Senin, 26 Maret 2012

Prinsip Imam Ahlus Sunnah Dalam Al Inshaf, Al Ustadz Abdul Muthi



A. Peran Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah Telah kita ketahui bersama bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah manhaj yang benar dan yang paling benar sehingga kita tidak membutuhkan lagi manhaj-manhaj yang lain. Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah telah membela dan menegakkan manhaj ini dari masa ke masa. Hal ini bisa kita saksikan dengan membaca buku-buku mereka yang mengandung bergudang-gudang ilmu di dalam menerangkan manhaj yang shahih ini. Bahkan tak jarang pula kita saksikan mereka membantah ahlul bid’ah dengan keras di dalam buku-buku mereka. Semua itu untuk menjaga Dien ini agar tetap bersih dari berbagai macam manhaj bid’ah yang selalu muncul pada setiap masa. 
A. Peran Ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah Telah kita ketahui bersama bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah adalah manhaj yang benar dan yang paling benar sehingga kita tidak membutuhkan lagi manhaj-manhaj yang lain. Para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah telah membela dan menegakkan manhaj ini dari masa ke masa. Hal ini bisa kita saksikan dengan membaca buku-buku mereka yang mengandung bergudang-gudang ilmu di dalam menerangkan manhaj yang shahih ini. Bahkan tak jarang pula kita saksikan mereka membantah ahlul bid’ah dengan keras di dalam buku-buku mereka. Semua itu untuk menjaga Dien ini agar tetap bersih dari berbagai macam manhaj bid’ah yang selalu muncul pada setiap masa.
Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Akan selalu membawa ilmu ini orang-orang yang adil dari para penerus, mereka menghilangkan daripadanya perubahan dari orang yang melampaui batas (terhadap Dien), kebohongan ahlul bathil, dan pentakwilan orang-orang jahil. ” (Hadits Hasan, lihat Ta’liq Al Hiththah oleh Syaikh Ali Hasan[1])
Ilmu yang dimaksud dalam hadits ini adalah Dien sebagaimana dikatakan oleh seorang tabi’in, Imam Muhammad bin Sirin rahimahullah :
“Sesungguhnya ilmu ini adalah Dien. Maka lihatlah olehmu dari siapa kamu mengambil Dienmu. ” (Muqaddimah Shahih Muslim 1/14) Berkata Ibnul Qayyim Al Jauziyyah dalam kitabnya, Miftah Daarus Sa’adah :
“Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam telah mengabarkan bahwa ilmu yang beliau datang dengannya akan selalu dibawa oleh orang-orang yang adil dari umatnya yang ada di antara para penerus hingga ilmu tersebut tidak akan tersia-siakan dan tidak akan hilang[2]. ”
Demikian pula pendapat Al ‘Allamah Siddiq Hasan Khan dalam kitabnya, Ad Dinul Khalish 3/261-263 ketika menjelaskan hadits ini :
“Maksud ilmu dalam hadits ini adalah ilmu Al Kitab dan As Sunnah yang akan dibawa di setiap jamaah yang datang sesudah Salaf oleh orang-orang yang adil di antara mereka yang selalu meriwayatkan ilmu tersebut. Mereka menghilangkan dari ilmu itu tahriful ghalim. ” Artinya (tahriful ghalim adalah) perubahan yang dilakukan oleh orang-orang yang melampaui batas dalam perkara Dien. Arti kata tahrif adalah merubah Al Haq dengan kebathilan, baik perubahan secara lafadh maupun perubahan secara makna. Dan intihalul mubthilin maksudnya mereka menolak seluruh dustanya ahlul bathil. Kata intihal berarti seseorang mengakui sesuatu untuk dirinya dengan dusta, baik berbentuk syair atau perkataan dan kata ini adalah kiasan dari kedustaan. Ta’wiilul jahilin maksudnya mereka (orang adil dari generasi penerus) menolak seluruh takwil-takwil orang jahil dimana mereka melakukan takwil tidak dengan ilmu dan pemahaman terhadap ayat-ayat dan hadits-hadits. Akhirnya mereka memalingkan (makna ayat dan hadits) dari dhahirnya.
Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid Al Halabi Al Atsary mengatakan dalam mengomentari hadits ini :
“Maka peran dari orang yang membawa ilmu (Dien ini) sebagai ganti para Rasul, tegak di atas tiga dasar :
1) menolak perbuatan ghuluw (berlebih-lebihan dalam Dien).
2) Membatalkan kebathilan.
3) Menyingkap kejahilan[3]. ”
Syaikh Salim Al Hilali berkata :
“Maka sesungguhnya membantah ahlul ahwa’ (pengikut hawa nafsu[4]) adalah pintu yang mulia dan termasuk daripada pintu-pintu jihad. Kenapa? Karena orang-orang yang melakukan (bantahan tersebut) berada pada kedudukan orang yang menjaga Dien ini. Mereka menghilangkan darinya tahrif yang dilakukan oleh orang-orang yang ghuluw, melenyapkan kedustaan yang dilakukan oleh orang-orang yang bathil, dan takwil yang dilakukan oleh orang-orang yang jahil. Mereka telah mengibarkan Al Haq dan menghunus pedang ilmu agar Islam tetap putih bersih, bersinar dengan sinar yang meliputi risalah yang diturunkan kepada penutup para Nabi Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam[5]. ”
Maka dengan adanya beberapa penjelasan di atas kita ketahui bahwa merupakan sunnah para ulama Ahlus sunnah Wal Jamaah membantah ahlul bid’ah agar Dien ini tetap putih bersih sebagaimana asalnya. Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda :
“Aku tinggalkan kamu dalam keadaan Dien ini putih bersih. Malamnya seperti siangnya yang tidak akan menyimpang daripadanya setelahku kecuali (hanya orang-orang yang) akan hancur. ” (HR. Ahmad, shahih)
Semua itu mereka lakukan dalam rangka memberi nasihat kepada umat ini sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam :
“Dien itu adalah nasihat (tiga kali). ” Kemudian beliau bersabda : “Nasihat itu bagi Allah, bagi Kitab-Nya, bagi Rasul-Nya, bagi para imam kaum Muslimin, dan kaum Musilmin umumnya. ” (HR. Muslim) B. Sururiyah Dan Al Inshaf
Sururiyah adalah satu pemahaman yang dinisbatkan kepada seorang mantan anggota ikhwanul muslimin yang bernama Muhammad Surur bin Nayef Zainal Abidin. Pemahaman ini menggembar-gemborkan sikap adil di dalam mengkritik ahlul bid’ah, buku-bukunya, dan organisasinya (baca : hizb) dengan mewajibkan untuk menyebut kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Inilah yang diistilahkan dengan al inshaf. Pemahaman al inshaf gaya sururiyyah ini telah banyak mempengaruhi para pemuda Salafiyyin. Akibatnya mereka meninggalkan manhaj yang telah digariskan oleh para ulama Ahlus Sunnah Wal Jamaah yang dulu dan sekarang dalam mengkritik ahlul bid’ah. Cara bersikap mereka terhadap ahlul bid’ah pun menjadi rancu. Yang lebih tragis lagi, mereka menyangka bahwa al inshaf yang digembor-gemborkan pemahaman sururiyah itu adalah manhaj yang benar, manhajnya Ahlus Sunnah Wal Jamaah. Pemahaman al inshaf gaya sururiyah ini lambat laun menjadi mantap di dalam jiwa-jiwa mereka. Sikap Al Wala’ Wal Bara’ yang ada pada mereka menjadi lemah. Semestinya mereka memberikan Al Wala’ kepada Ahlus Sunnah yang membela Dien ini dan menjaganya dari berbagai macam pikiran sesat ahlul bid’ah dengan cara membantah, mengkritik ahlul bid’ah, karyanya, dan golongannya tanpa harus berbasa-basi menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka. Ini semua dalam rangka menasihati umat agar berhati-hati terhadap ahlul bid’ah. Tapi yang terjadi justru kebalikannya. Mereka –para pemuda Salafiyyin tersebut– memberikan Wala’-nya (loyalitasnya) kepada ahlul bid’ah. Hal ini terbukti ketika Ahlus Sunnah mengkritik ahlul bid’ah tanpa menyebut kebaikan-kebaikan yang ada padanya, mereka beramai-ramai membela ahlul bid’ah dengan pemahaman inshaf yang mewajibkan untuk menyebut kebaikan ahlul bid’ah di dalam mengkritiknya. Yang lebih lucu lagi, mereka mengecam Ahlus Sunnah yang melakukan hal itu dan menganggap Ahlus Sunnah itu orang-orang yang kotor mulutnya, kasar, lancang, dan berbagai macam tuduhan-tuduhan lain yang mereka lontarkan dalam rangka membela ahlul bid’ah. Mereka menganggap ahlul bid’ah didzalimi karena tidak disebut kebaikannya.
Sikap Bara’ yang ada pada mereka pun demikian pula keadaannya. Semestinya sikap itu mereka berikan kepada ahlul bid’ah yang telah merusak Dien ini. Tapi apa yang terjadi? Mereka justru mem-bara’ Ahlus Sunnah yang mereka anggap telah berbuat dzalim terhadap ahlul bid’ah. Termasuk juga akibat dari adanya pemahaman al inshaf versi sururiyah ini adalah kaburnya Al Haq di hadapan kebanyakan dari pemuda Salafiyyin (baca : Ahlus Sunnah) yang terpengaruh dengan pemahaman ini sehingga mereka tidak bisa membedakan mana manhaj yang haq dan mana yang bathil. Mereka menganggap sama seluruh manhaj-manhaj yang ada sekarang ini karena seluruhnya berada di bawah bendera Islam. Konon katanya, masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sehingga perlu adanya sikap tasamuh (toleransi) sesama manhaj.
Nah, ucapan seperti inilah yang sering diucapkan para sururiyin dengan perkataan mereka :
“Kita saling tolong-menolong pada perkara yang kita sepakati dan kita saling memaafkan pada perkara yang kita perselisihkan. ” Tentu saja kalimat ini adalah kalimat yang haq, akan tetapi yang dimaksudkan dengannya adalah kebathilan karena dengan kalimat ini mereka (para sururiyin) mengambil sikap untuk toleransi dengan berbagai manhaj yang ada sekarang ini.
Oleh sebab itu, dengan berbagai macam kejadian atau kenyataan seperti yang telah disebutkan di atas, perlu kiranya kita sebutkan beberapa buku yang ditulis oleh orang-orang yang telah terpengaruh oleh pemahaman al inshaf sururiyah ini agar para pemuda Salafiyyin menghindari buku-buku tersebut demi menjaga akidah dan manhaj mereka supaya tetap lurus di atas akidah dan manhaj yang benar seperti yang telah diajarkan para Salafus Shalih. Di antara karangan mereka (sururi) adalah :
Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fi Taqwiim Ar Rijaal Wa Mu’allafaatihiim karya Ahmad Shuwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah Wal Jamaah fin Naqdi Wal Hukmil Aakharin karya Ashshiny, Min Akhlaaq Ad Daa’iyah karya Salman Al ‘Audah, Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah karya Zaid Al Zaid, Al I’tidal Liman Araada Takwiim Al Jamaah Warrijal karya Al Muqthiri, dan banyak lagi karangan-karangan yang lain[6]. 
C. Beberapa Perkataan Sururiyin Mengenai Al Inshaf Dan Bantahannya
Zaid Al Zaid di dalam kitabnya Dhawaabith Ra’iysah fi Taqwiin Al Jama’ah Al Islamiyah berkata (dengan perkataan yang rusak, red. ) :
