Sabtu, 28 Januari 2012

Haruskah Taqlid?


Islam telah menjadikan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagai hakim dalam setiap perkara syari’at. Oleh karena itu, para Salafush Shalih dari kalangan Shahabat, Tabi’in, Tabi’ut Tabi’in, dan generasi setelahnya sepakat tentang wajibnya berpegang teguh pada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan meninggalkan semua perkataan manusia yang menyelisihinya, tanpa kecuali. Maka orang-orang yang sejalan dengan mereka inilah yang disebut dengan Ahlus Sunnah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mendakwahkan Islam kepada para Shahabat atas dasar ilmu dan wahyu dari Rabbul ‘Alamin. Oleh karena itu, Islam mendasari segala sesuatu dengan ilmu dan keadilan.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

قُلْ هَـذِهِ سَبِيْلِى أَدْعُواإِلَى اللهِۚ عَلَى بَصِيْرَةٍ أَنَا وَمَنِ اتَّبَعَنِىۖ … ۝

Artinya: “Katakanlah (Muhammad), ‘Inilah jalanku yang lurus, aku dan orang-orang yang mengikutiku mengajak (kamu) kepada Allah dengan ilmu.’” (Qs. Yusuf: 108)

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah menjelaskan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyeru manusia kepada agama Allah atas dasar ilmu (بَصِيْرَةٍ ), keyakinan (يَقِيْن ), dalil syar’i (بُرْهَان شَرْعِي ), dan dalil aqli (عَقْلِي ). [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (IV/422)]

Disisi lain, ada sekelompok manusia yang dengan kelemahan mereka terhadap syari’at telah mengangkat para kyai, para imam, atau tokoh-tokoh mereka menjadi hakim dalam perkara syari’at dan menempatkan mereka dalam kedudukan yang lebih tinggi daripada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Mereka berkata, “Kami mengambil apa yang telah diputuskan Imam kami dan kami tidak mempedulikan Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, karena Imam kami adalah orang yang kami percaya dan orang yang paling mengerti tentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam daripada kami.” [Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam (hal. 72)]

Itulah ciri khas mereka yang mengakibatkan pengetahuan mereka tentang Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjadi terbatas dan pemahaman mereka tentang syari’at menjadi sempit. Mereka itulah orang-orang yang telah durhaka kepada Allah dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Pada kesempatan kali ini –dengan memohon Taufiq dari Allah, penulis akan mencoba mengetengahkan sebuah pembahasan tentang taqlid dalam tinjauan syari’at. Semoga tulisan ini dapat menjadi referensi tersendiri bagi para pembaca untuk memahami pentingnya berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

PENGERTIAN TAQLID

Taqlid secara bahasa adalah meletakkan kalung ke leher. Dan terkadang kata ini digunakan meng-istilahkan: menyerahkan sesuatu perkara kepada seseorang, seakan-akan perkara tersebut diletakkan di lehernya, seperti kalung. [Lihat Misbahul Munir (hal. 512), Lisanul ‘Arab (III/367), Mudzakkirah Ushul Fiqh (hal. 314), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 593) dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 296)]

Taqlid menurut istilah adalah mengambil pendapat orang lain tanpa mengetahui dalilnya. [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/173), I’lamul Muwaqqi’in (III/464), Mudzakkirah Ushul Fiqh (hal. 314), Majmu’ Fatawa (XXXV/233), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 593), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 296)]

CELAAN TERHADAP TAQLID

Kesesatan merupakan buah dari taqlidnya seseorang terhadap ajaran nenek moyangnya, keterbatasan akalnya, dan atau hawa nafsunya yang mengajaknya ke dalam kedurhakaan kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Inilah yang menjadi sebab suatu kaum menolak dakwah Rasul mereka. Inilah juga yang menjadi sebab kekufuran kaum Yahudi dan Nashara, karena telah taqlid kepada pendeta-pendeta dan rahib-rahib mereka. Dan inilah juga yang menjadi sebab kesesatan para ahli bid’ah akibat memperturutkan kemauan hawa nafsu mereka.

Allah Jalla wa ‘Ala berfirman dalam kitab-Nya yang mulia,

وَكَذَ لِكَ مَآ أَرْ سَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَّذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَ فُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ ۝ قَـلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْـدَى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْۖ قَالُوا إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَفِرُونَ ۝

Artinya: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ Rasul itu berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.” (Qs. Az-Zukhruf: 23-24)

Imam lbnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Hal itu disebabkan taqlidnya mereka terhadap (agama) nenek moyang mereka, sehingga mereka tidak mau mengikuti petunjuk Rasul.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/160)]

Allah juga berfirman,

أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِيْنَ يَزْعُمُوْنَ أَنَّهُمْ اَمَنُوْا بِمَآ أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَآ أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيْدُوْنَ أَنْ يَّتَحَا كَمُوْا إِلَى الطَّاغُوْتِ وَقَدْ أُمِرُوْا أَنْ يَّكْـفُرُوْا بِهِۗ وَيُرِيْدُ الشَّيْطَنُ أَنْ يُّضِلَّهُمْ ضَلَـلاً بَعِيْدًا ۝ وَإِذَ قِيْلَ لَهُمْ تَعَالَوْا إِلَى مَآأَنْزَلَ اللهُ وَإِلَى الرَّسُوْلِ رَأَيْتَ الْمُنَـفِقِيْنَ يَصُدُّوْنَ عَنْكَ صُدُوْدًا ۝

Artinya: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku dirinya telah beriman kepada apa yang diturunkan kepadamu dan kepada apa yang diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhakim kepada thaghut, padahal mereka telah diperintah mengingkari thaghut itu, dan setan bermaksud menyesatkan mereka (dengan) kesesatan yang sejauh-jauhnya. Apabila dikatakan kepada mereka: ‘Marilah kamu (tunduk) kepada hukum yang Allah telah turunkan dan kepada hukum Rasul, niscaya kamu lihat orang-orang munafik menghalangi (manusia) dengan sekuat-kuatnya dari (mendekati)mu.” (Qs. An-Nisa: 60-61)

Mujahid rahimahullah berkata tentang pengertian thaghut: “Thaghut adalah setan dalam bentuk manusia, dimana banyak orang berhukum kepadanya dan dialah yang mengatur urusan mereka.” [Lihat Tafsir Al-Qur’an Al-‘Azhim dalam surat An-Nisa’ ayat 51]

Dan firman-Nya yang lain,

وَمَا كَانَ لِمُؤْمِنٍ وَّلاَمُؤْمِنَةٍ إِذَا قَضَى اللهُ وَرَسُوْلُهُ أَمْرًا أَنْ يَّكُوْنَ لَهُمُ الْخِيَرَةُ مِنْ أَمْرِهِمْۗ وَمَنْ يَعْصِ اللهَ وَرَسُوْلَهُ فَقَدْ ضَلَّى ضَلَلاً مُّبِيْنًا ۝

Artinya: “Dan tidaklah patut bagi laki-laki mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan mukminah, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barang siapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguhlah ia telah sesat dalam kesesatan yang nyata.” (Qs. Al-Ahzab: 36)

Seorang awam yang taqlid akan mengambil seorang alim sebagai rujukannya. Dan dia menjadikan orang alim tersebut sebagai satu-satunya pedoman dalam menentukan hukum syari’at, padahal orang alim yang diambilnya itu bukanlah seorang yang ma’shum (terpelihara dari dosa). Selain itu, para ulama yang dijadikan pedoman oleh orang-orang yang taqlid tadi, telah berlepas diri dari sikap mereka yang jumud (kaku) dan ta’ashshub (fanatik). Sebagaimana telah disebutkan dalam firman Allah berikut ini,

إِذْ تَبَرَّاَ الَّذِيْنَ اتُّبِعُوْا مِنَ الَّذِيْنَ التَّبَعُوْا وَرَاَوُاالْعَـذَابَ وَتَقَطَّعَتْ بِهِمُ الْأَسْبَابُ ۝

Artinya: “Ketika orang-orang yang diikuti (itu) berlepas diri dari orang-orang yang mengikutinya, dan mereka melihat siksa, dan (ketika) segala hubungan antara mereka terputus.” (Qs. Al-Baqarah: 166)

Imam Ibnu ‘Abdil Barr rahimahullah berkata, “Para ulama berpendapat dengan (menggunakan) ayat ini (sebagai hujjah) untuk menyalahkan taqlid.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/160)]

‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu pernah berkata, “Ketahuilah, janganlah kalian taqlid kepada seseorang dalam agamanya. Jika orang itu beriman, maka beriman (juga orang yang taqlid padanya). Dan jika orang itu kafir, maka kafir (juga orang yang taqlid padanya). Karena itu, tidak ada teladan dalam hal keburukan.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/168)]

Itulah dampak buruk dari sikap taqlid seorang yang awam dan senantiasa menerima segala hal yang diberikan kepadanya tanpa dikritisi terlebih dahulu. Semakin lama dia taqlid, semakin dia akan terbiasa untuk menerima segala sesuatunya ‘bulat-bulat’, entah yang diterimanya itu adalah ‘madu’ ataukah ‘racun’.

PARA IMAM MADZHAB TELAH MELARANG TAQLID

Di Indonesia, kita mengenal empat madzhab besar dalam Islam, yaitu:

1. Madzhab Hanafi, yang dinisbatkan pada Imam Abu Hanifah An-Nu’man bin Tsabit rahimahullah. Beliau adalah imamnya penduduk Irak, yang lahir pada tahun 80 Hijriyah dan wafat pada tahun 150 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

إِذَا قُلْتُ قَوْلاً يُخُالِفُ كِتَابَ اللهِ تَعَالَى وَخَبَرَ الرَّسُوْلِ صلى الله عليه وسلم، فَاتْرُكُوْا قَوْلِيْ!

Artinya: “Jika aku mengatakan suatu pendapat yang menyelisihi Kitabullah dan hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, maka tinggalkanlah pendapatku.”
[Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 50). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 48)]

2. Madzhab Maliki, yang dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Malik bin Anas rahimahullah. Beliau adalah imam Darul Hijrah Madinah, yang lahir pada tahun 93 Hijriyah dan wafat pada tahun 179 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

إِنَّمَا أَنَا بَشْرٌ، أُخْطِئُ وَأُصِيْبُ، فَانْظُرُوْا فِي رَأْيِيْ؛ فَـكُلُّ مَا وَافَقَ الْكِتَابَ وَ السُّنَّةَ فَخُذُوْهُ، وَ كُلُّ مَا لَمْ يُوَافِقِ الْكِتَابَ وَالسُّنَّةَ فَاتْرُكُوْهُ!

Artinya: “Sesungguhnya aku hanya seorang manusia yang bisa salah dan bisa benar, maka perhatikanlah pendapatku. Setiap pendapatku yang sejalan dengan Al-Kitab (Al-Qur’an) dan As-Sunnah, maka ambillah. Dan setiap pendapatku yang tidak sejalan (menyelisihi) Al-Kitab dan As-Sunnah, maka tinggalkanlah dia.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu ‘Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil ‘Ilmi (I/622), Ibnu Hazm dalam Ushulul Ahkam (VI/149), dan Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 72). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 48)]

3. Madzhab Syafi’i, yang dinisbatkan pada Imam Abu ‘Abdillah Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 150 Hijriyah dan wafat pada tahun 204 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

كُلُّ مَا قُلْتُ فَكَانَ عَنِ النَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم خِلاَفُ قَوْلِيْ مِمَّا يَصِحُّ فَحَدِيْثُ النَّبِيِّ أَوْلَى، فَلاَ تُقَلِّدُوْنِيْ .

