam dari Al-Qur’an, As-Sunnah, dan ijma’.” (Dinukil dari Risalah Tsalats Fatawa Muhimmah)

Seruan Persatuan Agama Adalah Pemikiran Yahudi-Nasrani
Seruan ini sebetulnya seruan yang berasal dari kaum Yahudi dan Nasrani untuk menyesatkan dan memurtadkan kaum muslimin. Berdasarkan perjalanannya dalam sejarah, seruan mereka ini mengalami empat marhalah (fase):
1. Di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam
Allah Subhanahu wa Ta’ala telah memberitakan bagaimana usaha Yahudi dan Nasrani untuk memurtadkan kaum muslimin dari agamanya, mengembalikan mereka kepada kekufuran dan menyeru untuk mengikuti Yahudi atau Nasrani.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَدَّ كَثِيرٌ مِنْ أَهْلِ الْكِتَابِ لَوْ يَرُدُّونَكُمْ مِنْ بَعْدِ إِيمَانِكُمْ كُفَّارًا حَسَدًا مِنْ عِنْدِ أَنْفُسِهِمْ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمُ الْحَقُّ فَاعْفُوا وَاصْفَحُوا حَتَّى يَأْتِيَ اللهُ بِأَمْرِهِ إِنَّ اللهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ
“Sebagian besar Ahli Kitab menginginkan agar mereka dapat mengembalikan kamu kepada kekafiran setelah kamu beriman, karena dengki yang (timbul) dari diri mereka sendiri, setelah nyata bagi mereka kebenaran. Maka maafkanlah dan biarkanlah mereka, sampai Allah mendatangkan perintah-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” (Al-Baqarah: 109)
وَقَالُوا كُونُوا هُودًا أَوْ نَصَارَى تَهْتَدُوا قُلْ بَلْ مِلَّةَ إِبْرَاهِيمَ حَنِيفًا وَمَا كَانَ مِنَ الْمُشْرِكِينَ
Dan mereka berkata: “Hendaklah kamu menjadi penganut agama Yahudi atau Nasrani, niscaya kamu mendapat petunjuk.” Katakanlah: “Tidak, melainkan (kami mengikuti) agama Ibrahim yang lurus dan bukanlah dia (Ibrahim) dari golongan orang musyrik.” (Al-Baqarah: 135)
2. Marhalah kedua adalah menyeru kepada pemikiran ini setelah habisnya masa tiga generasi utama.
Muncul kembali di masa ini seruan kufur ini dengan slogan bahwa Yahudi, Nasrani, dan Islam adalah seperti mazhab yang empat yang ada pada kaum muslimin. Pemikiran ini diterima oleh sebagian penyeru “wihdatul wujud”, ahlul hulul wal ittihad, orang-orang sesat dari kalangan Shufiyah (sufi) di Mesir, Syam, dan Persia serta sebagian negeri non-Arab. Demikian juga orang-orang sesat dari kalangan Rafidhah. Kesesatan mereka sampai taraf membolehkan seseorang masuk Yahudi atau Nasrani, bahkan menyatakan Yahudi dan Nasrani lebih afdhal (utama). Syaikhul Islam rahimahullahu telah membahas dan menyingkap kebobrokan mereka dalam kitab-kitabnya (lihat Majmu’ Fatawa). Di antara orang-orang ekstrem yang telah dibantah Ibnu Taimiyah adalah: Al-Hallaj, Ibnu ‘Arabi, At-Tilmisani, dan Ibnu Hud.
3. Marhalah ketiga adalah menyeru kepada pemikiran ini di pertengahan abad ke-14 H.
Seruan kepada kekufuran ini kemudian kembali didengungkan pada masa tersebut yang dipelopori kelompok Freemasonry yaitu gerakan Yahudi untuk menguasai dunia dan menyebarkan kesesatan dengan: Menyeru persatuan agama, menolak ta’ashub karena semua beriman kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Di antara yang terjerat jaring dakwah mereka adalah Jamaludin Al-Afghani dan Muhammad Abduh. Di antara ulah Muhammad Abduh adalah bersama seorang Iran, Muhammad Baqir Al-Irani, yang telah masuk Nasrani kemudian kembali kepada Islam, dan beberapa orang lainnya membuat satu organisasi Jum’iyah Ta’lif wa Taqrib (Penyatuan dan Pendekatan). Inti kerja perkumpulan ini adalah mendekatkan (menyatukan) tiga agama.
4. Marhalah keempat adalah menyeru kepada pemikiran ini di masa sekarang
Di akhir abad ke-14 sampai zaman kita ini, Yahudi dan Nasrani kembali menyuarakan persatuan agama ini dengan berbagai macam slogan:
- Persatuan pengikut Musa q, Isa q, dan Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam
- Seruan persatuan agama Ibrahimiyah, dan slogan-slogan lainnya.
(Lihat tentang perkembangan pemikiran ini dalam kitab Al-Ibthal li Nazhariyatil Khalth baina Dinil Islam wa Ghairiha minal Adyan hal. 16-24)
Kami paparkan perkembangan pemikiran kufur ini agar jelas bagi kita bahwa pemikiran ini berasal dari Yahudi dan Nasrani, yang dibungkus dengan slogan-slogan yang menipu kaum muslimin.
Oleh karenanya seorang muslim tidak boleh menerima seruan tersebut, apalagi mengikuti pertemuan-pertemuan/muktamar-muktamar mereka. Bahkan seorang muslim haruslah menolak dan memperingatkan umat dari pemikiran sesat ini serta mengusirnya dari negeri kaum muslimin. Pemerintahan muslim wajib menghukum para penyeru pemikiran ini dengan hukuman atas seorang murtad. Ini semua dalam rangka menjaga agama, dan sebagai sebuah bentuk ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjaga aqidah kaum muslimin.
Ketahuilah, barakallahu fikum (semoga Allah Subhanahu wa Ta’ala memberkahi Anda sekalian), makar Yahudi dan Nasrani yang didukung para “tokoh” kesesatan untuk memurtadkan kaum muslimin akan terus bergulir. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَلاَ يَزَالُونَ يُقَاتِلُونَكُمْ حَتَّى يَرُدُّوكُمْ عَنْ دِينِكُمْ إِنِ اسْتَطَاعُوا وَمَنْ يَرْتَدِدْ مِنْكُمْ عَنْ دِينِهِ فَيَمُتْ وَهُوَ كَافِرٌ فَأُولَئِكَ حَبِطَتْ أَعْمَالُهُمْ فِي الدُّنْيَا وَالْآخِرَةِ وَأُولَئِكَ أَصْحَابُ النَّارِ هُمْ فِيهَا خَالِدُونَ
“Mereka tidak henti-hentinya memerangi kamu sampai mereka (dapat) mengembalikan kamu dari agamamu (kepada kekafiran) seandainya mereka sanggup. Barangsiapa yang murtad di antara kamu dari agamanya, lalu dia mati dalam kekafiran, maka mereka itulah yang sia-sia amalannya di dunia dan di akhirat, dan mereka itulah penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.” (Al-Baqarah: 217)
Mudah-mudahan sedikit yang kami sampaikan ini bisa menjadi peringatan dan menjadi bekal bagi kita semua untuk senantiasa menjaga diri kita dan keluarga dari makar orang-orang kafir.
Wallahu a’lam.
http://www.asysyariah.com/print.php?id_online=787
 