“Ketetapan yang kelima, adil di dalam mengkritik adalah sekaligus menyebutkan kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan. Maka yang namanya adil (dalam mengkritik) menuntut disebutkannya kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan secara bersamaan ketika itu. Dan tidaklah termasuk al inshaf (berlaku adil dalam mengkritik) sedikit pun orang-orang yang mengkritik suatu jamaah dari jamaah-jamaah Islamiyah atau suatu umat dari umat-umat Islamiyah dengan hanya menyebutkan kesalahan-kesalahan, penyimpangan-penyimpangan, dan keburukan-keburukan (suatu jamaah atau suatu umat tertentu) saja. Sesungguhnya (kritikan) seperti ini melampaui batas al adl (keadilan) dan juga menyia-nyiakan kebenaran yang ada pada jamaah (atau umat) tersebut[7]. ” Berkata (dengan perkataan yang rusak, red. ) Salman Al Audah tentang al adl[8] : “Maka ketika kamu meneliti suatu kitab bukanlah termasuk al adl (keadilan) jika kamu hanya mengatakan, sesungguhnya (kitab ini) mengandung hadits-hadits dhaif (lemah) dan maudhu’ (palsu) –misalnya– (atau mengandung) pendapat-pendapat yang ganjil sehingga dengan demikian kamu hanya menyebutkan sisi kedhalimannya saja dan melupakan sisi yang lain yang ada dalam kitab tersebut yakni sisi yang mengandung pengarahan-pengarahan yang berfaidah atau pembahasan-pembahasan ilmiah. Sesungguhnya jika kamu hanya menyebutkan sebagian saja (dari isi suatu kitab) dan mengabaikan sebagian yang lain daripadanya, perbuatan ini adalah perbuatan yang tidak amanah (yakni tidak menjaga amanah). Kebanyakan dari manusia semata-mata melihat satu kesalahan pada suatu kitab karena membawakan sebuah hadits yang dhaif atau mempunyai kesalahan pada suatu permasalahan. Setelah itu dia langsung meninggalkannya dan memberi peringatan kepada manusia agar meninggalkannya pula. Kalau kita lakukan sikap seperti ini kepada kitab-kitab Ahlul Ilmi maka tidak akan tersisa bagi kita satu kitab pun. ” Kemudian dia (Salman Al Audah) berkata kembali (dengan perkataan yang rusak, red. ) pada halaman berikutnya[9] : “Sikap yang adil (al adl) adalah kita mengambil ini dan itu kemudian kita letakkan yang ini pada satu tangan timbangan dan yang lain pada tangan timbangan yang lain hingga jadilah timbangan itu lurus dan sama berat[10]. ” Berkata pula tokoh mereka (sururi) yang lain, Ahmad Ash Shuwayyan : “Yang kelima, perimbangan antara perkara yang positif dan perkara yang negatif adalah apabila telah jelas bahwa manusia bagaimanapun kedudukannya mempunyai kebenaran dan kesalahan maka tidak boleh bagi kita membuang seluruh ijtihad-ijtihadnya. Bahkan kita melihat pendapatnya yang sesuai dengan kebenaran dan kita berpegang dengan pendapatnya kemudian kita berpaling dari berbagai macam kesalahannya. Maka perimbangan (Al Muwazanah) antara perkara yang positif dan perkara yang negatif seperti inilah yang dinamakan al adl (keadilan) dan al inshaf[11]. ”
Membaca beberapa nukilan di atas kita melihat apa yang dikatakan oleh para sururiyin tersebut seakan-akan merupakan suatu kebenaran sehingga banyak dari kalangan Salafiyyin (Ahlus Sunnah) terpengaruh dengannya. Padahal tidak demikian. Kalau kita lihat bantahan para ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah terhadap apa yang mereka katakan itu kita baru akan mengetahui betapa bahayanya apa yang mereka katakan dan alangkah salahnya pemahaman mereka itu.
Di antara ulama Ahlus Sunnah yang membantah perkataan mereka ialah Syaikh Abu Ibrahim bin Sulthan Al Adnani. Menanggapi perkataan Zaid Al Zaid, beliau berkata :
[ Atas perkataan seperti ini maka orang yang mencukupkan diri dengan hanya menyebutkan kejahatan-kejahatan seseorang, suatu kelompok atau kaset, dan lain-lain (di dalam mengkritik) adalah orang yang tidak adil bahkan berbuat dzalim di dalam menghakiminya. Perkataan seperti ini mengharuskan bahwa orang yang hanya menyebutkan kebaikan-kebaikan saja (di dalam menilai) juga termasuk orang yang dzalim dan ini jelas merupakan konsekuensi yang rusak. Sedangkan konsekuensi suatu perkataan apabila rusak menunjukkan rusaknya perkataan tersebut. Hal ini akan lebih jelas bila kita melihat firman Allah Subhanahu wa Ta'ala :
Sungguh telah kafir orang yang mengatakan : “Sesungguhnya Allah salah satu dari yang tiga … . ” (QS. Al Maidah : 73)
Pada ayat ini Allah menyebutkan kejahatan-kejahatan (nashara) dan tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Maka apakah hal ini bisa dikatakan keadilan atau kedhaliman? Akan tetapi, memang sudah merupakan manhaj mereka untuk membikin indah (suatu pendapat). Akhirnya mereka juga memperindah (pendapatnya yang di atas) agar mereka dapat melaksanakan apa yang dikehendaki … dan seterusnya[12]. ]
Dalam membantah perkataan Salman Al Audah, Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali berkata : “Al Adl (keadilan) lawan dari Al Juur (kedhaliman). Maka apabila didapati bid’ah-bid’ah dan penyimpangan-penyimpangan pada suatu kitab kemudian seorang Muslim menyebutkan (kebid’ahan dan penyimpangan-penyimpangan tersebut) dalam rangka menasihati dan memberikan peringatan kepada kaum Muslimin (agar berhati-hati daripadanya), tidak bisa hal ini dikatakan termasuk daripada perbuatan dhalim sedikitpun. Permisalannya seperti seseorang yang mempunyai keburukan dan kebid’ahan kemudian kamu sebutkan apa yang dia punyai itu dalam rangka memberi nasihat. Maka tidak bisa penyebutan itu sebagai suatu kedhaliman atau perbuatan ghibah bahkan termasuk dari pintu nasihat dan ini adalah suatu perkara yang sudah diakui oleh para ulama Islam … . Sesungguhnya kedhaliman itu adalah meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Sedangkan penyebutan keburukan-keburukan dan kebid’ahan-kebid’ahan yang ada pada kitab-kitab dan orang-orang dalam rangka menasihati kaum Muslimin adalah perkara yang dianjurkan di dalam syariat. Ini dapat memberikan maslahat (kebaikan) dan menolak kerusakan-kerusakan. Seharusnya dia (Salman) mengatakan (pendapatnya) ini dalam berbuat adil terhadap nash-nash. Akan tetapi nampak bagiku dari perbuatan-perbuatannya kalau dia mengumumkan pemakaian sikap al adl seperti ini di dalam mengkritik orang-orang dan kitab-kitab tertentu. Memang sikap adil dianjurkan dan harus digunakan. Akan tetapi penyebutan keburukan-keburukan dan berbagai kebid’ahan untuk menasihati kaum Muslimin itu tidak harus bersamaan dengan disebutkannya kebaikan-kebaikan karena dengan demikian akan hilang tujuan menasihati. Dan orang yang dinasihati akan menjadi kabur pemahaman Al Haq (kebenaran) baginya. Kemudian juga tidak ada nash-nash yang berjalan di atasnya (di atas manhaj inshaf tadi) dan tidak pula ada pada amalan para Salafush Shalih. ”
Selanjutnya Syaikh Rabi’ membantah perkataan Ahmad Shuwayyan dengan mengatakan :
[ Tidak ada perselisihan dalam permasalahan ini jika terhadap imam mujtahidin yang mereka berijtihad untuk mentaati Allah dan Rasul-Nya baik secara bathin maupun dzahir. Dan mereka pada keadaan yang demikian berusaha mencari Al Haq dengan ijtihadnya sebagaimana Allah dan Rasul-Nya memerintahkan kepada mereka. Maka mereka mendapatkan dua pahala jika mereka benar dan mendapatkan satu pahala jika salah dan telah lewat penjelasan tentang mereka. Akan tetapi pembicaraan kita adalah pada ahlul bid’ah, ahlul dhalal, dan ahlul jahl. Allah berfirman tentang mereka :
“Apakah mereka mempunyai sesembahan-sesembahan selain Allah yang membuat syariat (bid’ah) untuk mereka dalam agama yang tidak diizinkan Allah?” (QS. Asy Syura : 21)
Dan Allah juga berfirman : Katakanlah : “Rabbmu hanya mengharamkan perbuatan yang keji, baik yang nampak ataupun yang tersembunyi dan perbuatan dosa, melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak menurunkan hujjah untuk itu dan (mengharamkan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui. ” (QS. Al A’raf : 33)
Pembicaraan kita juga pada orang-orang yang berani berfatwa tanpa ilmu dan orang-orang yang membuat manhaj. Mereka meletakkan kaidah-kaidah dan membentuk ushul-ushul yang seluruhnya jauh dari manhaj Islam tanpa dalil-dalil dan keterangan-keterangan. (Pembicaraan) juga tertuju pada orang yang Allah firmankan tentang mereka.
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap apa yang disebut-sebut oleh lidahmu serta dusta, ini halal dan ini haram untuk mengada-adakan kebohongan terhadap Allah. Sesungguhnya orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah tidaklah beruntung. ” (QS. An Nahl : 116)
Demikian pula pada pengikut-pengikut mereka (orang-orang yang telah disebutkan di atas) yang mana Allah juga berfirman tentang orang yang semisal mereka :
“Mereka menjadikan orang alimnya dan rahib-rahib mereka sebagai Rabb-Rabb selain Allah. ” (QS. At Taubah : 31)
Pengikut mereka ini adalah orang-orang yang disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam sebagai jawaban terhadap perkataan Adi bin Hatim ketika ia mengatakan : “Demi Allah, kami tidak pernah mengibadahi mereka (para alim dan rahib-rahib itu). ” Maka Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Bukankah mereka menghalalkan yang haram kemudian kalian juga ikut menghalalkannya. Dan bukankah mereka mengharamkan yang halal kemudian kalian ikut mengharamkannya?” Adi menjawab : “Benar. ” Nabi bersabda lagi : “Itulah namanya mengibadahi mereka. ” (Hadits hasan riwayat Tirmidzi dan Baihaqi) Kewajiban membedakan antara ulama mujtahidin dengan golongan-golongan manusia (seperti yang disebutkan di atas) itu sama dengan kewajiban membedakan antara orang yang berpegang dengan Al Haq, mengambil pendapat para ulama mujtahid yang sesuai dengan (Al Haq) yang Rasul datang dengannya dan menolak yang menyelisihinya dengan orang-orang yang tidak bisa membedakan antara yang benar dan yang salah pendapatnya dari para ulama mujtahid tersebut, tidak menjauhkan diri dari mensucikan ahlul bid’ah dan ahlul jahl, mengambil pendapat-pendapat mereka yang bathil, manhaj, dan dasar-dasar mereka yang rusak. Aku tidak melihat Al Akh Suwayyan membedakan jenis-jenis manusia ini. (Sebenarnya) wajib atasnya membeda-bedakan dengan jelas dan mempunyai perhatian untuk menjelaskan bahayanya bid’ah serta berhati-hati daripadanya dan ahlul bid’ah. Uslub seperti ini –yaitu lemahnya perhatian terhadap perkara bid’ah– telah menjadi kesenangan bagi kebanyakan para da’i dan pembaharu. Bahkan kamu akan mendapati para dai tersebut membela ahlul bid’ah, memuji mereka, meninggikan sebutan mereka, dan bahkan juga menganggap sebagian tokoh ahlul bid’ah sebagai pembaharu atau imam-imam tajdid. Di sana terdapat buku-buku (yang dikarang para dai tersebut) yang ditulis untuk membela jenis-jenis manusia (yang telah disebutkan di atas). Tidak ada pada mereka (para dai) semangat untuk berpegang kepada Al Haq dan tidak ada pula kesiapan untuk membedakan Al Haq dan Al Bathil. Lisan mereka mengatakan :
“Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami orang-orang yang mendapat petunjuk dengan (mengikuti) jejak mereka[13]. ” (QS. Az Zukhruf : 22) ]
D. Beberapa Fatwa Para Ulama Mengenai Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Seseorang, Kitab, dan Kelompok-Kelompok
Sebenarnya Ahlus Sunnah wal Jamaah mempunyai manhaj di dalam mengkritik. Manhaj itu telah diwariskan kepada kita oleh para ulama yang dulu maupun sekarang. Salah satu contoh dari mereka –ulama mutaqaddimin (terdahulu)– seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah yang tidak diragukan lagi pengorbanan beliau untuk Islam dan sikapnya yang tegas dan keras dalam mengkritik ahlul bid’ah. Beliau tidak pernah mengharuskan bagi dirinya ataupun orang lain untuk menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan penyebutan keburukan-keburukan dalam mengkritik. Beliau juga tidak pernah menganggap orang yang melakukan hal yang demikian dalam mengkritik sebagai orang yang dhalim, tidak adil, dan tidak bersikap inshaf. Ini karena memang sikap adil dan inshaf dengan cara mengharuskan untuk menyebut kebaikan-kebaikan bersamaan dengan keburukan-keburukan dalam mengkritik itu tidak pernah diajarkan oleh para Salafush Shalih. Bahkan kalau kita lihat kitab karangan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah diantaranya Majmu’ Fatawa seringkali beliau dalam kitab tersebut mengkritik ahlul bid’ah dari berbagai macam golongan dengan tidak menyebut kebaikan yang ada pada mereka.
Demikian pula yang dilakukan oleh seorang ulama besar yang bernama Hasan Al Bashri. Beliau pernah berkata : “Apakah kamu benci untuk menyebutkan (keburukan-keburukan) orang yang jahat? Sebutkanlah (keburukan-keburukan) itu oleh kamu sekalian agar manusia berhati-hati daripadanya. ” Dan telah diriwayatkan pula yang seperti ini secara marfu’. (Lihat Tafsir Suratun Nuur karangan Ibnu Taimiyyah tahqiq Ali Hasan Ali Abdul Hamid) Kemudian Al Hafidz Ibnu Rajab berbicara pula di dalam Syarah Ilalut Turmudzi 1/50, berkata Ibnu Abi Dunya, menceritakan kepada kami Abu Shalih Al Mawardzi, aku mendengar Rafi’ bin Asyras berkata : “Pernah ada orang yang mengatakan termasuk daripada hukuman pendusta adalah tidak diterima kejujurannya dan aku katakan termasuk daripada hukuman orang yang fasik yang mubtadi’ adalah jangan disebutkan kebaikan-kebaikannya. ” Al Muhaqqiq berkata, Al Kankauhi berkata dalam kitab Al Kawkabud Durri 1/347 : “ … maka ketahuilah bahwa boleh bahkan wajib bagi para ulama untuk menjelaskan kepada manusia aibnya (ahlul bid’ah) dan mencegah mereka dari mengambil ilmu darinya (ahlul bid’ah). Ini adalah madzhab Salaf dan hukum-hukum mereka serta muamalah mereka terhadap kitab-kitab dan pengarangnya serta ahlul bida’. Sebagaimana bisa engkau lihat pada perkataan Ibnu Taimiyyah, Imam Al Baghawi, Imam As Syathibi, Ibnu Abdil Barr dari Imam Malik dan murid-muridnya, Imam Khatib Al Baghdadi, Ibnu Qudamah dari Imam Ahmad dan para Salaf seluruhnya[14]. Dan sikap ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah mutaqadimin yang seperti ini dijelaskan dengan panjang lebar oleh Syaikh Rabi’ bin Hadi Al Madkhali dalam kitabnya Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaif.
Di bawah ini akan disebutkan beberapa fatwa dari para masyaikh ketika ditanya tentang manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik.
Soal 1 : Jika dinisbatkan dengan manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah di dalam mengkritik ahlul bid’ah dan kitab-kitab mereka apakah termasuk wajib menyebut kebaikan ahlul bid’ah bersamaan dengan kejahatan-kejahatan mereka? Atau cukup hanya dengan menyebut kejahatan-kejahatan mereka saja? Jawab :
Suatu hal yang ma’ruf di dalam perkataan Ahlul Ilmi bahwa mengkritik keburukan fungsinya adalah untuk memberi peringatan dan menerangkan kesalahan-kesalahan ahlul bid’ah yang mereka bersalah padanya. Juga untuk memberi peringatan agar berhati-hati. Adapun kebaikan-kebaikan (mereka) sudah ma’ruf dan kebaikan-kebaikan itu bisa diterima (walaupun tidak disebutkan). Akan tetapi maksud (dari menyebut kesalahan-kesalahan mereka saja) adalah untuk memberi peringatan agar berhati-hati dari kesalahan mereka seperti menyebutkan Jahmiyah (demikian) … Mu’tazilah … Rafidhah dan firqah-firqah lain yang sejenis. Maka jika sangat dibutuhkan untuk menerangkan kebenaran apa yang ada pada mereka boleh saja diterangkan dan jika ada yang bertanya kebenaran apa yang ada pada mereka (ahlul bid’ah)? Pada perkara apa mereka mencocoki Ahlus Sunnah? Apabila yang ditanya mengetahui hal itu dia (bisa) menerangkannya. Akan tetapi tujuan yang paling terbesar dan terpenting menerangkan kebathilan-kebathilan yang ada pada mereka agar orang yang bertanya itu berhati-hati dan hatinya tidak cenderung kepada mereka. Kemudian ada pula yang bertanya kepada Syaikh Bin Bazz : “Bagaimana jika ada orang yang mewajibkan al muwazanah (perseimbangan) yakni jika kamu mengkritik seorang mubtadi’ (ahlul bid’ah) karena bid’ahnya agar kamu dapat memberi peringatan kepada manusia supaya berhati-hati darinya wajib pula kamu menyebutkan kebaikan-kebaikannya hingga kamu tidak mendzalimi dia?”
Maka Syaikh Bin Bazz menjawab : “Tidak demikian keadaannya. Hal yang demikian itu tidak harus dilakukan karena apabila kamu membaca kitab-kitab Ahlus Sunnah (yang menyebutkan keburukan ahlul bid’ah saja) maka kamu akan dapati tujuannya adalah memberi peringatan agar berhati-hati (dari ahlul bid’ah). Coba baca kitab-kitab karya Bukhari (seperti) kitab Khalqu Afalil Ibaad, Kitabul Adab yang ada di dalam Shahih-nya. Demikian juga kitab At Tauhid karya Ibnu Khuzaimah kemudian kitab Rad Utsman bin Said Ad Darimi ala ahlil bida’ dan kitab-kitab lainnya. Mereka (para ulama) mengarangnya dalam rangka memberi peringatan agar berhati-hati dari kebathilan-kebathilan ahlul bid’ah. Lalu apa maksudnya menyebutkan kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah itu sedangkan tujuan (mengkritik ahlul bid’ah) sudah jelas untuk berhati-hati dari kebathilan-kebathilan mereka? Di samping itu kebaikan-kebaikan ahlul bid’ah tidak ada nilainya kalau diukur dengan orang-orang yang menjadi kafir diakibatkan oleh kebid’ahannya. Yang ini dapat mengkafirkan dia hingga batallah kebaikan-kebaikannya itu. Dan jika kebid’ahannya tidak sampai mengkafirkannya maka dia berada dalam bahaya. Oleh karena itu tujuan dalam mengkritik adalah menerangkan kesalahan-kesalahan dan kekeliruan-kekeliruan yang kita wajib berhati-hati darinya. ” (Dikutip dari kaset rekaman salah satu pelajaran Syaikh Bin Bazz setelah shalat Fajar di Thaif tahun 1413 H)
Soal 2 : Apakah disyaratkan di dalam manhaj Salaf, al muwazanah (keseimbangan) antara kebaikan-kebaikan dan keburukan-keburukan dalam penyebutan ketika mengkritik ahlul bid’ah? Jawab :
(Syaikh Abdul Aziz Muhammad Salman hafidhahullah) : “Ketahuilah, semoga Allah membimbing kita dan kamu serta seluruh kaum Muslimin bahwa tidak pernah didapatkan atsar yang datang dari salah seorang dari kalangan Salafush Shalih baik itu para shahabat maupun tabi’in (orang yang mengikuti mereka dengan ihsan), yang mengagungkan seorang ahlul bid’ah pun atau orang-orang yang berwala’ kepada ahlul bid’ah atau mengagungkan orang yang mengajak berwala’ kepada ahlul bid’ah. Ahlul bid’ah itu orang yang berpenyakit hatinya. Orang yang bercampur dengan mereka atau berhubungan dengan mereka dikhawatirkan akan terkena penyakit (bid’ah) mereka yang berbahaya ini karena orang sakit itu akan menjangkiti orang yang sehat dan tidak sebaliknya. Maka berhati-hatilah dari seluruh ahlul bid’ah. Dan termasuk ahlul bid’ah yang wajib dijauhi dan ditinggalkan adalah Al Jahmiyah, Rafidlah, Al Mu’tazilah, Al Maturidiyyah, Al Khawarij, Shufiyah, Al Asy’ariyyah dan siapa saja yang berjalan di atas jalan mereka dari golongan yang menyimpang dari jalan para Salaf. Maka sepantasnya bagi seorang Muslim untuk berhati-hati terhadap ahlul bid’ah dan juga memberi peringatan (kepada orang lain) agar berhati-hati dari mereka. ”
Di samping permasalahan sekitar jamaah-jamaah (yang ada), pertanyaan yang senada pun pernah pula ditujukan kepada Syaikh Shalih Fauzan seperti yang dikutip di bawah ini :
Soal 3 : Apakah Anda memberi peringatan agar berhati-hati dari (keburukan-keburukan) mereka tanpa Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka? Atau akan Anda sebutkan kebaikan-kebaikan mereka bersamaan dengan keburukan-keburukan mereka? Jawab : Apabila engkau sebutkan kebaikan mereka berarti engkau menyeru untuk mengikuti mereka. Jangan kamu sebutkan kebaikan mereka!!! Sebutkanlah kesalahan-kesalahan mereka saja karena engkau tidak ditugaskan untuk mempelajari perbuatan (baik) mereka dan mendukungnya. Tetapi engkau ditugaskan menjelaskan kesalahan yang ada pada mereka agar mereka bertaubat dan orang lain dapat berhati-hati dengannya. Adapun jika engkau sebutkan kebaikan-kebaikan mereka maka mereka akan berkata : “Semoga Allah membalasimu dengan kabaikan, inilah yang kami cari … . ” (Dikutip dari kaset rekaman pelajaran ke-3 Kitab At Tauhid oleh Syaikh Shalih Al Fauzan di Thaif tahun 1413 H)[15]
E. Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah Dalam Mengkritik Kalau kita memperhatikan Al Qur’an kita akan mendapati bahwa Allah memuji kaum Mukminin tanpa menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka agar manusia tergerak hatinya untuk mencontoh mereka dan berjalan di atas jalan mereka. Sebaliknya, Allah mencela orang-orang kafir dan munafiq dengan menyebutkan kesalahan-kesalahan mereka tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka dalam rangka inshaf seperti Allah menyebutkan kekufuran, kefasikan, kemunafikan yang ada pada mereka dan mensifatkan mereka dengan ketulian, kebisuan, kebutaan, kesesatan, kebodohan, dan seterusnya. Allah tidak menyebutkan kebaikan yang ada pada mereka karena memang tidak pantas untuk disebutkan walaupun mereka juga memiliki kebaikan-kebaikan. Maka kalau dikatakan bahwa orang yang mengkritik dengan menyebutkan kesalahan saja tanpa menyebutkan kebaikan itu tidak berlaku adil dan tidak inshaf apakah akan kita juga mengatakan bahwa Allah tidak adil dan tidak inshaf? Maha Suci Allah dari perkataan seperti ini.