Artinya: “Setiap dari perkataanku, kemudian ada riwayat yang shahih dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menyelisihi perkataanku, maka hadits Nabi (harus) diutamakan. Maka janganlah kalian taqlid kepadaku.”
[Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim dalam Adab Asy-Syafi’i (hal. 93), Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (IV/45-46), Abu Nu’aim dan Ibnu ‘Asakir (XV/9/2) dengan sanad yang shahih. Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 52)]

4. Madzhab Hanbali, yang dinisbatkan kepada Imam Abu ‘Abdillah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal rahimahullah. Beliau dilahirkan pada tahun 164 Hijriyah dan wafat pada tahun 241 Hijriyah. Beliau pernah berkata,

لاَ تُـقَـلِّـدْنِيْ وَلاَ تُـقَـلِّـدْ مَالِكًا وَلاَ الشَّافِعِيَّ وَلاَ الْأَوْزَاعِيَّ وَلاَ الثَّوْرِيَّ؛ وَخُذْ مِنْ حَيْثُ أَخَذُوْا!

Artinya: Janganlah kalian taqlid kepadaku, jangan pula taqlid kepada Malik, Asy-Syafi’i, Al-Auza’i, dan Ats-Tsauri, tetapi ambillah dari mana mereka mengambil (yakni Al-Qur’an dan As-Sunnah).”
[Diriwayatkan oleh Imam Al-Fullani dalam Iqazhul Himam (hal. 113) dan Ibnu Qayyim dalam I’lamul Muwaqqi’in (III/469). Lihat juga Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 53)]

Demikianlah pernyataan al-Aimmah al-Arba’ah (imam madzhab yang empat) tentang pentingnya berpegang teguh kepada Sunnah dan larangan mengikuti mereka tanpa didasari ilmu. Perkara ini sudah jelas, tidak bisa dipungkiri dan dipalingkan maknanya. Sikap ini timbul karena keutamaan ilmu dan ketakwaan yang mereka miliki, dimana mereka telah menyatakan bahwa mereka tidak mengetahui semua Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, sehingga bisa saja mereka melakukan suatu hal yang menyelisihi Sunnah karena belum sampainya hadis yang shahih kepada mereka.

Oleh karena itu, barang siapa berpegang teguh pada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang shahih, meskipun dia harus menyelisihi para Imam Madzhab maka dia tidak dikatakan meninggalkan madzhab tersebut atau keluar dari jalan mereka, bahkan dia telah mengikuti mereka dan berpegang teguh pada buhul tali yang amat kuat yang tidak akan putus. Sedangkan orang yang meninggalkan Sunnah yang shahih dengan alasan bahwa Sunnah tersebut menyelisihi pendapat para imam maka sesungguhnya dia telah meninggalkan perkataan para imam tersebut.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ جَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيْمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِـدُوا فِى أَنْفُسِـهِـمْ حَرَجًا مِّمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيْمًا ۝

Artinya: “Maka demi Rabbmu, mereka (pada hakikatnya) tidak beriman sehingga mereka menjadikan engkau (Muhammad) sebagai hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap keputusan yang engkau berikan, dan mereka tunduk dengan ketundukan yang sebenar-benarnya.” (Qs. An-Nisa’: 65)

KEGELAPAN TAQLID BUTA

Sebagian manusia telah terjebak dalam tipuan setan yang mengakibatkan mereka bercerai berai dan bermusuhan. Beberapa golongan orang yang taqlid terhadap suatu madzhab memusuhi golongan lainnya yang berada di luar madzhab mereka. Ada pula golongan orang yang taqlid terhadap imam mereka, tidak mau kembali kepada Al Quran dan As Sunnah dan mereka menganggap bahwa perbedaan pendapat diantara para imam madzhab adalah rahmat dari Allah Ta’ala yang menjadikan mereka bebas untuk memilih siapa yang akan mereka ikuti tanpa didasari ilmu sama sekali.

Dalil yang mereka bawakan untuk melegalkan hal ini adalah sebuah riwayat yang batil, namun cukup populer, yang bunyinya,

إِخْـتِـلاَفُ أُمَّـتِيْ رَحْمَةٌ .

Artinya: “Perselisihan ummatku adalah rahmat.”


Riwayat ini batil, bahkan riwayat ini tidak ada sumbernya. Oleh karena itu, riwayat ini jelas tidak dapat digunakan sebagai hujjah. [Lihat penjelasan Syaikh Al-Albani dalam kitab Silsilah Al-Ahadits Adh-Dha’ifah (no. 57, 58, 59, dan 61) dan Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 58-60)]

Adapun mengenai perbedaan pendapat diantara para ulama, hal ini disebabkan oleh perbedaan tingkat keilmuan yang dimiliki seseorang. Dan Allah tidak membebani seseorang di luar batas kemampuannya, sehingga apabila mereka berijtihad dan ijtihad mereka itu benar, mereka akan mendapatkan dua pahala, untuk kebenaran ijtihad mereka dan untuk usaha yang telah mereka tempuh dalam mencapai kebenaran ijtihad tersebut. Namun sekalipun ijtihad mereka itu salah, mereka tetap mendapatkan satu pahala untuk usaha yang telah mereka kerahkan dalam upaya mencapai kebenaran dalam ijtihad mereka. Hal ini berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَـدَ ثُمَّ أَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ وَإِذَا حَكَمَ فَاجِتَهَـدَ ثُمَّ أَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ .

Artinya: “Apabila seorang hakim berijtihad dan ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala. Dan apabila dia berijtihad dan ijtihadnya salah/keliru maka dia mendapatkan satu pahala.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 7342), Muslim (no. 1716), Abu Dawud (no. 3574), Ibnu Majah (no. 2314), Al-Baihaqi (X/118-119), dan Ahmad (IV/198, 204), dari ‘Amr bin ‘Ash radhiyallahu’anhu]

Para muqallidun (orang-orang yang taqlid) menganggap bahwa perbedaan pendapat antar-madzhab bukan untuk di-tarjih (dibandingkan untuk diketahui pendapat mana yang lebih dekat dengan kebenaran), melainkan untuk ditetapkan sebagai kebenaran menurut versi mereka.

Hanya saja, para imam mujtahid akan tetap mendapatkan pahala untuk ijtihad mereka, sekalipun ijtihad mereka itu salah. Berbeda dengan orang-orang yang taqlid kepada mereka tanpa didasari ilmu, mereka tidak akan mendapatkan pahala apapun juga. Mereka senantiasa tenggelam dalam sikap jumud dan ta’ashshub madzhabiyyah. Itulah orang-orang yang melakukan taqlid buta, dikarenakan mata hati mereka telah buta sehingga mereka enggan menerima kebenaran.

Sikap seperti inilah yang digambarkan oleh Imam Ath-Thahawi rahimahullah dalam keterangannya, “Tidaklah taqlid kecuali orang yang fanatik atau bodoh.” [Ucapan ini dibawakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam Rasmul Mufti (I/23). Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 45)]

Orang-orang yang taqlid itu enggan menerima kebenaran karena mereka khawatir jika mereka meninggalkan pendapat imamnya maka mereka tidak lagi dikatakan sebagai pengikut imamnya atau bahkan mereka dianggap telah mencela imamnya, padahal dalam sebuah hadits disebutkan,

سِبَابُ الْمُسْلِمِ فُسُوقٌ .

Artinya: “Mencela seorang Muslim adalah (perbuatan) fasik.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 48) dan Muslim (no. 64), dari ‘Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu]

Ketika membawakan hadits tersebut, mereka tidak memahami betul makna sesungguhnya yang terkandung dalam hadits itu. Dan bagaimana mereka dapat lebih mengkhawatirkan sikap celaan terhadap imamnya, tetapi mereka tidak mengkhawatirkan perbuatan durhaka yang telah mereka lakukan terhadap Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menjadi rujukan imam mereka juga…???

Karena alasan itulah, mereka tetap teguh untuk mengikuti seluruh pendapat imam mereka, tanpa adanya upaya untuk mencari kebenaran. Dengan demikian, mereka tidak hanya berhukum dengan pendapat yang benar dari imamnya, tapi mereka juga mengambil pendapat yang salah dan berhukum dengannya. [Lihat Muqaddimah Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, (hal. 70-73)]

‘Abdullah bin ‘Abbas radhiyallahu’anhuma pernah berkata:
“Celakalah orang-orang yang mengikuti kesalahan seorang alim. Si alim berpendapat dengan ra’yu-nya (akalnya), lalu dia bertemu dengan orang yang lebih alim darinya tentang (Sunnah) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian orang tersebut memberitahukannya (pendapat yang lebih benar dari pendapatnya) maka si alim tersebut mengikuti pendapat yang benar dan meninggalkan pendapatnya yang salah. Sedangkan para pengikutnya (tetap) berhukum dengan pendapat si alim yang salah tersebut.” [Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/165-166) dan I’lamul Muwaqqi’in (III/455)]

Taqlid buta amat berbahaya bagi kehidupan ummat karena dapat menimbulkan sikap jumud yang dapat membekukan peran akal sebagai aset untuk berpikir. Selain itu, taqlid buta juga menciptakan sikap ta’ashshub madzhabiyyah yang dapat memecah belah ummat dan menimbulkan perselisihan yang dilandasi oleh hawa nafsu. Sikap seperti ini tidak jauh berbeda dengan sikap para penganut firqah (golongan) sesat, seperti Syi’ah Rafidhah dan Khawarij.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah berkata,
“Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada seseorang, maka kedudukannya seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashshub kepada salah seorang Shahabat, dan seperti orang-orang Khawarij. Ini adalah jalannya ahli bid’ah dan pengikut hawa nafsu yang mereka telah keluar dari syari’at dengan kesepakatan ummat dan berdasarkan al-Quran dan Sunnah.” [Lihat Mukhtashar Fatawa Mishniyyah hal. 46-47]

Senada dengan Syaikhul Islam diatas, Imam Ibnu Abil ‘Izz Al-Hanafy rahimahullah pun pernah berkata,
“Barang siapa yang ta’ashshub (fanatik) kepada salah seorang imam dan mengesampingkan imam yang lainnya, maka dia seperti orang yang ta’ashshub kepada seorang Shahabat dan mengesampingkan Shahabat yang lainnya. Seperti orang-orang Rafidhah (Syi’ah) yang ta’ashub kepada ‘Ali dan mengesampingkan tiga khalifah yang lainnya. Ini adalah jalannya para pengikut hawa nafsu.” [Lihat Al-Ittiba’ (hal. 80)]

Demikianlah, apabila seseorang telah mencapai derajat taqlid buta maka sesungguhnya dia telah menyimpang dari jalan keselamatan dan cenderung kepada jalan kesesatan yang juga dipilih oleh para ahli bid’ah dan ahli ahwa’ (pengikut hawa nafsu).


WAJIBNYA ITTIBA’ KEPADA NABI SHALLALLAHU ‘ALAIHI WA SALLAM

Allah Subhanahu wa Ta‘ala telah mewajibkan kepada setiap orang yang beriman agar mentaati dan mengikuti (ittiba‘) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam serta menjadikan beliau sebagai satu-satunya hakim, taslim (tunduk) pada keputusan beliau dan tidak menyalahi perintah beliau baik ketika beliau masih hidup maupun telah wafat. Dan ketaatan itu menjadi bagian yang tidak dapat dipisahkan dari ketaatan kepada Allah Subhanahu wa Ta‘ala.