Jimat, Benarkah dalam Agama?




Selasa, 02-Agustus-2011, Penulis: Al-Ustadz Abu Usamah Abdurrahman bin Rawiyah An-Nawawi
 
Jimat sepertinya telah menjadi ‘teknologi’ yang mengiringi kehidupan manusia di jaman yang konon telah sangat rasional ini. Batu akik, ikat pinggang, liontin, koin, tasbih, istambul, dan semacamnya kini tidak sekedar benda mati tapi telah ‘naik kelas’ karena diyakini mampu menjadi pelindung, mendatangkan rizki, atau pemikat lawan jenis. Parahnya, benda-benda semacam itu kini juga menjadi komoditi dagang yang laris diperjualbelikan lewat media.

Masyarakat kita sesungguhnya sangat paradoksal. Di satu sisi, mereka sangat mengagungkan teknologi (baca: akal) namun di sisi lain, mereka juga masih menggantungkan hidup mereka pada benda-benda yang diyakini memiliki kekuatan tertentu, lepas darimana ‘kekuatan’ itu bersumber. Tentu saja ini menjadi lucu karena manusia mesti tunduk dan menghamba kepada benda-benda mati yang tidak bisa melindungi dirinya sendiri. Mereka justru melupakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, Pencipta segala yang mereka sembah itu.

Keterbatasan Akal

Selama ini, akal sering dijadikan alat untuk mengotak-atik syariat. Bila sesuai dengan akal berarti ma’qul (masuk akal) dan harus diterima. Sementara bila tidak sesuai dengan akal disebut ghairu ma’qul (tidak masuk akal) dan tidak diterima. Akal seakan-akan telah menjadi sumber kebenaran dan parameter utama dalam mengukur baik buruknya suatu permasalahan. Sementara dalil justru hanya menjadi syawahid dan mutaba’at (penguat) terhadap hukum akal. Sehingga gelar orang pintar lebih banyak disandang oleh orang-orang yang mampu menghukumi dalil dengan hukum akal, yang berani mempertentangkan dalil-dalil dengan akal, bahkan termasuk dalam barisan ini adalah orang-orang yang berani melakukan sesuatu yang bertentangan dengan dalil naqli dan di luar hukum akal. Mampukah akal menyingkap rahasia-rahasia syariat dan hikmah-hikmahnya? Dan mampukah akal berdiri sendiri menentukan jalan keselamatan tanpa bimbingan syariat?

Hakikat Akal

Akal adalah makhluk ciptaan Allah Subhanahu wa Ta’ala yang merupakan bagian kecil dari anggota tubuh manusia. Tentu sebagai makhluk tidak ada yang sempurna. Karena tidak sempurna itulah berarti memiliki keterbatasan dan tidak sanggup menentukan maslahat hidup yang sempurna di dunia dan akhirat. Kesempurnaan hanyalah milik Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan semua akan berakhir kepada-Nya. Karena akal terbatas, maka ia harus tunduk di hadapan syariat dan tidak diperkenankan menghakimi syariat Allah Subhanahu wa Ta’ala. Konsep yang benar dalam pandangan agama adalah “akal yang sehat dan lurus tidak akan bertentangan dengan dalil-dalil yang shahih.” Bila terjadi pertentangan berarti hukum akal lah yang harus dihakimi dan dipertanyakan. Bukan malah dalil-dalil shahih yang harus dihakimi dengan ditakwil maknanya, diselewengkan, atau diragukan keshahihannya. Lebih-lebih jika dalil-dalil yang shahih itu kemudian ditolak dan dilempar di belakang punggung-punggung mereka tanpa sedikitpun rasa takut kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Inilah sesungguhnya konsep pemuja akal di mana jika akal bertentangan dengan dalil yang shahih, maka harus mendahulukan akal.