Dan kalau kita perhatikan Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, beliau sangat keras memberi peringatan agar berhati-hati dari ahlul bid’ah (pengikut hawa nafsu). Beliau tidak memandang kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka karena kesalahan-kesalahan mereka lebih berbahaya dari maslahat yang dapat diambil dari kebaikan-kebaikannya. Dalam sebuah hadits disebutkan :
Dari Aisyah Ummul Mukminin radliyallahu 'anhu berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam membaca ayat (yang artinya) : “Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Qur’an) kepadamu. Di antara (isi)-nya ada ayat-ayat yang muhkamat (ayat-ayat yang terang dan tegas maksudnya, dapat dipahami dengan mudah), itulah Ummul Kitab (Ummul Qur’an) dan yang lain mutasyabihat (yang samar-samar belum dipahami maksudnya atau hanya Allah saja yang faham maksudnya). Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan maka mereka mengikuti ayat-ayat mutasyabihat untuk menimbulkan fitnah dan untuk mencari-cari takwilnya padahal tidak ada yang mengetahui takwilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata : ‘Kami beriman kepada ayat-ayat mutasyabihat. Semuanya itu dari Rabb kami. ’ Dan tidak ada yang dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal. ” (QS. Ali Imran : 7) Aisyah berkata, Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam bersabda : “Apabila engkau lihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat maka mereka itulah orang yang telah Allah sebutkan (pada ayat di atas) dan berhati-hatilah kamu sekalian terhadap mereka. ” (HR. Bukhari Muslim)
Dari hadits ini kita dapat mengambil pelajaran tentang manhaj yang shahih di dalam mengkritik ahlul bid’ah, yakni memberi peringatan agar berhati-hati dari kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka karena Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam memerintahkan kepada kita agar berhati-hati dari orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyabihat tanpa beliau menoleh kepada kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Beliau tidak menyatakan Ambillah faidah dari kebaikan-kebaikan mereka dan sebutlah kebaikan-kebaikan mereka itu. Walaupun jelas mereka juga mempunyai kebaikan-kebaikan tapi kebathilannya lebih besar daripada kebaikannya. Jadi sangat menyedihkan sekali kalau sekarang kita dapati banyak dari orang-orang yang mengaku menisbahkan dirinya pada manhaj Salaf memberikan wala’-nya kepada ahlul bid’ah, membela manhaj mereka dan kitab-kitab mereka, dan memberi peringatan agar berhati-hati terhadap Ahlul Haq dan Ahlus Sunnah yang keras terhadap ahlul bid’ah. Semoga Allah menunjuki mereka!
Sikap ini pun telah ditunjukkan pula oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam yang memperingatkan agar berhati-hati dari orang-orang khawarij dimana beliau telah menyebutkan tanda-tandanya kepada para shahabat dengan sabdanya : “Bacaan (Al Qur’an)-mu tidak bisa mengimbangi bacaan (Al Qur’an) mereka sedikitpun. Shalat kamu tidak bisa mengimbangi shalat mereka sedikitpun. Mereka membaca Al Qur’an dan menyangka bahwa Al Qur’an itu dalil bagi mereka padahal hujjah atas mereka. Makna shalat mereka tidak melewati tenggorokan mereka dan mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya. ” Dalam riwayat lain : “Sesungguhnya jika aku mendapati mereka, aku akan bunuh mereka seperti membunuh kaum Tsamud. ” (HR. Muslim)
Di sini kita dapati bahwa walaupun (orang-orang khawarij) itu hamba-hamba yang ikhlas di dalam membaca Al Qur’an, shalat, dan puasa mereka tidak dapat diimbangi oleh para shahabat Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam ternyata justru kebaikan-kebaikan mereka itu menjadi celaan dan tanda kesesatan mereka. Mereka keluar dari Islam sebagaimana lepasnya anak panah dari busurnya dan kalau Rasulullah mendapatkan mereka beliau akan membunuh mereka.
Inilah manhaj yang diajarkan Rasulullah kepada kita di dalam mentahdzir (memberi peringatan agar berhati-hati) dari ahlul bid’ah. Beliau tidak menoleh sedikitpun kepada kebaikan mereka. Kebaikan mereka bahkan bisa menjadi tanda kesesatan mereka sebagaimana yang terjadi pada orang-orang khawarij tersebut. Sikap seperti inilah yang telah diwariskan para ulama Salaf kepada kita.
Di antara sikap ulama Salaf terhadap ahlul bid’ah dapat dilihat pada pernyataan-pernyataan mereka berikut ini :
Ibnu Umar berkata tentang ahlul qadar : “Kabarkan kepada mereka, aku berlepas diri dari mereka dan mereka berlepas diri daripadaku. ” Abu Qilabah berkata : “Jangan kamu bermajelis bersama ashhabul ahwa (pengikut hawa nafsu). ” Atau dia berkata : “Bersama ashhabul khushumat (orang yang suka berbantah-bantahan) karena aku merasa khawatir kalau mereka dapat menenggelamkanmu dalam kesesatan mereka dan membuat samar kepadamu perkara yang sudah kamu ketahui. ”
Seorang ahlul bid’ah berkata kepada Ayub As Sikhtiyaani : “Ya Abu Bakr, aku hendak bertanya kepadamu tentang satu kalimat!” Maka Ayub berpaling daripadanya dan mengatakan : “Tidak!!! (Walaupun) setengah kalimat[16]. ”
Demikianlah telah kita lihat bagaimana sikap para shahabat, tabi’in, dan para Imam Islam terhadap ahlul bid’ah. Mereka keras terhadap ahlul bid’ah tanpa menoleh sedikitpun kepada kebaikan-kebaikan mereka. Hal ini menunjukkan kesungguh-sungguhan mereka terhadap tujuan-tujuan Islam karena adanya kaidah yang berbunyi :
“Menolak kerusakan didahulukan daripada mengambil kemaslahatan[17]. ”
Maka dengan adanya keterangan-keterangan di atas jelaslah sudah bahwa manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dalam mengkritik ahlul bid’ah adalah dengan menjelaskan kebathilan-kebathilan mereka tanpa menyebut kebaikan-kebaikan mereka agar tidak kabur makna nasihat. Sedang mengatakan yang bathil adalah bathil itu merupakan kewajiban sekaligus keadilan meskipun kepada karib kerabat. Sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta'ala dalam surat Al An’am ayat 152 yang artinya :
“Dan apabila kamu berkata maka berlaku adillah walaupun kepada karib kerabat. ”
Para ulama menafsirkan :
Yaitu katakanlah yang haq. (Lihat Tafsir Ath Thabari 5/395, Aisarut Tafasir 2/141 karya Abu Bakar Al Jazairi, Ad Durrul Mantsur 3/385 karya As Suyuthi, dan Fathul Majid halaman 36)
Ini dalam rangka untuk menasihati umat agar berhati-hati dari mereka dan kebathilan mereka. Manhaj ini adalah manhaj yang telah ditempuh oleh Rasulullah Shallallahu 'Alaihi Wa Sallam, para shahabat, tabi’in, dan para Imam-Imam Islam. Dan perlu ditegaskan lagi bahwa al adl (keadilan) atau al inshaf yang benar dalam mengkritik adalah berada di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dimana manhaj yang haq ini berbeda dengan manhaj sururiyah. Akhirul kalam, kita berharap kepada Allah agar Allah menetapkan hati kita semua di atas manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah dan kita berharap agar Dia tetap menjaga kita dari berbagai macam penyimpangan, di antaranya penyimpangan yang dilakukan oleh paham sururiyah ini. Kita juga berharap kepada Allah semoga Dia menunjuki para pemuda Salafiyyin yang terjerumus ke dalam pemahaman sururiyah dan ke dalam pemahaman-pemahaman bid’ah yang lain agar kembali kepada manhaj Salaf, manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah. Dengan demikian berkibarlah bendera-bendera Sunnah dan hancurlah bendera-bendera bid’ah. Amiin Ya Rabbil Alamiin, Wallahu ‘Alam Bish Shawab.
[1] Lihat ta'liq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid dalam Kitab Al Hithah fi Dzikir Sihhatis Sittah karya Siddiq Hasan Khan rahimahullah ta'ala.
[2] Miftah Darus Sa'adah 1/163, tahqiq Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid.
[3] Lihat At Tashfiyyah wat Tarbiyyah karya Syaikh Ali Hasan Abdul Hamid halaman 25 cetakan Daarut Tauhid.
[4] Termasuk di dalamnya ahlul bid'ah.
[5] Dikutipkan dari kata sambutan Syaikh Salim Al Hilaly terhadap kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdi Rijal wal Kutub wat Thawaaif karya Syaikh Rabi' bin Hadi Al Madkhali halaman 11.
[6] Quthbiyyah halaman 19, karangan Abi Ibrahim bin Sulthan Al Adnaani.
[7] Pemahaman seperti ini juga disebutkan di dalam kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin karya Ahmad Suwayyan, Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fin Naqdi wal Hukum alal Akharim karya Ash Shini halaman 27 dan Qawaaaidil Itidal karya Al Maqthiri halaman 33.
[8] Lihat kitab Min Akhlaaqid Da'iyah karya Salman Al Audah halaman 40.
[9] Lihat kitab yang sama halaman 47.
[10] Maksudnya kita mengambil seluruh isi kitab yang baik dan yang buruk kemudian yang baik kita letakkan pada suatu anak timbangan dan yang buruk pada anak timbangan yang lain maka timbangan akan sama berat. Jadi kalau kita mengkritik haruslah menyebutkan kebaikan dan keburukan dan kalau tidak maka tidak bisa dikatakan adil. Wallahu a'lam bish shawab.
[11] Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wl Jamaah fi Taqwiimir Rijal wa Muallafaathin halaman 27. Di sini kita cukupkan hanya beberapa nukilan saja dari perkataan-perkataan mereka (sururiyin) sebagai kesimpulan dari perkataan-perkataan yang lain.
[12] Lihat Al Quthbiyyah halaman 30-31.
[13] Lihat Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal wal Kutub wat Thawaaif halaman 45-48.
[14] Lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 127-149.
[15] Fatwa-fatwa ini dikutip dari muqaddimah Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 8-10.
[16] Lihat Syarhus Sunnah karangan Imam Al Baghawi 1/227.
[17] Keterangan yang lebih jelas tentang bab ini lihat Kitab Manhaj Ahlus Sunnah wal Jamaah fi Naqdir Rijal halaman 23-32.
(www. assunnah. cjb. net/) sumber: www. darussalaf. or. id, penulis: Al Ustadz Abdul Muthi
 