Al-Hafizh Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Taat kepada Allah adalah dengan mengikuti Kitab-Nya dan taat kepada Rasul adalah dengan mengikuti Sunnah.” [Lihat Tafsir Ibnu Katsir (I/568)]

Allah Jalla Dzikruhu telah berfirman,

وَأَطِيْعُوْااللهَ وَأَطِيْعُوْاالرَّسُوْلَ وَاحْذَرُوْاۚ فَإِنْ تَوَلَّيْتُمْ فَاعْلَمُواأَنَّمَاعَلَى رَسُوْلِنَاالْبَلَغُ الْمُبِيْنُ ۝

Artinya: “Dan taatlah kamu kepada Allah dan taatlah kamu kepada Rasul(Nya) serta berhati-hatilah. Jika kamu berpaling maka ketahuilah bahwa kewajiban Rasul Kami hanyalah menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (Qs. Al-Ma’idah: 92)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda,

كُلُّ أُمَّتِي يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ إِلَّا مَنْ أَبَى قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَمَنْ يَأْبَى قَالَ مَنْ أَطَاعَنِي دَخَلَ الْجَنَّةَ وَمَنْ عَصَانِي فَقَدْ أَبَى .

Artinya: “Setiap ummatku akan masuk Surga, kecuali yang enggan.” Mereka (para Shahabat) bertanya: “Siapa yang enggan itu?” Jawab beliau: “Barang siapa yang mentaatiku pasti akan masuk Surga, dan barang siapa yang mendurhakaiku, maka sungguh ia telah enggan.” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Bukhari (no. 7280) dan Ahmad (II/361), dari Abu Hurairah radhiyallahu’anhu]

Wajib bagi setiap mukallaf (orang terbebani kewajiban syar’i) untuk senantiasa mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan tidak boleh mengikuti orang selain beliau. Sampai-sampai, kalau saja Nabi Musa ‘alaihis salam berada diantara manusia, kemudian manusia mengikuti syari’atnya dan meninggalkan syari’at yang telah dibawa oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, pastilah dia akan tersesat. Sebagaimana disebutkan dalam sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berikut ini,

وَالَّذِي نَفْسِي مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ لَوْأَصْبَحَ فِيْكُمْ مُوْسَى ثُـمَّ اتَّبَعْتُمُوْهُ وَتَرَكْتُمُوْنِيْ لَضَلَلْتُـمْ

Artinya: “Demi Dzat yang jiwa Muhammad berada di tangan-Nya, seandainya Musa berada diantara kalian, kemudian kalian mengikuti (ajaran)nya dan meninggalkan (ajaran)ku, niscaya kalian akan tersesat.” [Hadits shahih lighairihi, diriwayatkan oleh Ahmad dalam Musnad-nya (III/470-471 dan IV/265-266)]

Jika seorang Musa ‘alaihis salam saja tidak boleh untuk diikuti setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyampaikan risalahnya, maka bagaimana orang selain beliau boleh untuk diikuti, padahal ajarannya bertolak belakang dengan ajaran Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam …?!

Dengan demikian, wajib bagi setiap jiwa yang mengaku sebagai seorang muslim untuk menerima segala ketetapan Allah dan Rasul-Nya, secara lahir dan batin tanpa penolakan sedikit pun dan dalam bentuk apa pun. Itulah yang menjadi ‘aqidah seorang Muslim.

KAPANKAH HARUS TAQLID?

Taqlid tidaklah tercela dan terlarang secara mutlak. Ada bentuk taqlid yang memang terlarang secara mutlak, ada juga bentuk taqlid yang malah diwajibkan, dan ada pula bentuk taqlid yang boleh untuk dilakukan karena beberapa sebab.

Imam lbnu Qayyim Al-Jauziyyah rahimahullah membagi taqlid menjadi tiga macam, yaitu: [Lihat I’lamul Muwaqqi’in (III/447)]

Pertama, Taqlid yang diharamkan,

Ada tiga jenis taqlid yang diharamkan, yaitu:

1. Taqlid kepada perkataan nenek moyang sehingga manusia berpaling dari apa yang telah diturunkan Allah. Contohnya: Kaum Jahiliyyah yang taqlid kepada ajaran nenek moyang mereka untuk menyembah berhala. Sebagaimana disebutkan oleh Allah ‘Azza wa Jalla dalam firman-Nya,

وَكَذَ لِكَ مَآ أَرْ سَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ فِي قَرْيَةٍ مِنْ نَّذِيْرٍ إِلاَّ قَالَ مُتْرَ فُوهَآ إِنَّا وَجَدْنَآ ءَابَآءَنَا عَلَى أُمَّةٍ وَإِنَّا عَلَى ءَاثَرِهِمْ مُّقْتَدُوْنَ ۝ قَـلَ أَوَلَوْ جِئْتُكُمْ بِأَهْـدَى مِمَّا وَجَدْتُّمْ عَلَيْهِ ءَابَآءَكُمْۖ قَالُوا إِنَّا بِمَآ أُرْسِلْتُمْ بِهِ كَفِرُونَ ۝

Artinya: “Dan demikian juga ketika Kami mengutus seorang pemberi peringatan sebelum engkau (Muhammad) dalam suatu negeri, orang-orang yang hidup mewah (di negeri itu) selalu berkata, ‘Sesungguhnya kami mendapati nenek moyang kami menganut suatu (agama) dan sesungguhnya kami sekadar pengikut jejak-jejak mereka.’ Rasul itu berkata, ‘Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekalipun aku membawa untukmu (agama) yang lebih baik daripada apa yang kamu peroleh dari (agama) yang dianut nenek moyangmu?’ Mereka menjawab, ‘Sungguh kami mengingkari (agama) yang kamu diperintahkan untuk menyampaikannya.” (Qs. Az-Zukhruf: 23-24)

2. Taqlid kepada orang yang tidak diketahui apakah dia pantas diambil perkataannya ataukah tidak. Contohnya: Taqlidnya seseorang kepada orang lain yang tidak diketahui asal usulnya. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

يَأَيُّهَا الَّذِيْنَ ءَامَنُوا إِنْ جَآءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبِإٍ فَتَبَـيَّنُوا أَنْ تُصِيْبُوا قَوْمًا بِجَهَلَةٍ فَتُصْبِحُوا عَلَى مَا فَعَلْتُمْ نَدِمِيْنَ ۝

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, jika seorang fasik datang kepadamu dengan membawa berita, maka telitilah kebenarannya, agar kamu tidak mencelakakan suatu kaum karena kebodohan (kecerobohan), yang nanti akhirnya kamu menyesali perbuatanmu itu.” (Qs. Al-Hujurat: 6)

3. Taqlid kepada perkataan seseorang, padahal dia mengetahui adanya hujjah (bukti) dan dalil yang bertentangan dengan pendapat orang tersebut. Contohnya: Taqlid yang dilakukan kaum Yahudi dan Nashara kepada para pendeta dan rahib mereka, sehingga mereka berpaling dari dakwah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Sebagaimana disebutkan dalam firman Allah ‘Azza wa Jalla,

إِتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُـمْ أَرْبَابًا مِّنْ دُوْنِ اللهِ … ۝

Artinya: “Mereka menjadikan orang-orang alim (Yahudi) dan rahib-rahibnya (Nasrani) sebagai rabb selain Allah…” (Qs. At-Taubah: 31)

Kedua, Taqlid yang diwajibkan,

Taqlid yang diwajibkan adalah taqlid kepada Al-Qur’an dan As-Sunnah yang shahih. Ini bukanlah taqlid dalam arti yang sebenarnya, melainkan dia bermakna kepada ittiba’. Dan ini merupakan kewajiban bagi setiap muslim. Karena Al-Qur’an dan As-Sunnah merupakan wahyu dari Rabbul ‘Izzati yang terpelihara, sehingga manusia yang berpegang kepada keduanya tidak akan sesat selama-lamanya.

Allah ‘Azza wa Jalla berfirman,

قُلْ أَطِيْعُوا اللهَ وَالرَّسُوْلَۚ فَإِنْ تَوَلَّوْا فَإِنَّ اللهَ لاَ يُحِبُّ الْكَفِرِيْنَ ۝

Artinya: “Katakanlah (Muhammad): ‘Taatilah Allah dan Rasul-Nya. Jika kamu berpaling, ketahuilah sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang kafir.’” (Qs. Ali ‘Imran: 32)

Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

خَلَّفْتُ فِيكُمْ شَيْئَيْنِ لَنْ تَضِلُّوا بَعْدَهُمَا كِتَابَ اللَّهِ وَسُنَّتِى وَلَنْ يَتَفَرَّقَا حَتَّى يَرِدَا عَلَىَّ الْحَوْضَ

Artinya: “Aku tinggalkan (untuk kalian) dua perkara yang kalian tidak akan sesat selama kalian berpegang teguh kepada keduanya yaitu Kitabullah dan Sunnahku, serta keduanya tidak akan berpisah sampai keduanya mendapatiku di Al-Haudh (telaga di Surga).” [Hadits shahih, diriwayatkan oleh Al-Hakim (I/93), Al-Baihaqi (X/114) dan Malik (hal. 686), dari Abu Hurairah radhiyallahu‘anhu]

Ketiga, Taqlid yang dibolehkan.

Taqlid yang dibolehkan adalah taqlid yang dilakukan oleh seorang awam kepada orang yang lebih ‘alim dan memiliki kemampuan untuk berijtihad, karena orang tersebut tidak mampu untuk melakukan tahqiq (penelitian dalil) dan tarjih (menyimpulkan hukum yang paling dekat kebenarannya dengan dalil) dalam menentukan hukum syari’at. Para ulama bersepakat bahwa seorang awam boleh taqlid kepada ulama yang berjalan di atas Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai perwujudan firman Allah Ta’ala,

فَسْئَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ ۝

Artinya: “Maka bertanyalah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui."(Qs. Al-Anbiya’: 7)

Akan tetapi, ada beberapa syarat yang harus diperhatikan berkaitan dengan dibolehkannya taqlid dalam kondisi semacam ini, antara lain:

1. Seorang yang taqlid adalah seorang yang benar-benar awam terhadap perkara syari’at dan tidak memiliki kemampuan untuk mengetahui hukum Allah Ta’ala dan Rasul-Nya shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Hendaknya orang yang menjadi sasaran taqlid adalah orang yang baik agamanya, dan ilmunya mendalam, serta memiliki kemampuan untuk berijtihad.

3. Orang yang taqlid itu belum mengetahui adanya pendapat lain yang lebih baik dan lebih dekat kepada kebenaran dari pada pendapat yang dia pegangi secara taqlid.

4. Tidak boleh untuk taqlid pada permasalahan yang menyelisihi nash syari’at atau ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin.

5. Orang yang taqlid tidak boleh mewajibkan dirinya untuk mengambil satu madzhab saja dalam semua perkara syari’at. Hendaknya dia berusaha untuk mencari kebenaran dan berpegang pada pendapat yang lebih mendekati kebenaran. Meskipun pendapat tesebut ada di berbagai madzhab.

6. Tidak boleh berpindah-pindah dari satu madzhab ke madzhab yang lainnya dengan tujuan mencari rukhshah (keringanan) dan mencari kemudahan dalam menjalankan syari’at. Sehingga dia hanya mengambil yang dia anggap paling ringan dan paling sesuai dengan nafsunya.