Dengan konsep batil yang merupakan ramuan iblis-iblis pemikir ahli kalam ini, muncullah sekte-sekte pemuja dan penuhan akal, aliran-aliran yang berakhlak dengan akhlak iblis la’natullah ‘alaih. Sungguh para ulama telah mengecam keras pemikiran semacam ini karena menyesatkan umat dan menjauhkan mereka dari jalan Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Dari Ali bin Abu Thalib radhiallahu ‘anhu berkata:

لَوْ كاَن الدِّيْنُ بِالرَّأْيِ لَكاَن أَسْفَلُ الْخُفِّ أَوْلَى بِالْمَسْحِ مِنْ أَعْلاَهُ، وَقَدْ رَأَيْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلىَّ اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَمْسَحُ عَلىَ ظاَهِرِ خُفَّيْهِ

“Kalau sekiranya agama itu dari akal niscaya bagian bawah khuf[1] lebih pantas untuk diusap daripada bagian atasnya. Dan sungguh aku telah melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap punggung (atas) khufnya.” (HR. Abu Dawud 162, Al-Baihaqi 1/292, Ad-Daruquthni 1/75, Ad-Darimi 1/181, Al-Baghawi 239, dan Ahmad 943&970. Dishahihkan oleh Ibnu Hajar rahimahullah di dalam kitab At-Talkhis Al-Khabir 1/160)

Dari Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu bahwa beliau berkata tatkala beliau mencium Hajar Aswad:

“Aku mengetahui bahwa engkau adalah batu yang tidak bisa memberikan mudharat atau manfaat. Dan jika aku tidak melihat Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menciummu, niscaya aku tidak akan menciummu.” (HR. Al-Bukhari no. 1610 dan Muslim no. 1270)

Diriwayatkan dari Umar bin Al-Khaththab radhiallahu ‘anhu:

“Hati-hati kalian dari pemuja akal karena mereka adalah musuh-musuh As Sunnah. Amat berat bagi mereka untuk menghafal hadits sehingga mereka berkata dengan apa yang dihasilkan oleh akalnya, mereka tersesat dan menyesatkan.” (HR. Al-Lalikai 1/23, Al-Faqih wal Mutafaqqih karya Al-Baghdadi 1/180, dan Ibnu Abdul Bar di dalam kitab Al-Jami’, 274)

Adz-Dzahabi rahimahullah berkata: “Apabila kamu melihat ahli kalam dan ahli bid’ah berkata: ‘Singkirkan dari kami Al Qur`an dan hadits-hadits ahad serta bawa kemari akal’, maka ketahuilah dia adalah Abu Jahal.” (Siyar A’lami An-Nubala` 4/472)

Hakikat Jimat

Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abdullah bin Mas’ud radhiallahu ‘anhu, Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam mengisyaratkan tentang jimat dan hukumnya. Kata Ibnu Mas’ud: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

إِنَّ الرُّقَى وَالتَّماَئِمَ وَالتِّوَلَةَ شِرْكٌ

“Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna adalah syirik.” (HR. Al-Imam Ahmad di dalam Musnad 1/381, Abu Dawud di dalam Sunan-nya 7/630, Al-Hakim di dalam Al-Mustadrak 4/217, 418, Ath-Thabrani di dalam Al-Kabir 10.503, dan Al-Baihaqi di dalam Sunan Al-Kubra 9/350. Dishahihkan Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah di dalam Shahih Sunan Abu Dawud no. 3288, Shahih Sunan Ibnu Majah no. 2845, Silsilah Ahadits Ash-Shahihah no. 331 1/648, dan Ghayatul Maram no. 298)

Jimat adalah permata yang dirangkai atau tulang belulang kemudian dikalungkan di leher-leher anak dengan tujuan menolak bala. (Lihat Kitabut Tauhid karya Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah, Fathul Majid 1/650)

Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah menjelaskan:

“Memang asal jimat itu adalah permata yang dirangkai yang digantungkan pada leher anak agar terpelihara dari gangguan mata-mata jahat. Kemudian mereka perluas makna jimat tersebut sehingga mereka menamakan jimat pada segala bentuk perlindungan. Contoh: sebagian mereka menggantungkan sepatu kuda di pintu-pintu rumah atau di tempat yang nampak jelas, menggantungkan sandal di bagian depan mobil atau bagian belakangnya, atau marjan yang berwarna biru di bagian depan kaca mobil bagian dalam dekat sopir dengan tujuan untuk menolak bala.” (Silsilah Al-Ahadits Ash-Shahihah, 1/650)

Kaidah dalam Menjadikan Sesuatu sebagai Asbab (Sebab)

Kata asbab (lantaran, Jw) terkadang dijadikan alasan untuk melakukan kesyirikan dan penggugat balik terhadap setiap orang yang mengingkari kesyirikan. Para pemakai jimat dan pengagung kuburan, tempat-tempat keramat, pohon-pohon yang antik dan aneh, terkadang beralasan membolehkan semua itu dengan hanya meyakininya sebagai sebab. Benarkah itu?

a. Cara Mengetahui bahwa Sesuatu adalah Sebab

Mengetahui sesuatu itu sebab atau bukan sebab adalah bagian dari dien. Dan akan membahayakan seseorang bila tidak mengetahuinya. Telah disebutkan oleh para ulama bahwa mengetahui sesuatu itu sebab atau bukan dengan dua cara:

Pertama: Melalui penetapan syariat bahwa sesuatu itu sebagai sebab. Seperti Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan tentang salah satu fungsi madu:

فِيْهِ شِفاَءٌ لِلنَّاسِ

“Di dalam (madu itu) ada obat bagi manusia.” (An-Nahl: 69)

Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan pula tentang faidah membaca Al Qur`an:

وَنُنَزِّلُ مِنَ الْقُرْآنِ ماَ هُوَ شِفآءٌ وَرَحْمَةٌ لِلْمُؤْمِنِيْنَ

“Dan Kami turunkan dari Al Quran sesuatu yang menjadi penawar (obat) dan rahmat bagi orang-orang yang beriman.” (Al-Isra`: 82)

Kedua: Melalui cara yang secara alami memiliki manfaat. Contohnya kita mencoba sesuatu di mana setelah itu ternyata benda tersebut bermanfaat bagi penyakit yang diderita, namun dengan syarat pengaruhnya jelas dan terjadinya secara langsung. (Lihat Al-Qaulul Mufid Syarh Kitabit Tauhid, 1/208)

Sikap yang benar dalam menetapkan sesuatu itu sebab, baik secara syariat atau alami, adalah apa yang dikatakan oleh Al-Imam As-Sa’di rahimahullah di dalam Al-Qaulul As-Sadid hal. 36: “Wajib atas setiap hamba mengetahui tiga perkara dalam permasalahan sebab:

Pertama: Dia tidak menjadikan sesuatu itu sebab kecuali bila telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sebab baik secara syar’i atau alami.