Syaikh Muqbil: Kenapa kita butuh pada al-jarh wat ta’dil



Dijawab oleh Syaikh Muqbil bin Hadi al-Wadi’i rahimahullah
Pertanyaan: Kenapa engkau memilih manhaj al-jarh wat ta’dil sebagai satu metode? Padahal banyak para dai dan mushlihin menganggapnya sebagai sebab perpecahan ummat dan menyebabkan kebencian orang yang menempuh metode ini? Mereka beralasan bahwa jamanal-jarh wat ta’dil telah berakhir bersamaan dengan jaman periwayatan?
Jawab: Ya… Jika kita meninggalkan al-jarh wat ta’dil, maka ucapan Syaikh Imam Qudwah Syaikh Ibnu Baz dan ucapan Ali Thantawi adalah sama saja. Padahal keduanya tidak sama.
Kemudian apa –barakallahu fikum-?
Kita butuh untuk menjelaskan Hasan at-Turabi, Yusuf al-Qardhawi, dan Abdul Majid az-Zindani.
Kemudian apa –barakallahu fikum-?
Demikian juga pimpinan Ikhwanul Muslimin, harus dijelaskan keadan mereka. Demikian juga ulama penjilat pemerintah, harus dijelaskan keadaan mereka, dimana mereka membela pemerintah dengan silat lidah mereka yang bathil.
[Contoh-Contoh Ayat Dan Hadits Yang Berisi Jarh]
Padahal Allah Yang Maha Mulia berfirman dalam Al-Qur’an yang mulia:
وَلَا تُجَادِلْ عَنِ الَّذِينَ يَخْتَانُونَ أَنْفُسَهُمْ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ مَنْ كَانَ خَوَّانًا أَثِيمًا
“Dan janganlah kamu berdebat (untuk membela) orang-orang yang mengkhianati dirinya. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang selalu berkhianat lagi bergelimang dosa.” (QS. an-Nisa: 107)
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إِنَّمَا أَخَافُ عَلَى أُمَّتِي الأَئِمَّةَ المُضِلِّينَ
“Sesungguhnya yang aku takutkan atas ummatku hanyalah para pemimpin yang menyesatkan.” (HR. Abu Dawud 4252)
Siapakah shahabat yang meriwayatkannya? Siapa yang meriwayatkannya, wahai Zakaria? Engkau, siapa yang meriwayatkannya? Abu Dawud, benar. Shahabat yang meriwayatkannya adalah Tsauban dikeluarkan oleh Abu Dawud.
Apa, wahai ikhwan? Barakallahu fikum. Jika Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian.
Dan Allah Yang Mulia berfirman dalam al-Qur’an yang mulia:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آَمَنُوا إِنَّ كَثِيرًا مِنَ الْأَحْبَارِ وَالرُّهْبَانِ لَيَأْكُلُونَ أَمْوَالَ النَّاسِ بِالْبَاطِلِ وَيَصُدُّونَ عَنْ سَبِيلِ اللَّهِ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya sebahagian besar dari orang-orang alim Yahudi dan rahib-rahib Nasrani benar-benar memakan harta orang dengan jalan batil dan mereka menghalang-halangi (manusia) dari jalan Allah.” (at-Taubah: 34)
Dan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
بِئْسَ أَخُو العَشِيرَةِ
“Dia sejelek-jelek orang.” (HR. al-Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dan beliau bersabda sebagaimana dalam Shahih al-Bukhari:
مَا أَظُنُّ فُلاَنًا وَفُلاَنًا يَعْرِفَانِ مِنْ دِينِنَا شَيْئًا
“Aku tidak mengira si fulan dan si fulan mengira sedikitpun dari agama kita.” (HR. al-Bukhari dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha)
Dan beliau bersabda melarang Mu’adz:
يَا مُعَاذُ، أَفَتَّانٌ أَنْتَ يا مُعَاذ
“Wahai Mu’adz, apakah engkau tukang fitnah wahai Mu’adz.” (HR. al-Bukhari)
Dan beliau berkata kepada Abu Dzar:
إِنَّكَ امْرُؤٌ فِيكَ جَاهِلِيَّةٌ
“Sesungguhnya engkau orang yang masih ada perkara jahiliyyah padamu.” (HR. al-Bukhari)
Beliau berkata kepada para istrinya:
إِنَّكُنَّ لَأَنْتُنَّ صَوَاحِبَاتُ يُوسُفَ
“Sesungguhnya kalian (seperti) para wanita Nabi Yusuf.” (HR. an-Nasai)
Ya, segala puji bagi Allah. Kami telah menyebutkan beberapa dalam al-Makhraj min al-Fitnah, dan juga di al-Jami’ ash-Shahih mimma Laisa fish Shahihain. Dan ini dari sisi dalil-dalil dan telah dikumpulkan oleh ahlul ilmi.
Sesungguhnya aku memuji Allah, al-jarh wat ta’dil telah membinasakan Abdurrahim ath-Thahhan. Telah membinasakannya, wahai ikhwan. Al-jarh wat ta’dil juga telah memotong lisan Yusuf bin Abdillah al-Qardhawi.
Betapa banyak orang … ada orang dari Mesir, mereka memberitahu kami -dalam nasehat- telah hadir banyak sekali pihak berwenang. Dan setelah itu, orang tadi menafsirkan Surat al-Ashr: “Demi masa, sesungguhnya manusia dalam kerugian”. Dia berkata: “Menteri dalam negeri berada dalam kerugian kecuali jika dia termasuk orang-orang yang beriman”. Setelahnya dia berkata: “Aku tidak merasa kecuali para menteri dan para pegawai masing-masing mereka menutupi dengan yang lain agar tidak terlihat”. Dia berkata: “Sesungguhnya dia dalam kerugian kecuali jika dia seorang yang beriman.”
Aku memuji Allah, kemudian apa wahai ikhwan? Para ahli bid’ah goncang hati-hati mereka karena satu kaset. Dan kadang sampai kepada mereka di Inggris, atau Amerika atau yang lainnya. Wallahul musta’an.
Penanya: Dan orang yang mengatakan al-jarh wat ta’dil telah berakhir bersamaan (berakhirnya) masa periwayatan?

Jawab: Orang-orang yang mengatakan jarh wa tadil telah berakhir, wahai ikhwan, mereka tahu bahwa mereka orang-orang yang dijarh. Karena ini mereka tidak ingin seseorang berbicara dalam al-jarh wat ta’dil. Aku telah dipertemukan dengan orang-orang diantara mereka di Maktab At-Taujih dan al-Irsyad setelah terbitnya kitab al-Makhraj min al-Fitnah. Mereka berkata: “Ghibah. Kitab al-Makhraj min al-Fitnah (yang artinya jalan keluar dari fitnah) adalah ghibah. Kitab itu adalah jalan masuk ke dalam fitnah.”

Setelah itu apa? Aku telah mengatakan kepada mereka dan mereka telah mengatakan kepada kami: “Kita akan berdamai. Kita akan berdamai.” Katakan kepada mereka: “Mereka diam, dan baru kita akan berdamai. Mereka tidak akan gelisah dan tidak apa-apa.” Mereka telah mengatakan: “Engkau telah menampar kami kemudian setelahnya kita berdamai?!” Benar kita telah menampar mereka, tetapi aku tidak pernah berkata: “Kita akan berdamai.” Jika tidak, mereka telah menampar, kemudian kita membiarkan tamparan itu mendingin beberapa hari, kemudian kita datang kepada mereka dengan tamparan yang lain. Jika tidak, itu tidaklah benar? Perang itu penuh tipu daya.
Kemudian apa, wahai ikhwan? Mereka takut terhadap al-jarh wat ta’dil karena mereka mengetahui bahwa mereka adalah orang-orang yang dijarh. Demikian juga karya-karya tulis (tentang al-jarh wat ta’dil) sangat mereka takuti. Seorang tokoh kabilah yang simpati kepadaIkhwanul Muslimin berkata kepadaku: “Apakah engkau menjarh mereka, wahai Abu Abdirrahman?” Aku menjawab: “Kita akan berdamai. Dan yang telah berlalu sudah berlalu.” Dia berkata: “Tidak apa-apa. Dan yang telah berlalu sudah berlalu. Dan engkau jangan menulis.” Dia mengatakan: “Engkau boleh berbicara, berbicara di kaset, tidak apa-apa.” Tetapi tulisan ini membikin mereka gelisah. Ketika aku mengetahui tulisan ini membuat mereka gelisah, aku bertekad untuk mengumpulkan kaset-kaset rekaman dalam kitab-kitab dan menerbitkannya. Walahul musta’an.
Sumber: http://www.sahab.net/forums/index.php?showtopic=124198

Pengertian Taqlid



Taqlid secara makna bahasa berarti membuat ikatan di leher, terambil dari kata qilaadatun, yang bermakna sesuatu yang digunakan orang untuk mengikat yang lainnya (lihat Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi, hal 75 dan Al Aqoid hal 91)

Adapun secara istilah, taqlid bermakna mengambil madzab ornag lain atau beramal dengan ucapan manusia tanpa dalil dan hujjah. Abu abdillah bin Khuwaizi Mandad berkata,” Setiap orang yang engkau ikuti tanpa dalil dan hujjah, maka engkau adalah muqollid-nya”. [ Lihat  I’lamul Muwaqiin hal 137]

Dengan demikian jika mengikuti pendapat seseorang atau ucapannya, padahal pendapat atau ucapan tersebut tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan Sunnah yang shahih atas pemahaman salafush shalih, maka disebut muqollid-nya orang tersebut.

 Perbedaan Ittiba’ dan Taqlid
Ittiba’ dan taqlid adalah dua hal yang jauh berbeda dan saling berlawanan. Hal ini merupakan kesepakatan para ulama’ dan hampir tidak ada ulama yang menyelisihinya kecuali orang-orang muta’ashibah dan muqollidah yakni orang-orang yang fanatik terhadap golongannya dan muqollidnya madzab tertentu. Perbedaan kedua hal tersbut dapat dilihat dari beberapa segi :

1.      Dilihat dari segi pengertiannya

Kalau diperhatikan dari definisi ittiba’ dan taqlid yang telah di jelaskan sebelumnya maka akan jelas gamblang bagi kita bahwa ittiba’ tidak sama dengan taqlid. Sehingga tidak mungkin ittiba itu dikatakan taqlid dan sebaliknya. Karena Ittiba’ mengikuti pendapat atau ucapan seseorang dengan hujjah dari Al Qur’an dan As Sunnah yang shahih dengan pemahaman salafush shalih, sedangkan taqlid mengikuti pendapat seseorang tanpa dibangun diatas hujjah sahih hanya dibangun diatas hawa nafsu saja.