[Lihat Jami’ Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi (II/170), I’lamul Muwaqqi’in (III/462), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 197), Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul (hal. 594-597), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 300-301)]

BOLEHKAH BERMADZHAB?

Diperbolehkan bagi seseorang untuk mengikuti madzhab tertentu karena dua hal:

Pertama, ketidakmampuannya dalam memahami nash-nash agama,

Kedua, dengan mengikuti madzhab tertentu, dapat mencegahnya dari dampak buruk yang timbul akibat ketidaktahuannya terhadap perkara syari’at. Misalnya, membuat pendapat baru yang sama sekali tidak pernah disampaikan oleh ulama.

[Lihat Majmu’ Fatawa (XI/514 dan XX/209), Al-Mukhtasharul Hatsits (hal. 195), dan Mulia dengan Manhaj Salaf (hal. 302)]

Meskipun demikian, orang tersebut harus tetap berusaha menuntut ilmu syar’i dan tidak boleh merasa cukup dengan apa yang diperolehnya dari madzhab yang dia ikuti. Sehingga apabila dia mendapati pendapat lain yang lebih benar dari pendapat madzhab yang dia ikuti, wajib baginya untuk meninggalkan pendapat yang salah dan mengambil pendapat yang benar tersebut.

***

Islam ditegakkan di atas ilmu. Oleh karena itu dalam setiap pelaksanaan syari’at haruslah dilandasi dengan ilmu. Adapun taqlid, itu bukanlah ilmu, sehingga orang-orang yang taqlid tidak boleh mengatakan bahwa pendapat orang yang dia ikuti itu adalah pendapat yang paling benar, sampai dia mampu untuk melakukan pembuktian secara ilmiyah bahwa pendapat tersebut adalah benar.

Dengan demikian, wajib bagi seluruh manusia yang menginginkan keselamatan di dunia maupun di akhirat untuk senantiasa berpegang teguh kepada Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan tidak menyelisihinya karena perkataan atau perbuatan manusia. Sebab Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah manusia yang paling utama untuk diikuti dan petunjuknya adalah sebaik-baik petunjuk.

Allah Tabaraka wa Ta’ala berfirman,

اتَّبِعُوا مَآأُنزِلَ إِلَيْكُم مِّن رَّبِّكُمْ وَلاَتَتَّبِعُوا مِن دُونِهِ أَوْلِيَآءَۗ قَلِيلاً مَاتَذَكَّرُونَ ۝

Artinya: “Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Rabb-mu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selainNya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (dari padanya).” (Qs. Al-A’raf: 3)

Pada ayat di atas, Allah telah memerintahkan hamba-hamba-Nya untuk mengikuti apa yang telah diturunkan-Nya melalui perantara hamba-Nya, yakni Rasulullah Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam, dan Allah melarang kita untuk mengikuti perintah selain dari perintah-Nya.

Hendaknya orang-orang yang taqlid itu mengetahui sumber pengambilan hukum dari orang yang ditaqlidinya dalam rangka mengikuti ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan menghormati para ulama rahimahumullah. Dan barang siapa yang menganggap bahwa taqlid tanpa ilmu itu sebagai perbuatan baik maka ketahuilah, bahwa tidak ada kebaikan sama sekali dalam taqlidnya itu. Karena para ulama ber-Islam atas dasar ilmu dan ittiba’, bukan atas dasar ra’yu (pemikiran/persangkaan dengan akal) dan hawa nafsu semata.

والله تعالى أعلم

سبحانك اللهم وبحمدك أشهـد أن لا إله إلا أنت، استغـفـرك وأتوب إليك

***

Penyusun: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly bintu Muhammad
Editor: Sofyan bin Isma'il al-Muhajirin
Muraja'ah: Ustadz Ammi Nur Baits

Maraji’:
1. Al-Ihkam fi Ushulil Ahkam, Imam Abu Muhammad ‘Ali bin Ahmad bin Sa’id bin Hazm Azh-Zhahiri, cetakan Maktabah Athif, Kairo.
2. Al-Masa’il Jilid 3, Abdul Hakim bin Amir Abdat, cetakan Darus Sunnah, Jakarta.
3. Antara Taqlid dan Ittiba’, Arif Fathul Ulum bin Ahmad Saifullah, dimuat dalam Majalah Al-Furqon Edisi 2 Tahun V, Gresik.
4. I’lamul Muwaqqi’in ‘an Rabbil ‘Alamin Jilid 3 dan 4, Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
5. Jami Bayanil ‘Ilmi wa Fadhlihi Jilid 1 dan 2, Abu ‘Umar Yusuf bin ‘Abdil Barr, cetakan Daar Ibnul Jauzi, Riyadh.
6. Kitabul ‘Ilmi, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Tsuraya, Riyadh.
7. Mulia dengan Manhaj Salaf, Yazid bin Abdul Qadir Jawas, cetakan Pustaka At-Taqwa, Bogor.
8. Shifat Shalatin Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam minat Takbir ilat Taslim Ka-annaka Taraha, Muhammad Nashiruddin Al-Albani, cetakan Maktabah Al-Ma’arif, Riyadh.
9. Syarah Ushul min ‘Ilmil Ushul, Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin, cetakan Daar Ibnu Haitsam, Kairo.
10. Tafsir Al-Qur’anil ‘Azhim, Imam Al-Hafizh Imaduddin Abul Fida’ Isma’il bin Katsir Al-Qurasyi Ad-Dimasyqi, cetakan Daar Thayyibah, Riyadh.
11. Tegar di Atas Sunnah, Kumpulan Para Ulama, cetakan Media Tarbiyah, Bogor.

Kamis, 26 Januari 2012

TASAWUF DAN AQIDAH MANUNGGALING KAWULA GUSTI


Selasa, 06-Juni-2006, Penulis: Buletin Islam Al Ilmu,Jember Edisi 30/II/I/1425
 
Puncak kekufuran yang terdapat pada sekte sesat ini adalah adanya keyakinan atau akidah bahwa siapa saja yang menelusuri ilmu laduni (ilmu batin) maka pada terminal akhir ia akan sampai pada tingkatan fana (melebur/menyatu dengan Dzat Allah). Sehingga ia memiliki sifat-sifat laahuut (ilahiyyah) dan naasuut (insaniyyah). Secara lahir ia bersifat insaniyyah namun secara batin ia memiliki sifat ilahiyyah. Maha suci Allah dari apa yang mereka yakini!!. Akidah ini populer di tengah masyarakat kita dengan istilah manunggaling kawula gusti.



Adapun munculnya akidah rusak ini bukanlah sesuatu yang baru lagi di jaman sekarang ini dan bukan pula isapan jempol dan tuduhan semata.



Bukti Bukti Nyata Tentang Akidah Manunggaling Kawula Gusti Di Tubuh Kaum Sufi

Hal ini dapat dilihat dari ucapan para tokoh legendaris dan pendahulu sufi seperti Al Hallaj, Ibnul Faridh, Ibnu Sabi’in dan masih banyak lagi yang lainnya di dalam karya-karya mereka. Cukuplah dengan ini sebagai saksi atas kebenaran bukti-bukti tadi.



1. Al Hallaj berkata:



“Maha suci Dia yang telah menampakkan sifat naasuut (insaniyah)-Nya lalu muncullah kami sebagai laahuut (ilahiyah)-Nya

Kemudian Dia menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam wujud orang yang makan dan minum

Sehingga makhluk-Nya dapat melihat-Nya dengan jelas seperti pandangan mata dengan pandangan mata” (Ath Thawaasin hal. 129)





“Aku adalah Engkau (Allah) tanpa adanya keraguan lagi

Maha suci Engkau Maha suci aku Mengesakan Engkau berarti mengesakan aku

Kemaksiatan kepada-MU adalah kemaksiatan kepadaku

Marah-Mu adalah marahku Pengampunan-Mu adalah pengampunanku “

(Diwanul Hallaj hal. 82)





“Kami adalah dua ruh yang menitis jadi satu

Jika engkau melihatku berarti engkau melihat-Nya

Dan jika engkau melihat-Nya berarti yang engkau lihat adalah kami” (Ath Thawaasin hal. 34)



2. Ibnu Faridh berkata dalam syairnya:



Tidak ada shalat kecuali hanya untukku

Dan shalatku dalam setiap raka’at bukanlah untuk selainku. (Tanbih Al Ghabi fi Takfir Ibnu Arabi hal. 64)



3. Abu Yazid Al Busthami berkata:

”Paling sempurnanya sifat seseorang yang telah mencapai derajat ma’rifat adalah adanya sifat-sifat Allah pada dirinya. (Demikian pula) sifat ketuhanan ada pada dirinya.” (An Nuur Min Kalimati Abi Thaifut hal. 106 karya Abul Fadhl Al Falaki)

Maka diapun mengungkapkan keheranannya dengan berujar: “Aku heran kepada orang-orang yang mengaku mengenal Allah, bagaimana mereka bisa beribadah kepada-Nya?!



Lebih daripada itu, dia menuturkan pula akidah ini kepada orang lain tatkala seseorang datang dan mengetuk rumahnya. Dia bertanya: “Siapa yang engkau cari? Orang itu menjawab: “Abu Yazid.” Diapun berkata: “Pergi! Tidaklah yang ada di rumah ini kecuali Allah.” (An Nuur hal. 84)

Pada hal. 110 dia pernah ditanya tentang perihal tasawuf maka dia menjawab: “Sifat Allah telah dimiliki oleh seorang hamba”.



Akidah Manunggaling Kawula Gusti membawa kaum sufi kepada keyakinan yang lebih rusak yaitu wihdatul wujud. Berarti tidak ada wujud kecuali Allah itu sendiri, tidak ada dzat lain yang tampak dan kelihatan ini selain dzat yang satu, yaitu dzat Allah.



Ibnu Arabi berkata:



Tuhan itu memang benar ada dan hamba itu juga benar ada

Wahai kalau demikian siapa yang di bebani syariat?

Bila engkau katakan yang ada ini adalah hamba, maka hamba itu mati

Atau (bila) engkau katakan yang ada ini adalah Tuhan lalu mana mungkin Dia dibebani syariat? (Fushulul Hikam hal. 90)



Penyair sufi bernama Muhammad Baharuddin Al Baithar berkata: “Anjing dan babi tidak lain adalah Tuhan kami Allah itu hanyalah pendeta yang ada di gereja” (Suufiyat hal. 27)



Dalil-Dalil Yang Dijadikan Kaum Sufi Sebagai Penopang Akidah Manunggaling Kawula Gusti



Sepintas, seorang awampun mampu menolak atau bahkan mengutuk akidah mereka ini dengan sekedar memakai fitrah dan akalnya yang sehat. Namun, bagaimana kalau ternyata kaum Sufi membawakan beberapa dalil baik dari Al Qur’an maupun As Sunnah bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar diajarkan di dalam agama ini – tentunya menurut sangkaan mereka?!

Mampukah orang tersebut membantah ataukah sebaliknya, justru tanpa terasa dirinya telah digiring kepada pengakuan akidah ini ketika mendengar dalil-dalil tersebut? Dali-dalil tersebut adalah:

1. Surat Al Hadid 5 :

وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنْتُمْ

yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada.”

2. Surat Qaaf 16 :

وَنَحْنُ أَقْرَبُ إِلَيْهِ مِنْ حَبْلِ الْوَرِيدِ

yang artinya: “Dan Kami lebih dekat kepadanya (hamba) daripada urat lehernya sendiri.