Kedua: Dia tidak menyandarkan diri kepada sebab itu akan tetapi dia bersandar kepada yang menciptakan sebab itu, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. Bersamaan dengan itu dia berusaha melaksanakan sebab-sebab yang disyariatkan dan segala yang bermanfaat.

Ketiga: Hendaklah dia mengetahui bahwa bagaimanapun besar dan kuatnya sebab itu, tetap terikat dengan ketentuan dan keputusan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan tidak bisa terlepas darinya. Dan Allah Subhanahu wa Ta’ala berbuat segala apa yang dikehendaki-Nya.

b. Melaksanakan Sebab yang Disyariatkan tidak Melemahkan Keyakinan Seseorang kepada Allah

Melaksanakan sebab yang telah disyariatkan termasuk bagian syariat. Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “(Kesimpulannya adalah) menggugurkan (meninggalkan) sebab bukanlah termasuk ketauhidan. Bahkan melaksanakan sebab dan meletakkan sebab itu pada tempat yang telah diletakkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala termasuk dari wujud kemurnian aqidah. Dan ucapan “harus meninggalkan sebab” adalah tauhid (kelompok sesat) Qadariyah Jabriyah pengikut Jahm bin Shafwan dalam masalah jabr.” (Madarijus Salikin 3/495)

Dan meyakini sesuatu sebagai sebab padahal sesungguhnya hal itu bukan sebab, termasuk syirik kecil (Al-Qaulul Mufid, 1/208). Ibnul Qayyim rahimahullah mengatakan: “Melihat (menengok) kepada sebab ada dua bentuk:

Pertama: Syirik kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan

Kedua: Termasuk ubudiyah dan tauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Termasuk kesyirikan menyandarkan diri kepada sebab dan tenteram dengannya, meyakini bahwa sebab itu sebagai satu-satunya yang bisa mewujudkan segala keinginan, dan berpaling dari yang menciptakan sebab itu, yaitu Allah Subhanahu wa Ta’ala. (Madarijus Salikin 3/499)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin rahimahullah berkata: Manusia dalam permasalahan sebab terbagi menjadi (tiga kelompok), dua berada di ujung dan satu di tengah:

Pertama: segolongan orang mengingkari sebab-sebab, mereka adalah golongan yang menafikan hikmah-hikmah Allah Subhanahu wa Ta’ala seperti golongan Jabariyah dan Qadariyah.

Kedua: segolongan orang melampaui batas dalam menetapkan sebab sehingga mereka menjadikan sesuatu yang tidak disyariatkan sebagai sebab, seperti yang dilakukan mayoritas ahli khurafat dari kalangan sufi dan selain mereka.

Ketiga: orang yang mengimani adanya sebab dan segala pengaruhnya akan tetapi mereka tidak menetapkan sesuatu sebagai sebab kecuali bila telah ditetapkan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan Rasul-Nya, baik secara syar’i atau takdir (inilah golongan yang benar, pen.).” (Lihat Al-Qaul Al-Mufid syarah Kitab Tauhid 1/205)

Apakah Jimat Merupakan Sebab-sebab yang Disyariatkan untuk Menangkal Bala`?

Cara menetapkan sesuatu itu sebagai sebab telah dijelaskan di atas, yaitu penetapan secara syariat atau secara alami. Mari kita meninjaunya dari kedua sisi ini.

a. Sisi Syariat

Mengatakan atau menghukumi bahwa jimat merupakan sebab untuk menolak bala harus ada keterangan dari Allah dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sementara yang kita dapati, jimat telah divonis Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai satu bentuk kesyirikan dalam riwayat Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu di atas. Dari sini jelas bahwa jimat dalam pandangan syariat bukan sebagai sebab. Dan menjadikan sesuatu sebab yang tidak dijadikan oleh syariat sebagai sebab termasuk syirik kecil.

b. Sisi Alami

Untuk mengatakan secara alami bahwa jimat bisa sebagai sebab penolak bala harus memenuhi dua syarat sebagaimana telah disebut di atas, yakni jelas pengaruhnya dan harus langsung. Sementara jimat itu belum jelas pengaruhnya dan secara tidak langsung. Ini sangat bertentangan dengan kaidah penetapan sesuatu itu sebagai asbab.

Dari kedua tinjauan ini maka sangat jelas sekali bahwa jimat bukan sebagai sebab syar’i ataupun alami untuk menolak bala` atau segala malapetaka.

Bentuk-bentuk Jimat

Jimat kini tidak hanya ‘beredar’ di kalangan sufi dan dilakukan sembunyi-sembunyi, namun telah dikomersialkan melalui iklan di berbagai media massa. Bagi orang yang ingin menjadi jawara mesti memiliki jimat kebal atau jimat kesaktian agar tahan bacok bahkan tahan peluru. Bentuk jimat ini bermacam-macam. Ada yang berbentuk mantra-mantra, sabuk, rajah-rajah, atau kumpulan benda-benda khusus seperti tempurung kelapa, tempurung kerang yang dicor yang kemudian diletakkan di dalam secarik kain dan sebagaianya.

Sebagian pedagang juga memiliki jimat khusus yang disebut dengan penglaris dengan maksud bisa melariskan dagangan atau agar tidak terkena niat orang-orang yang dengki kepadanya. Sementara sebagian peternak juga memiliki jimat tersendiri yang digantung di pintu atau pojok-pojok kandang supaya tidak disentuh tangan-tangan jahat atau pencuri. Begitu juga sebagian rumah-rumah kaum muslimin tidak terlepas dari semua itu.

Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullah berkata di dalam fatwa-fatwa beliau tentang jimat (2/238): “Apabila jimat-jimat itu dari nama-nama jin, tulang, akar kayu, besi-besi dari paku, rajah-rajah, atau yang sepertinya, maka ini termasuk dari perbuatan syirik kecil dan terkadang menjadi syirik besar apabila yang menggantungkan jimat itu berkeyakinan bahwa jimat tersebut bisa menjaganya atau menyingkap penyakit yang diderita atau menolak mudharat tanpa izin Allah dan kehendak-Nya.”

Hukum Menggantungkan Jimat

Sudah disebutkan di atas bahwa jimat termasuk dari kesyirikan kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala, hal ini sangat jelas keharamannya. Lalu bagaimana hukum memakainya? Jawabannya butuh rincian.

Pertama: akan menyebabkan terjatuh kepada syirik akbar (besar) bila disertai keyakinan bahwa jimat itu sendiri yang memberikan pengaruh selain Allah Subhanahu wa Ta’ala, yang bisa menolak mudharat dan mendatangkan manfaat, serta membentengi setiap orang yang memakainya. Dan pelakunya telah keluar dari Islam, halal darahnya untuk ditumpahkan dan hartanya untuk dirampas, mengekalkan dirinya di dalam an-naar (neraka) bila dia mati dan belum bertaubat, serta menghapus seluruh amalan yang dilakukan di dalam Islam.

Kedua: akan menyebabkan terjatuh dalam perbuatan syirik kecil bila dia meyakini bahwa jimat itu hanya sebagai sebab semata, adapun yang mendatangkan manfaat dan menolak segala bentuk malapetaka yang menimpanya adalah Allah Subhanahu wa Ta’ala. Menjadikan sesuatu sebab yang tidak pernah dijadikan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sebagai sebab adalah syirik kecil. (Lihat Al-Qaulul Mufid 1/204, Al-Qaulul Sadid hal. 38, Fatawa Syaikh Ibnu Baz 2/384)

Hukum bila Jimat itu dari Al Qur`an

Terkadang jimat berasal dari Al Qur`an atau tulisan ayat-ayat Al Qur`an atau nama-nama Allah. Apakah hukumnya sama dengan jenis-jenis jimat di atas?

Tentang hal ini, terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama salaf:

a. Sebagian mengatakan boleh. Dan mereka memaknakan hadits yang menjelaskan keharaman jimat itu dengan makna jimat yang mengandung kesyirikan. Di antara ulama yang berpendapat demikian adalah Abdullah bin ‘Amr bin Al-’Ash dan diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, akan tetapi riwayat dari kedua shahabat ini lemah. Dan ini adalah ucapan Abu Ja’far Al-Baqir, Ahmad bin Hambal dalam satu riwayat.

b. Sebagian mengatakan diharamkan. Yang berpendapat demikian di antaranya Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Abbas, dan dzahir ucapan Hudzaifah, ‘Uqbah bin ‘Amir, dan Ibnu ‘Akim dan demikian juga ucapan sejumlah tabi’in di antara mereka murid-murid Ibnu Mas’ud, dan Ahmad di dalam sebuah riwayat yang dipilih oleh mayoritas murid beliau dan yang diperkuat oleh ulama mutaakhirin (belakang ini). Mereka berdalil dengan keumuman hadits Ibnu Mas’ud: Aku telah mendengar Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Sesungguhnya jampi-jampi, jimat-jimat, dan guna-guna termasuk dari kesyirikan.” (HR. Ahmad, Abu Dawud, Ibnu Majah dan Al-Hakim)

Asy-Syaikh Shalih Fauzan hafizhahullah men-tarjih (menguatkan) dari kedua pendapat ini beliau mengatakan: Yang benar (dari kedua) pendapat ini adalah pendapat yang mengatakan haram dengan beberapa alasan:

Pertama: Keumuman larangan dan tidak ada dalil-dalil yang mengkhususkannya

Kedua: Menutup jalan-jalan yang akan mengantarkan kepada (perbuatan) menggantungkan selain Al Qur‘an atau nama-nama Allah

Ketiga: Akan terjatuh pada penghinaan terhadap Al Qur`an dan nama-nama Allah tersebut karena akan dibawa ke tempat najis atau dipakai untuk mencuri, merampok, dan berkelahi.

Dan pendapat kedua ini pula yang dikuatkan oleh ulama masa kini seperti Asy-Syaikh Sulaiman bin Abdullah bin Asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dalam kitabnya Taisir Al-’Aziz Al-Hamid, Asy-Syaikh Abdurrahman bin Hasan Alusy-Syaikh dalam kitabnya Fathul Majid, Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Baz, Asy-Syaikh Muhammad Nashiruddin Al-Albani, Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-’Utsaimin, dan Asy-Syaikh Muqbil bin Hadi rahimahumullah.

Kesimpulan dari pembahasan ini bahwa segala bentuk jimat baik dari Al Qur`an ataupun bukan, diharamkan karena keumuman larangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam. Oleh karena itu, dinasehatkan kepada kaum muslimin agar segera meninggalkannya dan hanya kembali kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam meminta segala kemanfaatan dan minta dijauhkan dari segala malapetaka. Meminta perlindungan dan penjagaan kepada Allah semata itulah aqidah yang benar, dan tidak ada setelah kebenaran itu melainkan kebatilan.

Wallahu a’lam.

Sumber: Majalah Asy-Syari’ah Vol. II/No. 14/1426 H/2005

Apakah Sihir itu Benar Ada?



Rabu, 07-September-2011, Penulis: Buletin Islam AL-ILMU
 
Pembaca rahimakumullah, sihir itu ada hakekatnya dan terjadi dengan sebenarnya. Akan tetapi segala sesuatu tidak akan terjadi kecuali  dengan izin Allah ‘azza wa jalla dan ini merupakan aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah  yang didasarkan pada Al Qur`an dan Al Hadits sesuai dengan pemahaman Salaful Ummah (pendahulu umat ini).