2.      Ittiba’ adalah suatu amalan syar’I yang disyariatkan oleh Alloh Azza wa Jalla dan RosulNya.

Alloh Azza wa Jalla  berfirman

“ Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain Nya. Amat sedikitlah kamu mengambil pelajaran (daripadanya).” [QS Al A’rof 3]

Sedangkan taqlid adalah perbuatan terlarang dalam Islam dan dicela oleh Alloh Azza wa Jalla dalam banyak ayat dalam kitabNya. Diantaranya Alloh Azza wa Jalla berfirman kepada orang-orang yang bertqlid kepada bapak-bapak mereka:

“Dan apabila dikatakan kepada mereka’ikutilah apa yang diturunkan Allah’,Mereka menjawab:’(Tidak),tapi kami (hanya) mengikuti apa yang kami dapati dari bapak-bapak kami mengerjakannya’. Dan apakah mereka (akan mengikuti bapak-bapak mereka) walaupun syaithon itu menyeru mereka ke dalam siksa api yang menyala-nyala.” [QS Luqman 21]

Ayat ini dan juga ayat-ayat lainnya yang semakna dijadikan dalil oleh para ulama’ tentang batilnya taqlid. Oleh karena itu mereka para Ulama semua melarang umat untuk taqlid kepada mereka dan menyruh ummat untuk ber ittiba’ kepada Al Qur’an dan Sunah [lihat Kitab Imam Ibnu Abdil Barr , bayaanil Ilmi wa Fadllihi untuk pembahasan selengkapnya]

3.      Ittiba adalah ciri khas yang dimiliki Ahlus Sunnah Wal Jamaah, bahkan merupakan salah satu kaidah dibangunya manhaj mereka.

Ahlus Sunnah wal Jamaah memandang bahwa yang wajib diikuti adalah sunnah Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam baik itu yang berkaitan dengan masalah I’tiqod, ibadah maupun permasalahan agama yang lainnya, hal itu dapat dicapai dengan mengetahui hadits-hadits yang shahih dari Beliau Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dan apa yang dipahami salaful Ummah. Adapun taqlid yang berujung kepada kebid’ahan adalah ciri khas Ahlul Bid’ah, Ahlul Ikhtilaf dan dan firqoh-firqoh sesat dan menyesatkan [ Lihat : Al I’tishom karya Imam Syathibi -rahimahullah- )


Hubungan Taqlid dan Bid’ah

Perlu dipahami bahwa sebab kemunduran kaum muslimin dan kehinaan mereka adalah karena kebodohan mereka terhadap Kitabulloh dan sunnah RosulNya serta isi kandungannya. karena sebab kebodohan inilah mereka banyak terperosok kedalam kebid’ahan dan khurufat. Dari kebodohan ini pulalah timbul dan munculnya taqlid, sedang, sedangkan bid’ah menjadi laris manis kalau dijual dan dijajakan di pasar ‘kebodohan’ dan ‘ketaqlidan’.

Oleh karena itu jika kita mempelajari seluk beluk taqlid, kemudian kita pelajari hakekat kebid’ahan niscaya kita tahu bahwa ternyata antara bid’ah dan yaqlid memiliki hubungan yang sangat erat. jika kita perhatikan, perbuatan bid’ah niscaya akan kita ketahui  bahwa pelakunya adalah seorang muqollidun.Dan kalau kita melihat seorang muqollid, niscaya kita lihat bahwa dia tenggelam ke dalam kebid’ahan, kecuali mereka yang dirahmati Alloh Azza wa Jalla .

Sebab-sebab yang menunjukkan bahwa taqlid itu memiliki hubungan yang kuat dengan bid’ah dan bahayanya, diantaranya :

1.                Muqollid tidak bersandar dengan dalil dan tidak mau melihat dalil, jika dia bersandar kepada dalil, maka dia tidak lagi disebut muqollid. Demikian pula Mubtadi’, dia pun dalam melakukan kebid’ahannya tidak berpegang teguh dengan dalil, karena kalau berpegang dengan dalil maka ia tidak lagi dinamakan mubtadi’, karena asal makna bid’ah adalah mengadakan suatu hal yang baru tanpa dalil atau nash.

2.                Taqlid dan bid’ah adalah tempat tergelinciran yang sangat berbahaya untuk menyimpang dari agama dan aqidah. Karena dua hal tersebut akan menjauhkan pelakunya dari nash dan dalil Al Qur’an dan Sunnah yang merupakan sumber kebenaran. Jika dua penyakit ini sudah mengenai seseorang, niscaya dia akan terjauh dari dalil. Dan jika sudah demikian, maka mengikuti setiap syubhat yang sampai kepdanya dan akan tunduk dan patuh pada setiap seruan.

3.                Taqlid dan bid’ah ,merupakan sebab pokok tersesatnya umat terdahulu. Alloh Azza wa Jalla menceritakan dalam Al Qur’an tentang Bani Israil yang meminta Musa Alaihi salam untuk menjadikan bagi mereka satu ilah/sesembahan dari batu, karena taqlid mereka kepada para penyembah arca yang pernah mereka lewati. FirmanNya:

“ Dan Kami seberangkan bani Israel ke seberang lautan itu, maka setelah mereka sampai kepada suatu kaum yang telah menyembah berhala mereka, Bani Israil berkata:’ Hai Musa, buatkanlah untuk kami sebuah ilah sebagaimana mereka memiliki beberapa ilah.’ Musa menjawab:’ Sesungguhkan kamu ini adalah kaum yang tidak mengetahui.’ Sesungguhnya mereka itu akan dihancurkan kepercayaan yang dianutnya dan akan batal apa yang selalu mereka kerjakan” {QS Al A’rof 138-139]

Sekalipun Nabi Musa Alaihi salam melarang dan mencerca mereka dan merekapun mengetahui bahwa berhala itu hanya bebatuan yang tidak dapat memberi manfaat dan mudlarat, namun mereka tetap membuat patung anak sapi dan menyembahnya. hal ini karena taqlid yang sudah menimpa mereka.

Ayat tersebut sangat jelas menunjukkan bahaya taqlid dan hubungannya sangat erat dengan bid’ah bahkan dengan kesyirikan dan kekufuran. hal inilah yang merupakan sebab sesatnya Bani Israil dan umat lainnya, termasuk sebagian umat Muhammad Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam .[lihat Ilmu Ushulil bid’ah 175-183].


Hukum Bertaqlid

Dalam permasalahan ini, ada tiga pendapat :

1.      Pendapat yang membolehkan bahkan mewajibkan taqlid, pendapat ini dipegang oleh para muqollidun madzahib (fanatik madzab) baik dulu maupun sekarang

2.      Pendapat yang melarang taqlid secara mutlak, diantara ulama yang berpendapat demikian adalah Ibnu Khuwaizi Mandad -rahimahullah- dan Imam Asy Syaukani -rahimahullah- .

3.      Pendapat yang mengatakan bahwa taqlid ada dua hukum:

a.      Taqlid yang diperbolehkan, yaitu taqlid seorang yang bodoh kepada ‘alim yang terpercaya.

b.      Taqlid yang dilarang, yaitu taqlid kepada seseorang ‘alim tertentu tanpa hujjah.

               Pendapat ini adalah pendapat jumhur ulama, diantaranya Imam Abdil Barr dan Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi –rahimakumullah- [ lihat al aqoid hal 93-95]

Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani -rahimahullah- berkomentar tentang kebolehan bagi orang awam yang jahil untuk bertaqlid kepada ‘alim yang terpercaya dengan ucapan,” Yang benar adalah bahwa orang yang tidak mampu untuk mengetahui dalil, dia itulah yang diharuskan taqlid. karena Alloh Azza wa Jalla tidak membebani suatu jiwa melainkan sesuai dengan kemampuannya. dan kadng-kadang seorang alim pun terpaksa harus bertaqlid dlam beberapa permasalahan yaitu ketika dia tidak mendapatkan suatu nash Al Qur’an dan Sunnah nabawiyyah, dia hanya mendapatkan ucapan dari orang yang lebih ‘alim dari dirinya, maka dia pun terpaksa harus taqlid dari dirinya. hal ini pernah dilakukan oleh Imam Syafi’I -rahimahullah- dalam beberapa permasalahan.

Oleh karena itulah Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah -rahimahullah- mengatakan,” Ini adalah perbuatan ulama’ dan memang demikian seharusnya, karena taqlid itu hanya diperbolehkan untuk orang yang terpaksa saja. Adapun orang yang berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah serta perkataan para Shohabat rodliallohu anhum dan tidak mau tahu al haq dengan dalil, padahal dia mampu namun dia lebih memilih taqlid, maka orang semacam ini bagaikan orang yang makan bangkai padahal dia mampu memakan binatang halal hasil sembelihan…” [lihat Al Hadits Hujjatun bi Nafsihi 86-87]


Syubhat-Syubhat dan Bantahannya

 Syubhat-syubhat yang timbul sekitar masalah ini muncul dari para muqqallid dan fanatis madzab. Mereka didalam membela hawa nafsunya dan emmalingkan umat dari Al Qur’an dan Assunnah kepada pendapat-pendapat perorangan dan madzab tertentu, membuat syubhat-syubhat yang kemudian dilemparkan ketengah umat. Diantaranya:

1.      Sesungguhnya tidak ada yang dapat memahami, merenungi dan mengamalkan isi kandungan Al Qur’an dan AsSunnah melainkan mujtahid. Sedangkan mujtahid itu adalah orang-orang yang telah memenuhi syarat begini dan begitu! (syarat menurut apa yang mereka kehendaki), Namun karena tidak ada orang yang bisa mnencapai derajat mujtahid maka harus berpaling dari Al Qur’an dan Sunnah dan cukup hanya berpegang pada madzab dan pendapat orang-orang tertentu.

Bantahan:

Jika kita perhatikan dengan seksama syubhat diatas maka kita dapat memahami bahwa syubhat diatas dibangun diatas dua hal :

a.       Tidak ada yang bisa memahami Al Qur’an dan Sunnah melainkan mujtahid mutlak.

b.      bahwa mujtahid yang memenuhi syarat sama sekali sudah tidak ada lagi di dunia ini.

Kemudian dari dua hal tersebut diperoleh kesimpulan :” Terlarang bagi seluruh penduduk bumi ini untuk memahami dan mengamalkan Al Qur’an dan Sunnah dan cukup bagi mereka berpegang dengan madzab-madzab yang sudah ada.”

Syubhat ini dijawab sendiri oleh Alloh Azza wa Jalla dalam banyak ayat, diantaranya:

“Maka apakah mereka (orang kafir dan munafik) tidak memperhatikan Al Qur’an ataukah hati mereka telah terkunci” [QS Muhammad 24].

Dalam ayat ini jelas sekali Alloh Azza wa Jalla mencerca orang-orang kafir dan munafisk yang tidak mau memperhatikan AL Qur’an dan isi kandungannya. Dalam ayat ini kita lihat bahwa orang kafirpun diperintah oleh Alloh Azza wa Jalla untuk tadabbur (memperhatiakan) Al Qur’an , demikian pula Alloh Azza wa Jalla mecerca orang-orang yag berpaling dari Al Qur’an:

“Ini adalah sebuah  kitab yang kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayatnya dan supaya mendapat pelajaran bagi orang-orang yang berpikir [Shaad 29]

Ayat ini dan ayat lainnya yang semakna dengannya adalah dalil yang membatalkan syubhat diatas. Karena Alloh Azza wa Jalla memerintahkan kepada kaum muslimin seluruhnya untuk memahami dan memperhatikan ayat Al Qur’an.

Jadi, jika ayat tersebut dikhususkan bagi seorang mujtahid saja, sedangkan yang lainnya diharamkan, maka pengkhususan seperti itu membutuhkan suatu dalil yang qoth’I dari Al Qur’an dan Hadist Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam yang shahih dan tidak dikhususkan dengan pendapat-pendapat ulama madzab tertentu.