3. Sabda Rasulullah dalam hadits Qudsi: “Dan senantiasa hamba-Ku mendekatkan diri kapada-Ku dengan amalan-amalan sunnah sampai Aku pun mencintainya Bila Aku mencinatainya maka jadilah Aku sebagai telinganya yang dia mendengar dengannya, mata yang dia melihat dengannya, tangan yang dia memegang sesuatu dengannya, dan kaki yang dia berjalan dengannya. (H.R. Al Bukhari)



Bantahan Terhadap Syubhat (Kerancuan Berfikir) Mereka Dalam Mengambil Dalil-Dalil diatas



Dengan mengacu kepada Al Qur’an dan As Sunnah di bawah bimbingan para ulama terpercaya, maka kita akan dapati bahwa syubhat mereka tidak lebih daripada sarang laba-laba yang sangat rapuh.

1. Tentang firman Allah di dalam surat Al Hadid 5, para ulama telah bersepakat bahwa kebersamaan Allah dengan hamba-hamba-Nya tersebut artinya ilmu Allah meliputi keberadaan mereka, bukan Dzat Allah menyatu bersama mereka. Al Imam Ath Thilmanki rahimahullah berkata: “Kaum muslimin dari kalangan Ahlus Sunnah telah bersepakat bahwa makna firman Allah yang artinya: “Dan Dia (Allah) bersama kalian dimana kalian berada” adalah ilmu-Nya. (Dar’ut Ta’arudh 6/250)

2. Yang dimaksud dengan lafadz “kami” di dalam surat Qaaf: 16 tersebut adalah para malaikat pencatat-pencatat amalan. Hal ini ditunjukkan sendiri oleh konteks ayat setelahnya. Pendapat ini dipilih oleh Ibnu Jarir Ath Thabari, Ibnu Taimiyah, Ibnul Qayyim, Ibnu Katsir dan para ulama yang lainnya. Sedangkan Ath Thilmanki dan Al Baghawi memilih pendapat bahwa yang dimaksud lafadz “lebih dekat” adalah ilmu dan kekuasaan-Nya lebih dekat dengan hambanya-Nya daripada urat lehernya sendiri.

3. Al Imam Ath Thufi ketika mengomentari hadits Qudsi tersebut menyatakan bahwa ulama telah bersepakat kalau hadits tersebut merupakan sebuah ungkapan tentang pertolongan dan perhatian Allah terhadap hamba-hamba-Nya. Bukan hakikat Allah sebagai anggota badan hamba tersebut sebagaimana keyakinan Wihdatul Wujud. (Fathul Bari)

Bahkan Al Imam Ibnu Rajab rahimahullah menegaskan bahwa barangsiapa mengarahkan pembicaraannya di dalam hadits ini kepada Wihdatul Wujud maka Allah dan rasul-Nya berlepas diri dari itu. (Jami’ul Ulum wal Hikam hal. 523-524 bersama Iqadhul Himam)



Beberapa Ucapan Batil Yang Terkait Erat Dengan Akidah Ini



1. Dzat Allah ada dimana-mana. Ucapan ini sering dikatakan sebagian kaum muslimin ketika ditanya: “Dimana Allah berada?” Maka sesungguhnya jawaban ini telah menyimpang dari Al Qur’an dan As Sunnah serta kesepakatan Salaf. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Barang siapa yang mengatakan bahwa Dzat Allah ada di setiap tempat maka dia telah menyelisihi Al Qur’an, As Sunnah dan kesepakatan Salaf. Bersamaan dengan itu dia menyelisihi fitrah dan akal yang Allah tetapkan bagi hamba-hambanya. (Majmu’ Fatawa 5/125)

2. Dzat Allah ada di setiap hati seorang hamba.

Ini adalah jawaban yang tak jarang pula dikatakan sebagian kaum muslimin tatkala ditanya tentang keberadaan Allah. Beliau (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah) juga berkata; “Dan adapun keyakinan bahwa Dzat Allah ada di dalam hati setiap orang kafir maupun mukmin maka ini adalah batil. Tidak ada seorang pun dari pendahulu (Salaf) umat ini yang berkata seperti itu. Tidak pula Al Qur’an ataupun As Sunnah, bahkan Al Qur’an, As Sunnah, kesepakatan Salaf dan akal yang bersih justru bertentangan dengam keyakinan tersebut. (Syarhu Haditsin Nuzuul hal 375)



Beberapa Ayat Al Qur’an Yang Membantah Akidah Manunggaling Kawula Gusti



Ayat-ayat Al Qur’an secara gamblang menegaskan bahwa akidah Manunggaling Kawula Gusti benar-benar batil. Allah ta’ala berfirman :

وَجَعَلُوا لَهُ مِنْ عِبَادِهِ جُزْءًا إِنَّ الإِنْسَانَ لَكَفُورٌ مُبِينٌ

artinya : “Dan mereka (orang-orang musyrikin) menjadikan sebagian hamba-hamba Allah sebagai bagian dari-Nya. Sesungguhnya manusia itu benar-benar pengingkar yang nyata.” (Az Zukhruf: 15)



فَاطِرُ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَمِنَ الأَنْعَامِ أَزْوَاجًا يَذْرَؤُكُمْ فِيهِ لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ

“Dia Pencipta langit dan bumi. Dia menjadikan bagi kamu dari jenis kamu sendiri yang berpasang-pasangan dan dari jenis binatang ternak yang berpasang-pasangan (pula), Dia jadikan kamu berkembangbiak dengan jalan itu. Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan dia, dan Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat (Asy Syura: 11)



Lihatlah, ketika Allah menjawab permintaan Musa yang ingin melihat langsung wujud Allah di dunia. Allah pun berfirman :

قَالَ لَنْ تَرَانِي وَلَكِنِ انْظُرْ إِلَى الْجَبَلِ فَإِنِ اسْتَقَرَّ مَكَانَهُ فَسَوْفَ تَرَانِي فَلَمَّا تَجَلَّى رَبُّهُ لِلْجَبَلِ جَعَلَهُ دَكًّا وَخَرَّ مُوسَى صَعِقًا فَلَمَّا أَفَاقَ قَالَ سُبْحَانَكَ تُبْتُ إِلَيْكَ وَأَنَا أَوَّلُ الْمُؤْمِنِينَ “

(artinya) : "Kamu sekali-sekali tidak sanggup melihat-Ku, tapi lihatlah ke gunung itu, tatkala ia tetap ditempat itu niscaya kamu dapat melihat-Ku. Tatkala Tuhan menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikan gunung itu hancur luluh dan Musa pun pingsan. Setelah sadar Musa berkata: Maha suci Engkau, aku bertaubat dan aku orang yang pertama-tama beriman”. (Al A'raf: 143) 


Jumat, 20 Januari 2012

Uluwullah (Sifat Tinggi Allah)