Berkata Abu Muhammad Al Maqdisi rahimahullah di dalam Al Kaafi setelah menyebutkan ayat (yang artinya):

“…dan dari kejelekan hembusan-hembusan para tukang sihir pada buhul-buhul”. (Al Falaq : 4)

“Kalau sihir tidak ada hakekatnya niscaya Allah tidak akan memerintahkan agar memohon perlindungan kepada-Nya dari bahaya sihir”. (Fathul Majid hal. 335)

Demikian pula Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam sendiri pernah disihir oleh seorang Yahudi yang bernama Labid bin Al A’sham. Sebagaimana  disebutkan dalam sebuah hadits (yang artinya):

“Sesungguhnya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam disihir sehingga dikhayalkan padanya bahwa beliau melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya. Dan beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam pada suatu hari berkata kepada Aisyah: “Telah datang padaku dua malaikat, salah satunya duduk di dekat kepalaku dan yang lainnya di dekat kakiku. Salah satu malaikat tersebut berkata kepada yang lainnya: “Apa penyakit laki-laki ini (Rasulullah)? Yang satunya menjawab terkena sihir”. “Siapa yang menyihirnya ?” Satunya menjawab “Labid bin Al A’sham …” (HR Al Bukhari).

Ibnul Qayyim rahimahullah berkata: “Dan sekelompok manusia telah mengingkari hal ini (disihirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam-red). Mereka mengatakan: “Ini tidak boleh menimpa diri Rasul,” bahkan mereka menganggap ini sebagai suatu kekurangan dan aib. Dan perkaranya tidak seperti yang mereka duga, akan tetapi sihir tersebut adalah dari jenis perkara (penyakit) yang berpengaruh terhadap diri Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam, hal ini termasuk  dari jenis-jenis penyakit yang menimpanya sebagaimana beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam juga tertimpa racun, di mana tidak ada perbedaan antara pengaruh sihir dengan racun”. (Zaadul Ma’ad 4/ 124)

Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah juga  menyebutkan dari Al Qadhi ‘Iyadh rahimahullah, bahwasanya beliau berkata: “Kejadian disihirnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak menodai kenabian beliau. Adapun keberadaan atau kejadian beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dikhayalkan melakukan sesuatu padahal beliau tidak melakukannya, hal ini tidaklah mengurangi sifat shiddiq (jujur) yang ada pada diri beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. dikarenakan adanya dalil bahkan ijma’ (kesepakatan umat Islam) atas kemaksuman (terpelihara dari dosa dan kesalahan) beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari hal tersebut, akan tetapi hal ini suatu perkara duniawi yang mungkin bisa menimpanya. Yang beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tidak diutus karena sebab tersebut dan tidak diberi keutamaan, karenanya pula beliau dalam hal ini seperti manusia yang lainya, maka tidak mustahil untuk dikhayalkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam dari perkara-perkara yang tidak ada hakekatnya baginya, kemudian hilang dari beliau dan kembali seperti keadaan semula. (Zaadul Ma’ad 4/ 124)

Pengertian Sihir

Sihir secara bahasa berarti ungkapan tentang suatu perkara yang disebabkan oleh sesuatu yang samar dan lembut. Sedangkan menurut  terminologi syariat  terbagi menjadi dua makna :

Pertama: Yaitu buhul-buhul dan mantera-mantera, maksudnya adalah bacaan-bacaan dan mantera-mantera yang dijadikan perantara oleh tukang sihir untuk minta bantuan para syaithan dalam rangka memberi kemudaratan kepada orang yang disihir.

Akan tetapi Allah ‘azza wa jalla telah berfirman:

“Dan mereka itu (ahli sihir) tidak akan mampu memberikan mudharat dengan sihirnya kepada siapa pun, kecuali dengan izin Allah”. (Al Baqarah :162)

Kedua: yaitu berupa obat-obatan atau jamu-jamuan yang berpengaruh terhadap orang yang disihir, baik secara fisik, mental, kemauan dan kecondongannya. Sehingga engkau dapati orang yang disihir tersebut berpaling dan berubah (dari kebiasaanya). (Al Qaulul Mufid karya Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah 1/489)

Hukum Sihir

Sihir dalam bentuk apapun, diharamkan oleh Allah ‘azza wa jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa Sallam. Dan keharaman ini terbagi menjadi dua macam:

Pertama: Sihir yang termasuk perbuatan syirik, jika menggunakan perantara para syaithan (jin-jin kafir), di mana para tukang sihir tersebut beribadah dan mendekatkan diri kepada para syaithan supaya bisa menguasai orang yang akan disihir.

Kedua: Sihir yang termasuk perbuatan permusuhan dan kefasikan, jika tukang sihir hanya sebatas menggunakan perantara obat-obatan (ramuan) dan sejenisnya. (Al Qaulul Mufid 1/ 489)

Apakah Tukang Sihir Kafir?

Para ulama berbeda pendapat tentang tukang sihir. Di antara mereka ada yang mengatakan bahwa tukang sihir itu kafir, dan di antara yang berpendapat demikian adalah Al Imam Malik, Al Imam Abu Hanifah dan Al Imam Ahmad bin Hanbal rahimahumullah.