Jelaslah bagi orang-orang yang memiliki akal bahwa syubhat diatas yag melarang untuk memahami dan mengamalkan Al Qur’an dan sunnah cukup dengan madzab-madzab yang ada adalah sejelek-jeleknya syubhat. Karena menyelisihi nash Al Qur’an dan As Sunnah dan ijma’ para Shohabat rodliallohu anhum bahkan menyelisihi imam-imam madzab yang empat.

Kemudian jika yang mereka maksudkan adalah Al Qur’an dan As Sunnah tidak perlu lagi dipelajari dengan alasan madzab-madzab yang ada sudah mencukupi, maka ini adalah tuduhan yang keji dan ucapan mungkar.Sedangkan jika yang mereka maksudkan bahwa mempelajari Al Qur’an dan As Sunnah adalah sulit dan tidak ada yang mampu, maka inipun anggapan batil. Karena mempelajari Al Qur’an dan Sunnah lebih mudah daripada mempelajari pendapat perorangan.

Alloh Azza wa Jalla  berfirman:

“Dan sesungguhnya telah Kami mudahkan Al Qur’an untuk pelajaran, maka adakah orang yang mengambil pelajaran?” [Al Qomar 17,22,32,40]

Ayat ini dan ayat yang semakna lainnya menunjukkan bahwa Allah telah mudahkan bagi umat ini untuk mempelajari Al Qur’an. Hal ini pasti terjadi karena merupakan janji Alloh Azza wa Jalla , terlebih lagi seperti zaman sekarang ini Al Qur’an telah tersusun rapi dan tercetak indah dan lengkap dengan kitab tafsirnya dan terjemahannya. Demikan kitab–kitab Hadits Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam , tinggal kemauan dan niat yang ikhlas dari muslimin untuk mempelajarinya.

Adapun diantara syarat-syarat mujtahid yang mereka tetapkan, tidak satupun dari syarat tersebut yang disepakati oleh para ulama, kecuali kesepakan para sesama muqollidun. (lihat Al Aqalid hal 14-23]


2.      Mereka mengatakan,”Tidak boleh taqlid selain kepada madzab empat, sekalipun mencocoki Al Qur’an, hadits shahih dan aqwal / ucapan para Shohabat rodliallohu anhum karena orang-orang yang kelaur dari madzab adalah sesat lagi menyesatkan dan bisa menjerumuskan dia kedalam kekufuran, juga mengambil dzahir nash Al Qur’an dan As Sunnah termasuk pokok-pokok kekufuran.”

Bantahan:

Pada dasarnya ucapan diatas bukanlah syubhat karena sudah jelas kebatilannya, oleh karena itu Syaikh Muhammad Amin Asy-Syinqithi –-rahimahullah- dalam kitabnya Al-Aqalid hal 24-25 mengatakan,” Lihatlah wahai saudaraku ! alangkah keji dan batilnya ucapan ini dan alangkah lancangnya orang yang mengutarakan semacam ini terhadap Allah, KitabNya, NabiNya, Sunnahnya dan para Shohabat rodliallohu anhum ! Subhanallah, ini adalah kedustaan yang besar.”

Yang benar adalah sebagai mana yang dipahami oleh para Shohabat rodliallohu anhum dan mayoritas ulama bahwa tidak boleh berpaling pada zdahir nash Al Qur’an dan Asd Sunnah, bagaimanapun keadaannya dari segi apapun sampai dalil syar’I yang shahih yang memalingkan dzahir nash pada kemungkinan lain yang marjuh.

Maka ucapan syubhat diatas tidak akan keluar dari mulut orang yang mengerti dan faham Kitabullah dan Sunnah RosulNya, akan tetapi keluar dari orang yang bodoh terhadap keduannya sehingga meyakini bahwa mengambil dzahir nash Al Qur’an dan As Sunnah adalah pokok kekufurun.

3.      Mereka mengatakan,” Kami (para muqollidun) adalah orang-orang yang mengamalkan firman Alloh Azza wa Jalla “…maka tanyakanlah olehmu kepada orang-orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui” [QS AlAnbiya’7]

Ayat ini memerintahkan kita sebagi orang yang tidak berilmu untuk bertanya kepada orang yang lebih berilmu dari dia. Dan ini adalah dalil perbuatan kami.”

Bantahan :

Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi -rahimahullah- menjawab syubhat ini dengan mengatakan,” Adapun istidlal (pengambilan dalil) mereka dengan ayat ini adalah istidlal yang  bukan pada tempatnya, karena ayat tersebut tidak menunjukkan wajibnya taqlid buta seperti yang ada pada mereka. Tidak diragukan lagi bahwa Ahlul Dzikr dalam ayat ini adalah ahli wahyu yang mengerti akan dua wahyu yang datang dari sisiNya yaitu Al Qur’an dan As Sunnah, kemudian mereka diperintahkan untuk bertanya kepaada ahlu dzikr tersebut agar diberi fatwa dengan ketentuan wahyu, maka barangsiapa bertanya tentang wahyu kemudian diberitahu dan dijelaskan lalu dia mengamalkan apa yang telah dijelaskan berarti di ittiba’ pada wahyu bukan dinamakan taqlid. sedangkan ittiba’ kepada wahyu adalah wajib.”


Demikian beberapa syubhat dari banyak syubhat yang dilontarkan muqllidun di tenagh umat, ucapan syubhat mereka telah dibantah oleh para ulama Ahlus sunnah diantaranya oleh Imam Ibnul Qoyyim Al Jauziyah -rahimahullah- dalam kitabnya I’lamul Muwaqiin juz 2 hal 140-198 (dapatkan kitab asli dan terjemahannya di www.al-aisar.com), dalam kitab ini beliau membantah semua syubhat para muqqlid dengan menyebutkan bantahan lebih dari 80 sisi.

Mudah mudahan Alloh Azza wa Jalla menganugrahkan kepada kita taufiqNya untuk dapat ber iitiba’ kepada Rosululloh Sholallahu Alaihi Wassalam dengan mengilmuinya/mempelajarinya, mengamalkan dan mendakwahkannya kepada umat dan menjauhkan kita kepada taqlid buta yang dapat menyesatkan kita.


Wallahu t’ala  ‘alam bishawab
 
ma’raji :

Al Qur’anul Karim dan terjemahannya
Jami’ul Ulum wal Hikam , Al Hafidz Ibnu Rajab
Mahabbatur Rasul, Abdu rauf Muhammad Utsaman
Jami’ Bayanil Ilmu wa Fadllih, Imam Ibnu Abdil Barr
Al Hadits Hujjatun bi Nahsihi, Suiakh Al Albani
Al I’tiqod wal Hidayah Ila Sabdi Ar Rasyad, Imam Al Baihaqi
Fadlu Ilmi Salaf, Al Hafidz Ibnu Rajab
Shahih Bukhori, Imam Bukhori
Shahih Muslim, Imam Muslim
Ilmu Ushulil Bida’, Syaikh Ali Hasan Al Halabi
Al I’tishom, Imam Asy Syatibi
Syarh Aqidah Thahawiyah, Imam Ibnu Abil Izzi Al hahafi
Al Aqalid, Syaikh Muhammad Amin Asy Syinqithi
Al Ushul As Sittah, Imam Muhammad bin Abdul Wahab
Hal lil Muslim Mulzamun bi ittiba’ Madzab Mu’ayyan, Muhammad sulthon Al Ma’shumi.


(Dapatkan kitabnya di www.al-aisar.com)

Sumber : Majalah Salafy edisi X/Jumadil Awwal/1417 H, dilarang mengkopi kecuali menyertakan www.al-aisar.com sebagai sumbernya)

HAKIKAT TASAWUF DAN SUFI



Kamis, 05-Oktober-2006, Penulis: Al Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi, Lc
 
Bashrah, sebuah kota di negeri Irak, merupakan tempat kelahiran pertama bagi Tasawuf dan Sufi. Yang mana (di masa tabi’in) sebagian dari ahli ibadah Bashrah mulai berlebihan dalam beribadah, zuhud dan wara’ terhadap dunia (dengan cara yang belum pernah dicontohkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam), hingga akhirnya mereka memilih untuk mengenakan pakaian yang terbuat dari bulu domba (Shuuf/صُوْف). Meski kelompok ini tidak mewajibkan tarekatnya dengan pakaian semacam itu, namun atas dasar inilah mereka disebut dengan “Sufi”, sebagai nisbat kepada Shuuf (صُوْف).

Oleh karena itu, lafazh Sufi ini bukanlah nisbat kepada Ahlush Shuffah yang ada di zaman Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, karena nisbat kepadanya dinamakan Shuffi (صُفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada shaf terdepan di hadapan Allah Ta’ala, karena nisbat kepadanya dinamakan Shaffi (صَفِّيٌ), bukan pula nisbat kepada makhluk pilihan Allah (الصَّفْوَةُ مِنْ خَلْقِ اللهِ) karena nisbat kepadanya adalah Shafawi (صَفَوِيٌّ) dan bukan pula nisbat kepada Shufah bin Bisyr (salah satu suku Arab), walaupun secara lafazh bisa dibenarkan, namun secara makna sangatlah lemah, karena antara suku tersebut dengan kelompok Sufi tidak berkaitan sama sekali.

Para ulama Bashrah yang mendapati masa kemunculan mereka, tidaklah tinggal diam. Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Abu Asy Syaikh - Al Ashbahani rahimahullah dengan sanadnya dari Muhammad bin Sirin rahimahullah bahwasanya telah sampai kepadanya berita tentang orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba, maka beliau pun berkata: “Sesungguhnya ada orang-orang yang mengutamakan pakaian yang terbuat dari bulu domba dengan alasan untuk meneladani Al Masih bin Maryam ! Maka sesungguhnya petunjuk Nabi kita lebih kita cintai (dari/dibanding petunjuk Al Masih), beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam biasa mengenakan pakaian yang terbuat dari bahan katun dan yang selainnya.” (Diringkas dari Majmu’ Fatawa, karya Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah Juz 11, hal. 6,16 ).

Siapakah Peletak/Pendiri Tasawuf ?

Ibnu ‘Ajibah seorang Sufi Fathimi, mengklaim bahwasanya peletak Tasawuf adalah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam sendiri. Yang mana beliau –menurut Ibnu ‘Ajibah - mendapatkannya dari Allah Ta’ala melalui wahyu dan ilham. Kemudian Ibnu ‘Ajibah berbicara panjang lebar tentang permasalahan tersebut dengan disertai bumbu-bumbu keanehan dan kedustaan. Ia berkata: “Jibril pertama kali turun kepada Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dengan membawa ilmu syariat, dan ketika ilmu itu telah mantap, maka turunlah ia untuk kedua kalinya dengan membawa ilmu hakikat. Beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pun mengajarkan ilmu hakikat ini pada orang-orang khususnya saja. Dan yang pertama kali menyampaikan Tasawuf adalah Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, kemudian Al Hasan Al Bashri rahimahullah menimba darinya.” (Iqazhul Himam Fi Syarhil Hikam, hal.5 dinukil dari At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyah, hal. 8).