November 6th 2008 by Abu Muawiah | Kirim via Email
Uluwullah (Sifat Tinggi Allah)
Uluwullah Ta’ala termasuk dari sifat-sifat zatiah (yang terus-menerus Allah bersifat dengannya), dan dia terbagi dua jenis: Uluw (ketinggian) zat dan uluw sifat.
1.    Adapun uluw sifat, maka maknanya adalah bahwa tidak ada satu pun sifat sempurna kecuali hanya milik Allah Ta’ala yang paling tinggi dan paling sempurnanya, baik sifat itu termasuk dari sifat-sifat pujian dan kekuatan maupun termasuk sifat-sifat keindahan dan kekuasaan.
2.    Adapun uluw zat, maka maknanya adalah bahwa Allah -dengan zat-Nya- berada di atas seluruh makhluk-Nya. Ini ditunjukkan oleh Al-Kitab, As-Sunnah , ijma’, akal dan fitrah.
Adapun Al-Kitab dan As-Sunnah, maka keduanya penuh berisi dalil-dalil yang tegas dan jelas dalam menetapkan uluwullah Ta’ala dengan zat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya.
Pendalilan keduanya terhadap sifat uluw ini sangat beraneka ragam:
1.    Terkadang dengan penyebutan terhadap sifat uluw, fauqiah (di atas), istiwa’ di atas arsy dan bahwa Dia berada di atas langit. Seperti firman Allah Ta’ala, “Dan Allah Maha Tinggi lagi Maha Besar.” (QS. Al-Baqarah: 255) “Sucikanlah nama Tuhanmu Yang Maha Tingi,” (QS. Al-A’la: 1) “Mereka takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka dan melaksanakan apa yang diperintahkan (kepada mereka).” (QS. An-Nahl: 50) “Tuhan Yang Maha Pemurah. Yang tinggi di atas ‘Arsy.” (QS. Thaha: 5) “Apakah kamu merasa aman terhadap Allah yang (berkuasa) di langit bahwa Dia akan menjungkir balikkan bumi bersama kamu, sehingga dengan tiba-tiba bumi itu bergoncang?” (QS.Al-Mulk: 16). Juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Arsy berada di atas semua itu dan Allah berada di atas arsy.”(1) dan sabda beliau, “Tidaklah kalian percaya kepadaku padahal saya adalah orang kepercayaannya Siapa yang di atas langit.”(2)
2.    Terkadang dengan penyebutan naiknya, ke atasnya dan diangkatnya sesuatu kepada-Nya. Seperti firman Allah Ta’ala,“Kepada-Nyalah naik perkataan-perkataan yang baik dan amal yang saleh dinaikkan-Nya.”(QS. Fathir: 10), firman Allah Ta’ala,“Malaikat-malaikat dan Jibril naik (menghadap) kepada Tuhan dalam sehari yang kadarnya limapuluh ribu tahun.” (QS. Al-Ma’arij: 4), dan firman Allah Ta’ala, “Tetapi (yang sebenarnya), Allah telah mengangkat Isa kepada-Nya.” (QS. An-Nisa: 158). Juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Tidak ada yang naik kepada Allah kecuali sesuatu yang baik,” sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-, “Kemudian para malaikat yang bermalam di sisi kalian naik kepada Rabb mereka,” dan sabda beliau -alaihishshalatu wassalam-, “Amalan malam diangkat kepada-Nya sebelum dimulainya amalan siang dan amalan siang diangkat kepada-Nya sebelum dimulainya amalan malam.” (HR. Ahmad)
3.    Terkadang dengan penyebutan turunnya sesuatu dari-Nya dan semacamnya. Seperti firman Allah Ta’ala, “Diturunkan dari Rabbil ‘alamiin.” (QS. Al-Waqiah: 80) dan firman Allah Ta’ala, “Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Quran itu dari Tuhanmu dengan benar.” (QS. An-Nahl: 102). Juga sabda Nabi -alaihishshalatu wassalam-, “Rabb kita turun ke langit dunia ketika tersisa sepertiga malam terakhir.” (3)
Dan selain ayat-ayat dan hadits-hadits yang mutawatir dari Nabi -alaihissalatu wassalam- tentang sifat uluwullah Ta’ala di atas seluruh makhluk-Nya dengan kemutawatiran yang mengharuskan lahirnya keyakinan yang pasti bahwa Nabi -alaihishshalatu wassalam- mengucapkan hadits-hadits tersebut dari Rabbnya dan umat beliau menerimanya dari beliau.
Adapun ijma, maka para sahabat, orang-orang yang mengikuti mereka dengan baik serta para imam ahlussunnah telah bersepakat bahwa Allah Ta’ala berada di atas langit-langit-Nya, di atas arsy-Nya. Ucapan-ucapan mereka sangat banyak menunjukkan hal tersebut dengan ucapan yang tegas dan jelas. Al-Auzai berkata, “Kami berkata -sementara para tabi’in masih banyak yang hidup-: Sesungguhnya Allah -Yang Maha Tinggi penyebutan-Nya- berada di atas arsy-Nya dan kami mengimani setiap sifat-Nya dan kami mengimani semua sifat yang disebutkan dalam As-Sunnah.”(4) Al-Auzai mengucapkan hal ini setelah munculnya mazhab Jahm yang menafikan sifat-sifat Allah dan ketinggian-Nya,  agar manusia mengetahui bahwa mazhab salaf itu bertentangan dengan mazhab Jahm.
Tidak ada seorang pun dari ulama salaf yang pernah berkata bahwa Allah tidak berada di atas langit, atau Dia -dengan zat-Nya- berada di mana-mana, atau semua tempat sama saja bagi diri-Nya, atau Dia tidak boleh diisyaratkan dengan syarat hissiah (ditunjuk atau ditanyakan tempat keberadaan-Nya). Bahkan makhluk yang paling mengenal Allah sendiri telah berisyarat kepada-Nya di haji wada` pada hari arafah dalam pertemuan akbar itu, tatkala beliau menunjukkan jari beliau ke langit seraya bersabda, “Ya Allah, persaksikanlah.” Beliau meminta Rabbnya menjadi saksi akan pengakuan umat beliau bahwa beliau telah menyampaikan risalah, shalawat dan salam Allah kepada beliau.
Adapun akal, maka semua akal yang sehat akan menunjukkan wajibnya sifat ketinggian bagi Allah –dengan zat-Nya- di atas seluruh makhluk-Nya. Hal ini bisa ditinjau dari dua sisi:
Pertama: Uluw adalah sifat sempurna, sementara Allah wajib bersifat dengan kesempurnaan yang mutlak dari seluruh sisi. Maka kelazimannya sifat uluw ini tsabit untuk Allah -Tabaraka wa Ta’ala.
Kedua: Uluw lawannya sulf (rendah) dan rendah adalah sifat kurang, sementara Allah harus disucikan dari semua sifat kekurangan. Maka kelazimannya Dia harus disucikan dari sifat rendah dan tsabitnya kebalikan darinya, yaitu sifat uluw.
Adapun fitrah, maka Allah Ta’ala telah memfitrahkan seluruh makhluk -baik yang arab maupun yang ajam (non arab) sampai binatang sekalipun- untuk beriman kepada-Nya dan sifat ketinggian-Nya. Kerena tidak ada seorang pun hamba yang menghadap kepada Allah dengan sebiah doa atau ibadah kecuali dia merasakan di dalam dirinya keharusan mencari ke arah atas dan dia merasa niat hatinya ke langit, tidak menoleh kearah lainnya, tidak ke kanan dan tidak pula ke kiri. Tidak ada yang menyimpang dari keharusan fitrah ini kecuali orang yang telah digelincirkan oleh setan-setan dan hawa nafsu.
Abu Al-Ma’ali Al-Juwaini pernah berkata dalam majelisnya, “Allah sudah ada dari dahulu dan ketika itu belum ada apa-apa, dan sekarang Dia tetap sebagaimana keadaan-Nya dahulu.” Dia mengucapkan ini untuk mengingkari sifat istiwa` Allah di atas arsy-Nya. Maka Abu Ja’far Al-Hamdani berkata, “Tidak usah kamu menyinggung-nyinggung tentang arsy di hadapan kami -maksudnya arsy itu jelas ada berdasarkan wahyu-, tapi terangkanlah kepada kami tentang keharusan yang kami rasakan dalam hati-hati kami. Tidak ada seorang pun yang mengenal Allah yang berkata, “Ya Allah.” Kecuali dia merasakan di dalam hatinya keharusan untuk mencari ke arah atas, tidak menoleh kekanan dan tidak pula ke kiri. Bagaimana bisa kami menolak sesuatu yang pasti ini dari dalam hati kami!?” Maka Abu Al-Ma’ali berteriak sambil memukul kepalanya seraya berkata, “Al-Hamdani telah membuatku bingung, Al-Hamdani telah membuatku bingung.” (Lihat As-Siar (18/475))
Inilah lima dalil yang semuanya bersepakat untuk menetapkan sifat uluwullah deng zat-Nya di atas seluruh makhluk-Nya.
Adapun firman Allah Ta’ala, “Dan Dialah Allah (yang disembah), baik di langit maupun di bumi; Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan.” (QS.Al-An’am: 3) dan firman Allah Ta’ala,“Dan Dialah Tuhan (Yang disembah) di langit dan Tuhan (Yang disembah) di bumi,” (QS. Az-Zukhruf: 84) maka bukan maknanya bahwa Allah berada di bumi sebagaimana Dia berada di atas langit. Barang siapa yang menyangka demikian atau menukil sangkaan tersebut dari seorang ulama salaf, maka dia telah salam dalam sangkaannya dan berdusta dalam penukilannya itu.
Ayat yang pertama hanyalah bermakna bahwa Allah adalah ma`luh (sembahan) di langit dan di bumi, semua yang ada pada keduanya menyembah dan beribadah kepada-Nya. Ada yang mengatakan: Maknanya adalah bahwa Allah berada di atas semua langit, kemudian Dia memulai dengan kalimat baru dengan firman-Nya, “Di bumi, Dia mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan apa yang kamu lahirkan dan mengetahui (pula) apa yang kamu usahakan,”(QS. Al-An’am: 3) yakni: Sesungguhnya Allah mengetahui semua yang kalian sembunyikan dan yang kalian nampakkan di bumi.
Adapun ayat yang kedua, maka maknanya adalah bahwa Allah adalah ilah (sembahan) di langit dan ilah di bumi, sehingga uluhiah-Nya tsabit paa keduanya (langit dan bumi) walaupun Dia sendiri berada di atas langit. Semisal dengannya ucapan seseorang: “Fulan adalah penguasa di Makkah dan penguasa di Madinah,” maksudnya: Kekuasaannya tsabit pada kedua negeri tersebut walaupun dia sendiri tinggal di salah satu dari kedua negeri tersebut. Dan ini adalah ungkapan yang benar, baik dari sisi bahasa maupun sisi ‘urf (kebiasaan), wallahu a’lam.
[Diterjemah dari Talkish Al-Hamawiah bab kedelapan karya Asy-Syaikh Ibnu Al-Utsaimin]
_____________
1.    (Lihat I’tiqad Ahlissunnah karya Al-Lalakai (3/395/659) dan Mukhtashar Al-Uluw no. 48 karya Al-Albani. Hadits ini dishahihkan oleh Adz-Dzahabi dan Ibnul Qayyim serta dihukumi jayyid oleh Syaikh Al-Albani, sementara sanadnya mauquf)
2.    (HR. Al-Bukhari (4301) Kitab Al-Maghazi, 16. Bab Pengutusan Ali bin Abi Thalib. Dan Muslim (1064) Kitab Az-Zakah, 47. Bab Penyebutan Khawarij dan sifat-sifat mereka.)
3.    (HR. Al-Bukhari (1145) Kitab Abwab At-Tahajjud, 14. Bab Berdoa dan Shalat di akhir malam, dan Muslim (758) Kitab Shalat Al-Musafirin, 24. Bab Motifasi untuk berdoa dan berzikir di akhir malam dan bahwa doa dikabulkan padanya)
4.    (Lihat Siar A’lam An-Nubala` (7/121) dan Fathul Bari (13/406))

Dua Kerancuan Dalam Masalah Keberadaan Allah


June 3rd 2011 by Abu Muawiah | Kirim via Email
Dua Kerancuan Dalam Masalah Keberadaan Allah
Sebelum menguraikan beberapa syubhat dan jawabannya, perlu diketahui letak perselisihan antara Ahlus Sunnah dan kelompok-kelompok yang menyimpang dalam masalah ini. Dan uraiannya sebagai berikut :
Tidak ada perbedaan pendapat diantara seluruh kelompok dari kalangan Ahlus Sunnah dan selainnya akan penetapan ‘Uluwul Qadr(Ketinggian derajat/kekuatan) dan ‘Uluwul Qahr (Ketinggian kekuasaan dan keperkasaan).
Letak perselisihan Ahlus Sunnah dan seluruh kelompok yang menyimpang adalah dalam menetapkan ‘Uluwudz Dzat (Ketinggian Dzat). (Lihat Mukhtashor Ash-Showa‘iqh 1/275).
Berikut ini beberapa syubhat dan jawabannya :
Syubhat Pertama
Dan sungguh banyak dari ahli bid’ah yang memahami bahwasanyaAhlus Sunnah menta`wil ayat-ayat ma’iyah (yang menunjukkan bahwa Allah bersama dengan makhluk-Nya) dan memalingkannya dari zhohirnya agar mengharuskan Ahlus Sunnah untuk menyetujuita`wil (yang mereka lakukan) tersebut atau (Ahlus Sunnah) bergampangan dalam masalah tersebut. Mereka mengatakan : “Bagaimana bisa kalian wahai Ahlus Sunnah mengingkari kami dalam menta`wil apa-apa yang kami ta`wil padahal kalian juga melakukan yang semisalnya (menta`wil) pada apa-apa yang kalian ta`wil ?!”.
Berkata Al-Juwainy : Bila mereka –yaitu Ahlus Sunnah- berdalil dengan zhohir firman Allah :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.”(QS. Thoha : 5)
maka sisi kritikian terhadap mereka yaitu adanya beberapa ayat yang mendukung kami untuk menta`wilnya, diantaranya adalah firman Allah Ta’ala :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”. (QS. Al-Hadid : 4)
maka kita tanyakan kepada mereka (Ahlus Sunnah) tentang makna ayat tersebut. Maka jika mereka membawanya kepada makna Al-Ihathoh (meliputi) dan ilmu maka tidaklah terlarang untuk membawa makna Istiwa` kepada makna kekuasaan dan mengalahkan”. (Al-Irsyad karya Al-Juwainy hal 40)
Ayat-ayat yang mereka inginkan adalah : Surah Al-Hadid ayat 4, Al-Mujadilah ayat 7, Al-An’am ayat 3 dan selainnya dari ayat-ayatma’iyah, mereka mengatakan : ayat-ayat ini menunjukkan bahwa Allah bersama kita dengan Dzat-Nya dan sesungguhnya Dia berada di setiap tempat.