Al Imam Ahmad rahimahullah berkata kepada para muridnya: “…..kecuali sihirnya dengan obat-obatan, asap dupa dan menyiram sesuatu yang bisa memberikan mudharat, maka tidaklah kafir. (Fathul Majid hal. 336)

Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “…akan tetapi dengan pembagian yang telah kami sebutkan tentang hukum permasalahan ini (sihir) menjadi jelaslah barangsiapa yang sihirnya dengan perantara syaithan maka dia telah kafir. Karena kebanyakannya tidak mungkin terjadi kecuali dengan adanya unsur kesyirikan (penyembahan terhadap syaithan tersebut -red). Hal ini didasarkan pada firman Allah ‘azza wa jalla (yang artinya):

“Dan mereka mengikuti apa-apa  yang dibaca oleh para syaithan pada masa kerajaan Sulaiman (dan mereka mengatakan bahwa Sulaiman itu mengerjakan sihir), hanya para syaithan itulah yang kafir (karena mengerjakan sihir). Mereka   mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak akan mengajarkan sesuatu kepada siapa  pun, sebelum keduanya mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah engkau kafir”. (Al Baqarah :102)

Sedangkan tukang sihir yang menggunakan obat-obatan (ramuan) dan sejenisnya maka dia tidak kafir, akan tetapi dia telah berbuat dosa yang sangat besar.

Ancaman bagi Tukang Sihir

Di antara ancaman-ancaman Allah ‘azza wa jalla di dalam Al Qur’an adalah firman-Nya (artinya):

“…dan sesungguhnya mereka telah mengetahui bahwa barangsiapa yang menukarnya (kitab Allah) dengan sihir itu, tidaklah ada keuntungan baginya di akhirat”. (Al Baqarah : 102)

Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhuma berkata ketika menafsirkan ayat tersebut :

( مِنْ خَلاَقٍ yaitu مِنْ نَصِيْبٍ ) “Tidak ada baginya bagian di akhirat.”

Al Hasan rahimahullah berkata: ( فَلَيْسَ لَهُ دِيْنٌ ): “Tidak ada agama baginya.”

Adapun ancaman dari Allah ‘azza wa jalla adalah sebagaimana di dalam riwayat Al Bukhari  dan Muslim dari sahabat Abu Hurairah, beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda (yang artinya):

“Jauhilah tujuh perkara yang membinasakan, para sahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa tujuh perkara tersebut?. Beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab: “Berbuat syirik kepada Allah ‘azza wa jalla, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan untuk dibunuh kecuali dengan hak (benar), makan riba, makan harta anak yatim, lari dari pertempuran dan menuduh zina wanita mukminah yang terhormat serta menjaga kehormatan”.

Apa Hukum Mempelajari Ilmu Sihir dengan Tujuan untuk Membentengi Diri?

Mempelajari ilmu sihir hukumnya haram, baik untuk diamalkan maupun sekedar untuk membentengi diri dari sihir. Karena Allah ‘azza wa jalla telah menyebutkan di dalam Al Qur’an bahwa belajar ilmu sihir merupakan salah satu bentuk kekufuran.

“Mereka (para syaithan) mengajarkan sihir kepada manusia dan apa yang diturunkan kepada dua malaikat di negeri Babil yaitu Harut dan Marut, sedang keduanya tidak mengajarkan (sesuatu) kepada seorang pun sebelum keduanya mengatakan: “Sesungguhnya kami hanya cobaan (bagimu) oleh sebab itu janganlah kamu kafir”. (Al Baqarah : 102)

Dan juga sebagaimana disebutkan pada hadits yang sebelumnya bahwa sihir merupakan bagian dari tujuh perkara yang membinasakan (المُوْبِقَات).

Bagi yang membolehkan belajar ilmu sihir hanya sekedar untuk memenbentengi diri, mereka berdalil dengan hadits :

تَعَلَّمُوا السِّحْرَ وَلاَ تَعْمَلُوا بِهِ

“Belajarlah kalian ilmu sihir dan jangan mengamalkannya”.

Perlu diketahui bahwa hadits tersebut adalah hadits palsu. (Fatwa Al Lajnah Ad Daimah 1/38)

Apa Hukum Pergi ke Tukang Sihir untuk Mengobati atau Menghilangkan Sihir?

Tidak boleh bagi orang yang terkena sihir pergi ke tukang sihir untuk menghilangkan sihir yang menimpa dirinya dan hukumnya adalah haram , berdasarkan pada keumuman sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

“Bukan dari golonganku orang yang mengundi nasib dengan burung dan sejenisnya atau minta diundikan untuknya, meramal sesuatu yang ghaib (dukun) atau minta diramalkan untuknya atau melakukan sihir atau minta  disihirkan untuknya”. (HR. Ath Thabrani)

Dan didasarkan pula pada sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam tatkala ditanya tentang An Nusyrah (menghilangkan sihir dari orang yang terkena sihir dengan sihir yang sama). Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam menjawab:

هَي مِنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ

“Itu adalah perbuatan syaithan”. (HR. Ahmad, Abu Daud dan Al Baihaqi)

Serta sabda Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam:

تَدَاوُوْا وَ لاَ تَدَاوَوا بِحَرَامٍ  فَإِنَّ اللهَ ما أَنْزَل َدَاءً إلاَّ أَنْزَلَ له دَوَاءً

“Berobatlah kalian dan jangan kalian berobat dengan sesuatu yang haram, karena sesungguhnya tidaklah Allah ‘azza wa jalla  menurunkan suatu penyakit kecuali Allah ‘azza wa jalla telah menurunkan obatnya pula”.

Hukum Merukunkan Pasangan Suami-Istri dengan Menggunakan Sihir

Menggunakan sihir untuk merukunkan suami-istri hukumnya adalah haram dan inilah yang disebut Al ‘Athfu. Sementara upaya untuk menceraikan antara suami dengan istrinya disebut Ash Sharfu. Keduanya sama-sama tidak boleh dan haram hukumnya. Dalilnya adalah firman Allah ‘azza wa jalla dalam surat Al Baqarah: 102.