Asy Syaikh Muhammad Aman Al Jami rahimahullah berkata: “Perkataan Ibnu ‘Ajibah ini merupakan tuduhan keji lagi lancang terhadap Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam, ia menuduh dengan kedustaan bahwa beliau menyembunyikan kebenaran. Dan tidaklah seseorang menuduh Nabi dengan tuduhan tersebut, kecuali seorang zindiq yang keluar dari Islam dan berusaha untuk memalingkan manusia dari Islam jika ia mampu, karena Allah Ta’ala telah perintahkan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam untuk menyampaikan kebenaran tersebut dalam firman-Nya (artinya): “Wahai Rasul sampaikanlah apa yang telah diturunkan kepadamu oleh Rabbmu, dan jika engkau tidak melakukannya, maka (pada hakikatnya) engkau tidak menyampaikan risalah-Nya.” (Al Maidah : 67)

Beliau juga berkata: “Adapun pengkhususan Ahlul Bait dengan sesuatu dari ilmu dan agama, maka ini merupakan pemikiran yang diwarisi oleh orang-orang Sufi dari pemimpin-pemimpin mereka (Syi’ah). Dan benar-benar Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu sendiri yang membantahnya, sebagaimana yang diriwayatkan oleh Al Imam Muslim rahimahullah dari hadits Abu Thufail Amir bin Watsilah Radiyallahu ‘anhu ia berkata: “Suatu saat aku pernah berada di sisi Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, maka datanglah seorang laki-laki seraya berkata: “Apa yang pernah dirahasiakan oleh Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam kepadamu?” Maka Ali pun marah lalu mengatakan: “Nabi Shallallahu ‘alaihi wassalam belum pernah merahasiakan sesuatu kepadaku yang tidak disampaikan kepada manusia ! Hanya saja beliau Shallallahu ‘alaihi wassalam pernah memberitahukan kepadaku tentang empat perkara. Abu Thufail Radiyallahu ‘anhu berkata: “Apa empat perkara itu wahai Amirul Mukminin ?” Beliau menjawab: “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda: “(Artinya) Allah melaknat seorang yang melaknat kedua orang tuanya, Allah melaknat seorang yang menyembelih untuk selain Allah, Allah melaknat seorang yang melindungi pelaku kejahatan, dan Allah melaknat seorang yang mengubah tanda batas tanah.” (At Tashawwuf Min Shuwaril Jahiliyyah, hal. 7-8).

Hakikat Tasawuf

Bila kita telah mengetahui bahwasanya Tasawuf ini bukanlah ajaran Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam dan bukan pula ilmu warisan dari Ali bin Abi Thalib Radiyallahu ‘anhu, maka dari manakah ajaran Tasawuf ini ?

Asy Syaikh Ihsan Ilahi Zhahir rahimahullah berkata: “Tatkala kita telusuri ajaran Sufi periode pertama dan terakhir, dan juga perkataan-perkataan mereka baik yang keluar dari lisan atau pun yang terdapat di dalam buku-buku terdahulu dan terkini mereka, maka sangat berbeda dengan ajaran Al Qur’an dan As Sunnah. Dan kita tidak pernah melihat asal usul ajaran Sufi ini di dalam sejarah pemimpin umat manusia Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam , dan juga dalam sejarah para shahabatnya yang mulia, serta makhluk-makhluk pilihan Allah Ta’ala di alam semesta ini. Bahkan sebaliknya, kita melihat bahwa ajaran Sufi ini diambil dan diwarisi dari kerahiban Nashrani, Brahma Hindu, ibadah Yahudi dan zuhud Buddha. (At Tashawwuf Al Mansya’ Wal Mashadir, hal. 28). [1]

Asy Syaikh Abdurrahman Al Wakil rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Tasawuf merupakan tipu daya syaithan yang paling tercela lagi hina, untuk menggiring hamba-hamba Allah Ta’ala di dalam memerangi Allah Ta’ala dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wassalam. Sesungguhnya ia (Tasawuf) merupakan topeng bagi Majusi agar tampak sebagai seorang Rabbani, bahkan ia sebagai topeng bagi setiap musuh (Sufi) di dalam memerangi agama yang benar ini. Periksalah ajarannya ! niscaya engkau akan mendapati padanya ajaran Brahma (Hindu), Buddha, Zaradisytiyyah, Manawiyyah, Dishaniyyah, Aplatoniyyah, Ghanushiyyah, Yahudi, Nashrani, dan Berhalaisme Jahiliyyah.” (Muqaddimah kitab Mashra’ut Tashawwuf, hal. 19). [2]

Beberapa Bukti Kesesatan Ajaran Tasawuf

1. Al Hallaj seorang dedengkot sufi, berkata : “Kemudian Dia (Allah) menampakkan diri kepada makhluk-Nya dalam bentuk orang makan dan minum.” (Dinukil dari Firaq Mua’shirah, karya Dr. Ghalib bin Ali Iwaji, juz 2 hal.600).
Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :

لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Allah, dan Dia Maha Mendengar lagi Maha Melihat.” (Asy Syuura : 11)

رَبُّهُ قَالَ رَبِّ أَرِنِي أَنْظُرْ إِلَيْكَ قَالَ لَنْ تَرَانِي
“Berkatalah Musa : “Wahai Rabbku nampakkanlah (diri Engkau) kepadaku agar aku dapat melihat-Mu.” Allah berfirman : “Kamu sekali-kali tidak akan sanggup melihat-Ku (yakni di dunia-pen)………” (Al A’raaf : 143).

2. Ibnu ‘Arabi, tokoh sufi lainnya, berkata : “Sesungguhnya seseorang ketika menyetubuhi istrinya tidak lain (ketika itu) ia menyetubuhi Allah !” (Fushushul Hikam).[3] Betapa kufurnya kata-kata ini …, tidakkah orang-orang Sufi sadar akan kesesatan gembongnya ini ?!

3. Ibnu ‘Arabi juga berkata : “Maka Allah memujiku dan aku pun memuji-Nya, dan Dia menyembahku dan aku pun menyembah-Nya.” (Al Futuhat Al Makkiyyah).[4]

Padahal Allah Ta’ala telah berfirman :

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُونِ
“Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepada-Ku.” (Adz Dzariyat : 56).

إِنْ كُلُّ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ إِلاَّ ءَاتِي الرَّحْمَنِ عَبْدًا
“Tidak ada seorang pun di langit dan di bumi, kecuali akan datang kepada Allah Yang Maha Pemurah dalam keadaan sebagai hamba.” (Maryam : 93).

4. Jalaluddin Ar Rumi, seorang tokoh sufi yang kondang berkata : “Aku seorang muslim, tapi aku juga seorang Nashrani, Brahmawi, dan Zaradasyti, bagiku tempat ibadah sama … masjid, gereja, atau tempat berhala-berhala.” [5]

Padahal Allah Ta’ala berfirman :

يَبْتَغِ غَيْرَ الإِسْلاَمِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ
“Dan barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) dari padanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang merugi.” (Ali Imran : 85)

5. Pembagian ilmu menjadi Syari’at dan Hakikat, yang mana bila seseorang telah sampai pada tingkatan hakikat berarti ia telah mencapai martabat keyakinan yang tinggi kepada Allah Ta’ala, oleh karena itu gugurlah baginya segala kewajiban dan larangan dalam agama ini.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata : “Tidak diragukan lagi oleh ahlul ilmi dan iman bahwasanya perkataan tersebut termasuk sebesar-besar kekafiran dan yang paling berat. Ia lebih jahat dari perkataan Yahudi dan Nashrani, karena Yahudi dan Nashrani beriman dengan sebagian dari isi Al Kitab dan kafir dengan sebagiannya, sedangkan mereka adalah orang-orang kafir yang sesungguhnya (karena mereka berkeyakinan dengan sampainya kepada martabat hakikat, tidak lagi terkait dengan kewajiban dan larangan dalam agama ini, pen).” (Majmu’ Fatawa, juz 11 hal. 401).

6. Dzikirnya orang-orang awam adalah لا إله إلا الله , sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus “الله / Allah”, “هو / Huu”, dan “آه / Aah” saja.

Padahal Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wassalam bersabda :

أَفْضَلُ الذِّكْرَ لاَ إِلهِ إِلاَّ الله
“Sebaik-baik dzikir adalah لا إله إلا الله .” (H.R. Tirmidzi, dari shahabat Jabir bin Abdullah Radiyallahu ‘anhu, dihasankan oleh Asy Syaikh Al Albani dalam Shahih Al Jami’, no. 1104).[6]

Syaikhul Islam rahimahullah berkata : “Dan barangsiapa yang beranggapan bahwa لا إله إلا الله dzikirnya orang awam, sedangkan dzikirnya orang-orang khusus dan paling khusus adalah “هو / Huu”, maka ia seorang yang sesat dan menyesatkan.” (Risalah Al Ubudiyah, hal. 117-118, dinukil dari Haqiqatut Tashawwuf, hal. 13)

7. Keyakinan bahwa orang-orang Sufi mempunyai ilmu Kasyaf (dapat menyingkap hal-hal yang tersembunyi) dan ilmu ghaib. Allah Ta’ala dustakan mereka dalam firman-Nya:

قُلْ لاَ يَعْلَمُ مَنْ فِي السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ الْغَيْبَ إِلاَّ اللَّهُ وَمَا يَشْعُرُونَ أَيَّانَ يُبْعَثُونَ
“Katakanlah tidak ada seorang pun di langit dan di bumi yang mengetahui hal-hal yang ghaib kecuali Allah.” (An Naml : 65)

8. Keyakinan bahwa Allah Ta’ala menciptakan Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam dari nuur / cahaya-Nya, dan Allah Ta’ala ciptakan segala sesuatu dari cahaya Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wassalam. Padahal Allah Ta’ala berfirman :

قُلْ إِنَّمَا أَنَا بَشَرٌ مِثْلُكُمْ يُوحَى إِلَيَّ
“Katakanlah (Wahai Muhammad), sesungguhnya aku hanyalah seorang manusia seperti kalian, yang diwahyukan kepadaku …” (Al Kahfi : 110).

إِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلاَئِكَةِ إِنِّي خَالِقٌ بَشَرًا مِنْ طِينٍ
“(Ingatlah) ketika Rabbmu berfirman kepada para Malaikat : “Sesungguhnya Aku akan ciptakan manusia dari tanah liat.” (Shaad : 71)




Wallahu A’lam Bish Shawab



Hadits-hadits palsu atau lemah yang tersebar di kalangan umat



Hadits Abu Umamah

عَلَيْكُمْ بِلِبَاسِ الصُّوفِ، تَجِدُوْا حَلاَوَةَ الإيْمَانِ فِيْ قُلُوْبِكُمْ

“Pakailah pakaian yang terbuat dari bulu domba, niscaya akan kalian rasakan manisnya keimanan di hati kalian”(HR Al Baihaqi dlm Syu’abul Iman).

Keterangan : Hadits ini palsu karena di dalam sanadnya terdapat seorang perawi yang bernama Muhammad bin Yunus Al Kadimy. Dia seorang pemalsu hadits, Al Imam Ibnu Hibban berkata : “Dia telah memalsukan kira-kira lebih dari dua ribu hadits”. (Lihat Silsilah Al Ahadits Adh Dhoifah Wal Maudhu’ah, no:90)



Footnote :

[1][2] Dinukil dari kitab Haqiqatut Tashawwuf karya Asy Syaikh Dr. Shalih bin Fauzan Al Fauzan, hal.7

[3][4][5] Dinukil dari kitab Ash Shufiyyah Fii Mizanil Kitabi Was Sunnah karya Asy Syaikh Muhammad bin Jamil Zainu, hal. 24-25.

[6] Lihat kitab Fiqhul Ad ‘Iyati Wal Adzkar, karya Asy Syaikh Dr. Abdurrazzaq bin Abdul Muhsin Al Badr, hal. 173.



(Sumber : Buletin Islam Al Ilmu Edisi 46/III/I2/1425, Jember.
Dikirim via email oleh al Al Akh Hardi Ibn Harun.)