Dan kita jawab syubhat ini dari beberapa sisi :
1.      Apa-apa yang disebutkan oleh para ulama Salaf dalam tafsir ayat-ayat ini. Mereka mengarahkan “kebersamaan Allah” dalam ayat-ayat ini kepada makna “kebersamaan ilmu-Nya”. Mereka mengatakan : “Sesungguhnya Allah bersama kita dengan ilmu-Nya. Dan (penafsiran) ini adalah penafsiran Al-Qur`an dengan menggunakan Al-Qur`an, dan tidak ada keraguan bahwa penafsiran seperti ini merupakan cara yang paling tinggi dan paling benar dalam penafsiran, karena firman Allah, satu sama lainnya saling menafsirkan dan saling memperjelas satu dengan yang lainnya serta saling membenarkan satu dengan yang lainnya. Maka kalam Allah tidaklah saling bertentangan dan tidak pula saling berlawanan dan tidak saling bertolak belakang.
Adapun ayat yang pertama :
مَا يَكُونُ مِن نَّجْوَى ثَلَاثَةٍ إِلَّا هُوَ رَابِعُهُمْ وَلَا خَمْسَةٍ إِلَّا هُوَ سَادِسُهُمْ وَلَا أَدْنَى مِن ذَلِكَ وَلَا أَكْثَرَ إِلَّا هُوَ مَعَهُمْ أَيْنَ مَا كَانُوا
“Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dia-lah yang keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dia-lah yang keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara (jumlah) yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia ada bersama mereka di manapun mereka berada.”. (QS. Al-Mujadilah : 7)
maka Allah Subahanahu telah memulainya dengan ilmu, dalam firman-Nya :
أَلَمْ تَرَ أَنَّ اللَّهَ يَعْلَمُ مَا فِي السَّمَاوَاتِ وَمَا فِي الْأَرْضِ
“Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi?.”. (QS. Al-Mujadilah : 7)
dan Allah juga menutup ayat tersebut dengan ilmu, dalam firman-Nya :
إِنَّ اللَّهَ بِكُلِّ شَيْءٍ عَلِيمٌ
“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.”. (QS. Al-Mujadilah : 7)
Berkata Imam Ahmad : “Allah membuka khobar (ayat) ini dengan ilmu-Nya dan menutupnya dengan ilmu-Nya”. (Lihat Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah waz Zanadiqoh karya Imam Ahmad, hal. 137).
Berkata Ibnu Katsir dalam Tafsirnya : “Oleh karena itulah, lebih dari satu orang telah menghikayatkan Ijma’ bahwa yang dimaksudkan dalam ayat ini adalah kebersamaan ilmu-Nya (Allah) Ta’ala, tidak ada keraguan bahwa (makna) ini yang dimaksud. Akan tetapi pendengaran Allah juga bersama ilmu-Nya mengetahui makhluk-Nya dan penglihatan-Nya sampai kepada mereka, maka Allah Maha Mengetahui keadaan para makhluk-Nya, tidak ada yang luput dari-Nya dari perkara-perkara mereka sedikitpun juga”.
Adapun ayat yang kedua :
وَهُوَ مَعَكُمْ أَيْنَ مَا كُنتُمْ
“Dan Dia bersama kamu di mana saja kamu berada.”. (QS. Al-Hadid : 4)
Ibnu Abi Hatim telah meriwayatkan dari Ibnu ‘Abbas beliau berkata (tentang tafsir ayat) : “(Allah) Maha Mengetahui tentang kalian dimanapun kalian berada”. Ad-Durrul Mantsur karya As-Suyuthy 8/49.
Dan Sufyan Ats-Tsaury menafsirkan bahwa makna hal tersebut adalah ilmu-Nya. Lihat As-Sunnah karya ‘Abdullah bin Ahmad 1/207 dan Al-Asma` wa Ash-Shifakarya Al-Baihaqy 2/172, Syarh Ushul I’tiqod Ahlissunnah 2/401, Khalqu Af’alil ‘Ibahal. 130 dan selainnya.
Dan berkata Al-Qurthuby (17/237) : “Dan Dia bersama kalian” yaitu kemampuan dan kekuasaan-Nya.
Berkata Ibnu Jarir (27/216) : “Dan Dia menyaksikan kalian wahai manusia dimanapun kalian berada, Dia mengetahui kalian dan mengetahui amalan-amalan kalian, tempat kalian beusaha dan tempat tinggal kalian sedangkan Dia berada di atas Arsy-Nya di atas langit-Nya yang tujuh.
2.      Dan telah tetap dalam Al-Qur`an pada tempat-tempat yang sangat banyak bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas langit, tinggi dan menetap dai atas Arsy-Nya, dan ayat-ayat tentang hal itu sangatlah banyak dan telah berlalu sebahagiannya.
Demikian pula hadits-hadits yang sangat jelas dalam menunjukkan akan ketinggian Allah Ta’ala juga sangat banyak dan juga telah berlalu sebahagiannya.
3.      Di sana ada ayat-ayat yang sangat banyak, yang sangat tegas menunjukkan bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala meliputi seluruh makhluk-Nya dengan ilmu-Nya dan bukan dengan Dzat-Nya. Dan diantaranya adalah firman Allah Ta’ala :
لِتَعْلَمُوا أَنَّ اللَّهَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ قَدِيرٌ وَأَنَّ اللَّهَ قَدْ أَحَاطَ بِكُلِّ شَيْءٍ عِلْمًا
“Agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan sesungguhnya Allah, ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu.”. (QS. Ath-Tholaq : 12)
Dan firman-Nya Ta’ala :
رَبَّنَا وَسِعْتَ كُلَّ شَيْءٍ رَّحْمَةً وَعِلْمًا فَاغْفِرْ لِلَّذِينَ تَابُوا وَاتَّبَعُوا سَبِيلَكَ
“Ya Tuhan kami, rahmat dan ilmu Engkau meliputi segala sesuatu, maka berilah ampunan kepada orang-orang yang bertaubat dan mengikuti jalan Engkau”. (QS. Ghofir : 7)
Dan firman-Nya Ta’ala :
عَالِمِ الْغَيْبِ لَا يَعْزُبُ عَنْهُ مِثْقَالُ ذَرَّةٍ فِي السَّمَاوَاتِ وَلَا فِي الْأَرْضِ
“Yang mengetahui yang ghaib, sesungguhnya kiamat itu pasti akan datang kepadamu. Tidak ada tersembunyi daripada-Nya seberat zarrahpun yang ada di langit dan yang ada di bumi”. (QS. Saba` : 3)
Oleh karena itulah, para ulama Salaf sepakat bahwa sesungguhnya Allah Ta’ala berada di atas Arsy-Nya dan bahwa makna kebersamaan (dalam ayat itu) adalah “kebersamaan ilmu” dan bahwa ilmu-Nya meliputi semua tempat, dan telah berlalu penjelasan tentang hal ini.
4.      Perkataan bahwa Allah Ta’ala berada di semua tempat memunculkan kelaziman-kelaziman yang batil dan sesat berupaittiha(bersatunya Allah dengan makhluk) dan hulu(menitisnya Allah dalam makhluk) sebagaimana yang dikatakan oleh orang-orang yang zindiq (pura-pura masuk Islam untuk menghancurkan Islam) dan orang-orang tasawwuf. Dan perkataan inilah yang mengantarkan pengikut madzhab wihdatul wujud (bersatunya Allah dengan makhluk) dari kalangan ahli tasawuf kepada akhir yang menyedihkan seperti ini.
Dan demikian pula (perkataan kalian bahwa Allah ada di semua tempat) mengharuskan kalian (wahai ahli tasawuf) untuk mengatakan bahwa Allah berada di tempat-tempat sampah, di dalam perut-perut manusia dan di kamar-kamar mandi, Maha Tinggi Allah dari hal-hal yang seperti itu.
Berkata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin rahimahullah : “Penafsiran ma’iyyahAllah dengan makhluk-Nya dengan penafsiran yang menunjukkan bahwa Allah melebur/berdiam (masuk) pada makhluk dan bercampur dengannya adalah bathil, tidak dapat dibenarkan dengan alasan :
1.      Penafsiran ini menyelisihi Ijma’ salaf, sebab tidak ada seorangpun dari salaf yang menafsirkan demikian. Bahkan mereka bersepakat untuk menolak penafsiran ini.
2.      Penafsiran ini bertentangan dengan kemaha tinggian AllahSubhanahu wa Ta’ala yang telah ditetapkan berdasarkan Al-Qur`an, Sunnah, akal, fitrah dan Ijma’ salaf. Dan apapun yang bertentangan dengan kebenaran yang berdasar pada dalil adalah bathil. Atas dasar ini maka penafsiran ma’iyah Allah Subhanahu wa Ta’ala dengan makhluk-Nya dengan pengertian yang menunjukkan bahwa Allah melebur (berdiam/masuk) bersama makhluk dan bercampur dengannya adalah bathil berdasarkan Kitab, Sunnah, akal, fitrah dan Ijma salaf.
3.      Penafsiran ini menimbulkan beberapa konsekwensi yang bathil pula yang tidak layak bagi Allah Subhanahu wa Ta’ala.
(Lihat : Al-Qowa‘idul Mutsla hal. 52)
Berkata Imam Ahlus Sunnah, Imam Ahmad : “Bila kamu ingin mengetahui bahwa seorang Jahmiyah berdusta atas nama Allah tatkala dia menyangka sesungguhnya Allah berada di semua tempat dan tidak berada pada satu tempat saja, maka katakan (kepadanya) : “Bukankah Allah sudah ada dari dahulu dan tidak ada sesuatupun (yang bersama-Nya) ?”, maka dia akan menjawab : “Betul”, maka katakan kepadanya : “Tatkala Allah menciptakan makhluk, (apakah) Allah menciptakannya di dalam diriNya atau di luar diriNya ?”, maka dia pasti akan menjawab dengan salah satu dari tiga jawaban:
Bila dia menyangka sesungguhnya Allah menciptakan makhluk di dalam dirinya maka dia kafir tatkala dia menyangka sesungguhnya jin, manusia dan syetan-syetan berada di dalam diri-Nya.
Dan bila dia menjawab : “Allah menciptakan mereka di luar dari diri-Nya kemudian Allah masuk kepada mereka”, ini juga merupakan kekafiran tatkala dia menyangka sesungguhnya Dia masuk ke tempat sunyi, kotor dan buruk.
Dan bila dia menjawab : “Allah menciptakan mereka di luar dirinya kemudian tidak masuk kepada mereka” maka berarti dia rujuk dari perkataannya itu kepada perkataan Ahlus Sunnah. Lihat Ar-Rodd ‘Alal Jahmiyah waz Zanadiqoh hal. 96.
Maka kesimpulan dalam masalah ini seperti kata Syaikh Ibnu ‘Utsaimin : Tafsiran ma’iyah berdasarkan zhohirnya menurut hakikat yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan Allah Subhanahu wa Ta’ala tidaklah bertentangan dengan ketetapan bahwa Allah Maha Tinggi berada di atas Arsy dengan beberapa alasan :
1.      Bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menyebutkan secara bersamaan kedua masalah ini untuk Diri-Nya dalam Kitab-Nya yang jelas yang tidak terkandung didalamnya pertentangan. Dan apa yang telah disebutkan secara bersamaan oleh Allah dalam Kitab-Nya berarti tidak ada pertentangan di antara keduanya.
2.      Bahwa hakekat pengertian kebersamaan Allah dengan makhluk tidak bertentangan dengan keberadaan Allah di atas Arsy, soalnya perpaduan antara kedua hal ini bisa terjadi pada makhluk. Contohnya seperti dikatakan : “Kami masih meneruskan perjalanan dan bulanpun bersama kami”. Ini tidak dianggap kontradiksi dan tidak seorangpun yang memahami dari perkataan tersebut bahwa bulan turun di bumi. Apabila ini bisa terjadi pada makhluk maka bagiAl-Khaliq Yang Meliputi segala sesuatu -sekalipun berada di atas Arsy- tentu lebih patut lagi, karena hakekat pengertian ma’iyah(kebersamaan) tidak berarti berkumpul dalam satu tempat.
3.      Andaikata mustahil bagi makhluk perpaduan antara ma’iyahdan ‘uluw, tidak berarti hal ini mustahil bagi bagi Al-Khaliq Yang telah menyebutkannya bersama-sama untuk Diri-Nya, sebab AllahTa’ala tidak serupa dan semisal dengan makhluk. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia, dan Dia-lah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”. (QS. Asy-Syura : 11)
(Lihat : Al-Qowa’idul Mutsla hal. 58-60)
Dan Al-Imam Muhammad bin Al-Husain Al-Ajurry dalam kitab beliauAsy-Syari’ah telah membuat bab dalam mentahdzir dari madzhab-madzhab al-Hululiyah, beliau berkata didalamnya : “Amma ba’du, maka sesungguhnya saya mentahdzir saudara-saudaraku dari kalangan kaum mukminin dari madzhab-madzhab Al-Hululiyah yang syaithon mempermainkan mereka maka merekapun –dengan sebab jeleknya madzhab mereka- keluar dari jalan ahlil ‘ilmi kepada madzhab-madzhab yang rusak yang (madzhab ini) tidak terdapat kecuali pada setiap orang yang terfitnah dan binasa. Mereka menyangka bahwa Allah ‘Azza wa Jalla menitis pada segala sesuatu sampai-sampai kejelekan madzhab mereka ini mendorong mereka untuk berbicara tentang Allah ‘Azza wa Jalla dengan pembicaraan yang diingkari oleh para ulama dan orang-orang yang berakal. Perkataan mereka tidak sesuai dengan Kitab, Sunnah dan perkataan para Imam kaum muslimin.