Cara yang Syar’i dalam Mengobati Sihir

1. Mengeluarkan sihir tersebut dan membatalkannya, sebagaimana disebutkan di dalam hadits yang shahih dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa Sallam bahwasanya beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam berdo’a kepada Allah ‘azza wa jalla dalam perkara sihir tersebut.  Maka Allah ‘azza wa jalla tunjukkan kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa Sallam (tempat buhul-buhul tersebut), kemudian beliau mengeluarkannya (mengambil buhul-buhul tersebut) dari suatu sumur. Maka hilanglah apa yang ada pada beliau, seakan-seakan beliau lepas dari ikatan.

2.    Dengan diruqyah, yaitu dengan dibacakan Al Qur’an dan do’a-do’a (yang bersumber dari Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Sallam) kepada yang terkena sihir. Misalnya dengan dibacakan surat Al Fatihah, Al Ikhlas, Al Falaq, An Naas, dan yang lainnya dari ayat-ayat Al Qur’an kemudian ditiupkan kepada yang sakit, maka insya Allah akan sembuh. (Zaadul Ma’ad 4/ 124-127)

Wallahu a’lamu bish shawab.
http://www.assalafy.org/mahad/?p=613#more-613
 

BAGAIMANA ANDA MENCERCA SESEORANG?



Senin, 13-Juni-2011, Penulis: Asy Syaikh Rabi bin hadi Al-Madkhali
 
Syaikh Rabi bin hadi Al-Madkhali hafizhahullah ditanya:


"apakah boleh seseorang dijarah (dicerca) dengan sebab yang diperselisihkan bahwa itu cercaan, ataukah seseorang tidak dicerca kecuali dengan sesuatu yang disepakati saja?"

beliau menjawab:

أسباب الجرح معروفة كالكذب أو التهمة بالكذب أو فحش الغلط ...إلى آخر أسباب الجرح وهي عشرة أسباب ذكرها الحافظ ابن حجر في نزهة النظر .

كذلك المفسقات مثل الزنا وشرب الخمر وتعاطي الربا وأكل مال اليتيم ,والكبائر التي تتجاوز السبعين كما يقول ابن عباس بل هي إلى السبعمائة أقرب ,فهذه من الأسباب المتفق على أنها تجرح وتسقط العدالة ويحكم على من ارتكب كبيرة منها بالفسق فلا تقبل روايته ولا شهادته .

والأسباب المختلف فيها : قد يكون هذا الخلاف لا قيمة له ,قد يعارض شخص في جارح ويقول :هذا غير جارح ويكون لا قيمة لكلامه ,وقد يكون لكلامه وزن ,والجارح ينظر ويجتهد في هذا هل هو جارح أو لا ويظهر له من خلال الدراسة أن هذا جارح فيجرح به وهناك أمور ينبغي أن لا نسمّيها مختلفا فيها بل نقول :متفقٌ على أنها ليست مما يجرح كقول الجارح في الراوي :رأيته يركب على برذون ,أو قوله :سمعت كذا من بيته ...الخ فهذا لا يقال :إنه جرح مختلف فيه بل متفق على عدم اعتباره وقد شذّ من يراه جارحاً .

الشاهد أنه لا يُجرح الشخص إلا بجارح معتبرٍ عند الأئمة ,والأمور التي قد يختلف فيها بعض الناس يرجح هذا العالم ما يراه راجحا .

منقول من موقع الشيخ ربيع بن هادى المدخلى (فتوى رقم 111)


Sebab cercaan adalah hal yang telah diketahui seperti dusta, atau dituduh berdusta atau kesalahan yang fatal, dan seterusnya dari macam - macam sebab cercaan yang berjumlah sepuluh sebab sebagaimana yang disebutkan Al-Hafizh Ibnu Hajar dalam nuzhatun nazhar.


demikian pula halnya penyebab kefasikan seperti zina, minum khamr, memperoleh harta dengan cara riba , makan harta anak yatim, dan dosa- dosa besar lainnya yang jumlahnya melebihi 70 sebagaimana yang disebutkan oleh Ibnu Abbas Radhiallahu anhuma dan bahkan mendekati 700. maka ini merupakan sebab- sebab yang disepakati bahwa hal itu menyebabkan dicercanya seseorang dan menghilangkan sifat adilnya dan dihukumi orang yang melakukan dosa besar dengan kefasikan serta tidak diterima persaksiannya. adapun sebab- sebab yang diperselisihkan , boleh jadi perselisihan tersebut tidak bernilai sama sekali, boleh jadi ada seseorang yang mengeritik orang yang mencercanya dan berkata: ini bukan sesuatu yang menyebabkan seseorang dicerca, sehingga cercaan itu tidak berarti sama sekali, dan boleh jadi pula cercaan tersebut bernilai. maka orang yang mencerca hendaknya memperhatikan dan berijtihad apakah ini termasuk sebab dicercanya seseorang atau setelah mempelajarinya lalu tidak tampak baginya bahwa hal itu termasuk sebab cercaan, sehingga diapun mencercanya. Adapula hal- hal yang tidak sepantasnya kita sebut sebagai perkara yang diperselisihkan ,namun kita katakan: bahwa hal tersebut disepakati bahwa itu bukan sebab dicercanya seseorang, seperti ucapan seorang yang mencerca perawi: aku melihat si fulan naik birdzaun ( sejenis keledai), atau ucapannya: aku mendengar sesuatu dari rumahnya.... , dan seterusnya, maka ini tidak dikatakan bahwa hal itu merupakan cercaan yang diperselisihkan , namun hal itu telah disepakati bahwa cercaan tersebut tidak teranggap sama sekali, dan telah ganjil pendapat yang menganggapnya sebagai cercaan. Yang jelas, tidak dicerca seseorang kecuali dengan cercaan yang bernilai menurut para imam, Adapun .hal- hal yang terkadang diperselisihkan oleh sebagian orang , maka seorang alim melihat apa yang menurutnya lebih kuat.


(dinukil dari situs Syaikh Rabi' bin Hadi Al-Madkhali ,fatwa no: 111)

http://sahab.net/forums/showthread.php?t=379806
http://www.salafybpp.com