Syubhat Kedua
Mereka berkata : Dalam bahasa Arab, boleh kita maknakan secara umum kata Al-Istiwa` kepada Al-Istaula (berkuasa dan mengalahkan sesuatu), sebagaimana perkataan seorang penyair tentang Bisyr bin Marwan :
قَدِ اسْتَوَى بِشْرٌ عَلَى الْعِرَاقِ                           مِنْ غَيْرِ سَيْفٍ وَلَا دَمٍ مِهْرَاقِ
“Sungguh Bisyr telah berkuasa atas Irak,
Tanpa senjata ataupun pertumpahan darah”
Lalu mereka berkata : Adapun Al-‘Arsy, maka dikhususkan penyebutannya karena ia merupakan makhluk yang paling besar dan agung sehingga Allah memberikan penegasan dengan menyebut makhluk yang tinggi terhadap makhluk-makhluk yang lain yang lebih rendah atau lebih kecil, artinya apabila Allah Ta’ala telah berkuasa atas Al-‘Arsy –sementara dia adalah makhluk yang agung- maka mengharuskan akan kekuasaan Allah terhadap yang lebih rendah di bawah adalah lebih pantas lagi.
Jawaban atas syubhat-syubhat tersebut dengan point-point berikut :
1.      Bahwasanya dari sisi bahasa, ta`wil (pemalingan makna) ini tidak memperoleh dukungan. Sebab Istiwa` dalam lisan orang Arab dimaksudkan dengan Al-‘Uluw dan Al-Irtifa (berada di atas, ketinggian).
  • Ibnu ‘Abdil Barr menyebutkan dari Al-Kholil bin Ahmad (salah seorang pakar bahasa,-red.) bahwasanya dia berkata : “Saya mendatangi Abu Robi’ah Al-A’raby –dan dia adalah orang yang paling pintar dari yang pernah saya lihat- sedang berada di atas atap. Maka kami memberi salam kepadanya dan diapun menjawab salam kami. Dia berkata kepada kami : “Istawuu (Naiklah kalian) !”, maka kami terdiam keheranan dan tidak mengerti apa yang dia ucapkan. Maka seorangA’raby berkata kepada kami yang berada di sampingnya : “Sesungguhnya dia menyuruh kalian untuk naik”. Al-Khalil berkata : Ini dari firman Allah ‘Azza wa Jalla :
ثُمَّ اسْتَوَى إِلَى السَّمَاءِ وَهِيَ دُخَانٌ
“Kemudian Dia menuju langit dan langit itu masih merupakan asap”. (QS. Fushshilat : 11)
maka kamipun naik kepadanya”.
  • Imam Al-Lalika`iy meriwayatkan dari Abu Bakr bin Nadhr beliau berkata : “Dulu Abu ‘Abdillah Ibnul A’raby adalah tetangga kami, dan disebutkan kepada kami bahwasanya Ibnu Abid Du`ad bertanya kepada Ibnul A’raby : “Apakah orang Arab mengetahui dalam bahasa mereka Istawa`bermakna Istaula ?”, Ibnul A’raby menjawab : “Saya tidak mengenalnya”.”
  • Dan diriwayatkan dari Abul ‘Abbas Tsa’lab (salah seorang pakar bahasa,-red.) bahwasanya dia berkata : “… Istawa` ‘alal ‘arsy artinya ‘alaa (tinggi)”, kemudian berkata : “Inilah yang dikenal dalam pembicaraan orang Arab”.
Lihat Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah 2/399-400), Al-‘Uluwkarya Adz-Dzahaby hal. 133 dan Ijtima’ul Juyusy hal. 264-265.
  • Berkata Muhammad bin Nadhr : Saya mendengar Ibnul A’raby ahli bahasa berkata : “Ibnu Abid Du`ad menginginkan saya untuk mengambil darinya sebagian dari bahasa Arab dan makna-maknanya :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.”(QS. Thoha : 5)
Istawa bermakna Istaula, maka saya berkata kepadanya : “Demi Allah, bukan begini maknanya dan saya tidak mendapati makna itu (dalam bahasa Arab)”.
Lihat Ijtima’ul Juyusy hal. 260 dan Fathul Bary 13/406.
  • Berkata Al-Akhfasy (salah seorang pakar bahasa,-red.) tentang firman Allah Ta’ala :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.”(QS. Thoha : 5)
artinya ‘alaa (tinggi), sebagaimana dikatakan :
اسْتَوَيْتُ فَوْقَ الدَّابَّةِ وَعَلَى ظَهْرِ الْبَيْتِ
“Saya Istiwa` di atas kendaraan dan di atas atap rumah”.
Maksudnya ‘alautuhu (saya berada diatasnya).
Lihat Tahdzibul Lughoh 13/125 dan Ijtima’ul Juyusy hal. 267.
  • Dan Al-Khalil ditanya : “Apakah anda mendapati dalam bahasa Arab Istawa bermakna Istaula ?”, beliau menjawab : “Orang Arab tidak mengenalnya dan hal ini tidak boleh dalam bahasa mereka”.
Lihat Al-Fatawa : 5/146.
Mereka semua ini para imam (ahli) bahasa dari orang-orang yang perkataan mereka merupakan hujjah dan rujukan, semuanya bermazhab bahwasanya Istiwa` bermakna Al-‘Uluw dan Al-Irtifa(Tinggi, berada di atas) dan semuanya mengingkari orang-orang yang memalingkan maknanya ke makna Istaula (berkuasa)
2.      Adapun jawaban terhadap pendalilan mereka dengan perkataan seorang penyair adalah sebagai berikut :
@      Bait syair ini tidak tsabit (tidak shohih) bahwasanya itu adalah syair orang Arab dan telah diingkari oleh sejumlah imam (ahli) bahasa dan mereka menyebutkan bahwa bait syair itu adalah palsu, tidak dikenal dalam bahasa Arab. Dan andaikata ada orang yang berhujjah dengan hadits Rasulullah shollallahu ‘alaihi wa ‘alaalihi wa sallam maka suatu keharusan untuk memastikan keshohihan haditsnya, maka bagaimana halnya dengan bait syair yang tidak diketahui sanadnya dan siapa yang mengucapkannya ?
@      Seandainyapun syair ini shohih, maka tidak ada sisi pendalilan didalamnya. Sebab Bisyr adalah saudara ‘Abdul Malik bin Marwan yang mana dulunya adalah seorang pemimpin Iraq, sehingga Bisyrpun berada di atas singgasananya sebagaimana ini adalah kebiasaan dari raja-raja dan para pengganti mereka. Mereka duduk di atas singgasana kerajaan, berada diatasnya.
@      Bahwasanya ta`wil (pemalingan makna) Istawa denganIstaula mengharuskan adanya mughalabah (satu mengalahkan yang lainnya) dan munaza’ah (pertentangan antara yang satu dengan yang lainnya).
Imam Al-Lalika`iy meriwayatkan dari Abu Sulaiman Daud bin ‘Ali beliau berkata : “Adalah kami berada di sisi Ibnul A’raby, maka datang seorang laki-laki dan berkata kepadanya : “Apa makna firman Allah ‘Azza wa Jalla :
الرَّحْمَنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى
“(Rabb) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas `Arsy.”(QS. Thoha : 5)
Maka Ibnul A’raby menjawab : “Dia berada di atas Arsy-Nya sebagaimana yang Allah Ta’ala kabarkan”. Maka orang itu berkata : “Wahai Abu ‘Abdillah, bukan ini maknanya, tetapi maknanya adalahIstaula. Maka Ibnul A’raby menjawab : “Diam kamu, apa kamu ini ?!, tidaklah dikatakan sesuatu Istaula diatasnya kecuali bila dia memiliki lawan tandingan, bila salah satunya lebih berkuasa, maka barulah dikatakan Istaula, tidakkah kamu mendengarkan perkataan penyair :
إلَّا لِمِثْلِكَ أَوْ مَنْ أَنْتَ سَابِقُهُ                   سَبَقَ الْجَوَّادُ إِذَا اسْتَوَى عَلَى الْأَمَدِ
“Kecuali terhadap orang yang sepertimu (setingkat denganmu) atau orang yang engkau dahului, maka orang-orang yang pemurah (pasti) akan lebih dahulu (memimpin) ketika dia berkuasa pada hari yang dituju”.
Lihat : Syarh Ushul I’tiqod Ahlis Sunnah 2/399, Tarikh Baghdad5/283, Al-‘Uluw hal. 133, Al-Asma` wa Ash-Shifa2/157,Ijtima’ul Juyusy hal. 265 dan lain-lain.
@      Para imam dari dahulu sampai sekarang mengingkari bila makna Istawa diartikan Istaula (berkuasa), sehingga tidak ada perbedaan antara ‘Arsy dengan selainnya dari para makhluk. Dan cocok bila dikatakan Istawa ‘alal ardh (Istawa di atas bumi),Istawa ‘alal Jiba(Istawa di atas gunung), dan seterusnya.

Kalau mereka katakan : Dikhususkan penyebutan Arsy karena dia adalah makhluk yang paling agung/besar.
Maka dijawab : Bahwasanya tidak ada larangan atau tidak ada hal yang menghalangi penyebutan selain Arsy, sebagaimana dalam firman-Nya :
رَبُّ السَّمَوَاتِ وَالْأَرْضِ
“Rabb Pencipta langit dan bumi”.
رَبِّ مُوسَى وَهَارُونَ
“Rabb Musa dan Harun”.
@      Bahwasanya ‘Arsy telah ada sebelum penciptaan langit dan bumi dan Istiwa` itu setelah penciptaan langit dan bumi. AndaikataIstiwa bermakna Istaula, maka hal ini terjadi sebelum dan sesudahnya. Maka apakah mungkin ‘Arsy yang telah sempurna selama selang waktu sementara Allah Ta’ala tidak berkuasa atasnya ??!.
Lihat Al-Fatawa 5/145-146 dan hl. 314-315 dan Mukhtashor Ash-Showa’iq 2/129-130.
@      Ta`wil ini merupakan perkara baru yang diada-adakan (bid’ah), tidak datang riwayatnya dari Rasul shollallahu ‘alaihi wa ‘ala alihi wa sallam, tidak juga dari seorangpun dari para shahabat dan tidak juga dari salah seorang salaf umat ini.
Wallahu Waliyut Taufiq Wa’alaihit Tuklan.
[sumber: Majalah An-Nashihah, edisi I, rubrik: Aqidah]